Selain itu jika diperhatikan ada persoalan proses integrasi yang lambat dan cenderung stagnan. Tanggung jawab integrasi sosial-politik dan budaya tidak bisa dituntut sebagai hanya tugas masyarakat Papua.
Harus ada kerja sama yang terbuka dan saling memahami terkhusus oleh negara melalui pemerintah pusat dan daerah. Tugas negara untuk mampu memahami Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia melalui dialog yang jujur berdasarkan kepentingan masyarakat. Integrasi sosial-budaya ini merupakan salah satu pokok persoalan yang tidak sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan mayoritas masyarakat Indonesia menganggap ekspresi sosial dan budaya masyarakat orang Papua sebagai sesuatu terbelakang. Pandangan ini muncul dalam bentuk cemooh, ejekan, dan penghinaan yang berkembang menjadi stereotype tentang orang Papua.
Bahkan cara pandang itulah yang jadi pemicu masalah hari ini. Asumsi umum masyarakat bahwa orang Papua masih terbelakang dan belum memahami arti menjadi masyarakat maju adalah keliru, secara antropologis fatal.
Ada semacam hegemoni arti kemajuan di sini. Berkemajuan diartikan “maju” seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Padahal kemajuan mesti dimengerti kontekstual sesuai lokusnya. Inilah salah satu kesalahpahaman masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pembangunan di era krisis lingkungan global ini justru disebabkan oleh cara pandang yang keliru tentang kemajuan dan pembangunan. Kota-kota besar yang berbasis industri, bisnis justru mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan keseimbangan lingkungan.
Pembangunan yang ditentukan oleh elit jakarta adalah pembangunan dengan paradigma industrial-kapitalistik. Padahal aspek lingkungan dan pembangunan yang ramah lingkungan seharusnya bisa digali dari dalam kearifan lokal masyarakat Papua, dari kebudayaan dan tradisi lokal.
Perjuangan keadilan lingkungan dan masyarakat adat dalam isu-isu sosial kontemporer haruslah didasarkan basis moral yang bisa dipertanggungjawabkan. Moralitas yang peduli dan adil akan kepentingan kelangsungan hidup manusia dan alam Papua.
Pokok terakhir yaitu dimensi kebudayaan. Jika kebudayaan diartikan sebagai sesuatu yang bersifat paradigmatik dan fungsionil maka ia haruslah merupakan proses pengkaryaan yang terus berlangsung direncanakan oleh subjek budaya. Masyarakat papua dalam kondisi ini adalah subjek dari kebudayaan itu sendiri.
Kepentingan, aspirasi dan idealisasi kehidupan harus ditentukan oleh orang papua sendiri. Apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah dan negara adalah mendukung strategi kebudayaan yang otentik dari masyarakat Papua. Arti kemajuan dan pembangunan untuk itu harus diserahkan pada masyarakat papua.
Temuan dari LIPI (2009) tentang akar masalah papua selaras dengan berbagai hasil riset para peneliti dari luar dan dalam negeri. Solusi mengatasi akar masalah yang dikemukakan dalam sejumlah hasil penelitian tersebut tidak lain dengan cara menyelesaikan masalah tersebut!
Apapun kebijakan pembangunan nasional dan lokal Papua haruslah mendahulukan masyarakat Papua. Segala macam ekses dan dampak dari “pembangunan” yang membawa diskriminasi dan peminggiran orang papua harus ditiadakan. Pembangunan infrastruktur harus berbasis pada keperluan orang papua. Perlu diadakan survei tentang infrastruktur apa yang betul-betul dibutuhkan bagi orang papua.
Sejarah, status politik, dan proses integrasipolitik mestinya dilakukan dengan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, harkatdan martabat orang papua bukan melalui pendekatan “keamanan nasional/militeristik”yang sering kebablasan justru melahirkan kekerasan politik dan pelanggaran HAM.Pendekatan kultural dan dialog seperti yang pernah dilakukan Gus Dur patutditeladani dan disesuaikan dengan konteks hari ini.
Apa yang terpenting dialogyang setara antara pemerintah (elit jakarta) dengan wakil Papua. Dialog harus bersifat komunikatif bebas distorsi, bebas manipulasi kepentingan terselubungelit ataupun korporat. Hanya dengan itu rumitnya permasalahan papua mungkin mendapat kejelasan dan solusinya.
Dari uraian dan analisis sederhana di atas dapat disimpulkan bahwa perihal penyelesaian masalah menyangkut menyangkut penalaran (reasoning), perspektif, dan paradigma. Alur pikir yang dipakai selama ini dalam mengurusi papua belum mewakili orang Papua sebagai subjek utama yang berkepentingan.
Terlebih lagi orang papua sebagai subjek emansipasi. Sudut pandang masyarakat Papua mesti mendasari metode-metode penyelesaian masalah dan perumusan kebijakan. Karena kemana lagi kita harus mencari kebenaran? Di mana sumber emansipasi berasal, jika bukan dari mereka yang terepresi dan termarjinalkan. Saya menