Jumat, Maret 29, 2024

Gara-Gara Batu Bara

Herma Yulis
Herma Yulis
Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tertarik pada isu-isu agama, lingkungan, sosial, politik dan budaya. Aktif sebagai periset Lembaga Kajian Sejarah dan Lingkungan (LKSL)

Gara-gara batu bara sumpah serapah berhamburan di mana-mana. Mulai dari obrolan warung kopi, arisan keluarga, hingga aktivitas di tempat kerja, topiknya masih tetap sama: mengutuk arogansi sopir angkutan batu bara. Mereka kehilangan tempat mengadu. Sebab pemerintah daerah sekelas bupati dan gubernur saja seolah tak bernyali mengurai tuntas persoalan ini.

Masyarakat di Provinsi Jambi merasa jengah atas kebebalan sopir angkutan batu bara yang seolah-olah berhak menguasai jalanan umum. Dan, sepanjang wilayah yang dilalui angkutan batu bara, persoalan yang mengemuka selalu masalah kerusakan jalan, tingginya kasus kecelakaan lalu lintas, dan kemacetan jalan yang tak berkesudahan. Bahkan, tak sedikit jumlah nyawa yang melayang sia-sia terlindas angkutan batu bara.

Kasus teranyar adalah lumpuhnya ruas jalan nasional di Muara Tembesi, Provinsi Jambi, selama 20 jam lebih, baru-baru ini. Akibatnya sangat fatal, akses transportasi dari beberapa kabupaten menuju ibu kota provinsi terputus. Demikian pula dengan akses dari Kota Jambi menuju Provinsi Sumatera Barat. Masyarakat tentu mengalami kerugian besar akibat kemacetan tersebut.

Kejadian seperti ini sebenarnya sering terulang sejak beberapa tahun lalu. Namun, kondisi saat ini jauh lebih parah. Pasalnya, lokasi tambang batu bara yang bertambah juga akan berdampak pada terjadinya penambahan kendaraan pengangkut hasil tambang. Sehingga akan menimbulkan penumpukan kendaraan di sepanjang ruas jalan yang digunakan. Apalagi angkutan batu bara masih melewati ruas jalan umum, bukan jalur khusus angkutan batu bara.

Sejauh ini belum ada solusi yang benar-benar solutif dalam mengurai persoalan ini. Solusi yang ditawarkan pemerintah daerah seringkali hanya berlaku temporal. Bahkan, beberapa kali dikeluarkan Perda larangan melintas bagi angkutan batu bara, namun itu hanya berjalan sebentar. Begitu protes warga mereda, maka kendaraan angkutan batu bara kembali merajalela memenuhi jalanan umum. Perda dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini seperti tak memiliki taji sama sekali.

Bahkan, untuk kasus kemacetan ruas jalan nasional di Jambi baru-baru ini, Gubernur Jambi Al Haris mengaku tak memilili kewenangan penuh untuk melakukan penutupan tambang batu bara dan penutuan ruas jalan nasional yang dilewati angkutan batu bara. Memang ada benarnya bahwa gubernur tak memiliki wewenang melakukan penutupan tambang batu bara.

Namun, jika angkutan batu bara telah meresahkan dan menghambat akvitas masyarakat, saya pikir pejabat daerah sekelas gubernur sangat beralasan untuk melakukan penghentian aktivitas angkutan batu bara. Perlu dicatat, bahwa yang dilakukan adalah menghentikan pengangkutan batu bara melewati jalan umum sampai pihak perusahaan merealisasikan pembangunan jalan khusus batu bara. Bukan melakukan penutupan tambang batu bara secara permanen.

Rawan Menyulut Konflik

Perlu diketahui, di Provinsi Jambi saat ini terdapat sebanyak 10.332 hektare kawasan tambang batu bara yang tersebar di beberapa wilayah. Di kabupaten Batanghari terdapat sebanyak 3.236 hektare, kabupaten Bungo 2.836 hektare, kabupaten Sarolangun 2.536 hektare, kabupaten Tebo 1.367, kabupaten Muaro Jambi 220 hektare, kabupaten Tanjab Barat 101 hektare, dan kabupaten Merangin 37 hektare.

Ini adalah jumlah yang tak sedikit dan dapat menimbulkan konflik berkepanjangan yang tak mudah diurai. Konflik sosial dapat terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat dalam tambang batu bara, seperti pemerintah pusat, perusahaan tambang, masyarakat sekitar, dan pemerintah daerah.

Selain itu, tambang batu bara juga dapat menimbulkan konflik ekologi karena dapat merusak lingkungan sekitar tambang. Proses penambangan batu bara dapat mengakibatkan pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan tanah, serta mengakibatkan kehancuran ekosistem dan hilangnya habitat bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Selain itu, proses reklamasi yang dilakukan secara serampangan juga dapat menyebabkan masalah lingkungan yang lebih parah.

Untuk menyelesaikan konflik tambang batu bara memang dibutuhkan upaya yang terintegrasi dari pemerintah pusat, perusahaan tambang, masyarakat sekitar, dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat harus memastikan bahwa perusahaan tambang mematuhi regulasi yang berlaku dan mengelola tambang secara bertanggung jawab.

Di samping itu, masyarakat sekitar juga perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tambang batu bara di daerah mereka. Begitu kegiatan penambangan selesai, maka perusahaan tambang batu bara juga harus memastikan bahwa proses reklamasi dilakukan dengan tepat sehingga tidak menimbulkan masalah lingkungan di kemudian hari.

Moratorium Tambang Batu Bara

Konflik tambang batu bara di Indonesia tidak hanya terbatas pada masalah lingkungan dan sosial di sekitar kawasan tambang, tetapi juga terkait dengan pengangkutan batu bara dari lokasi tambang ke tempat tujuan. Salah satu masalah yang sering terjadi adalah penggunaan jalan umum untuk pengangkutan batu bara, yang dapat menyebabkan kerusakan jalan, kecelakaan, dan kemacetan.

Terkait hal ini, pemerintah harus lebih tegas agar perusahaan tambang batu bara menggunakan jalur pengangkutan yang aman dan tidak merusak jalan umum. Selain itu, juga untuk mengurangi terjadinya kecelakaan lalu lintas dan menghindari gesekan antara sopir batu bara dengan masyarakat. Khusus untuk perusahaan tambang batu bara di Provinsi Jambi, sudah sepantasnya pemerintah daerah mengambil kebijakan melakukan moratorium pengangkutan batu bara hingga mereka menuntaskan pembangunan jalur khusus angutan batu bara.

Sebab, saat ini PT Putra Bulian Properti (PBP) sedang melakukan pembangunan jalur khusus batu bara dengan panjang pada tahap awal 83 kilometer. Pihak perusahaan harus serius menuntaskan jalur khusus ini agar bisa mengangkut hasil tambang batu bara tanpa berkonflik dengan masyarakat.

Sebelum jalan khusus ini rampung, segala aktivitas pengangkutan batu bara harus distop total. Kalau masih diperbolehkan melewati jalur umum, maka kasus kemacetan dan friksi sosial dapat dipastikan bakal terus berulang dan memakan korban. Apalagi jumlah angkutan batu bara yang beroperasi ternyata sangat besar. Berdasarkan data yang terinput dalam aplikasi yang dimiliki Dinas Perhubungan Provinsi Jambi, hingga 2 Januari 2023, jumlah angkutan batu bara yang sudah terinput mencapai sebanyak 8.600 unit kendaraan.

Melakukan moratorium angkutan batu bara hingga jalur khusus selesai, tentunya dapat mengurai konflik tambang batu bara dengan cara yang bijaksana dan terintegrasi. Kebijakan ini tak hanya menguntungkan bagi perusahaan tambang saja, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Herma Yulis
Herma Yulis
Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tertarik pada isu-isu agama, lingkungan, sosial, politik dan budaya. Aktif sebagai periset Lembaga Kajian Sejarah dan Lingkungan (LKSL)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.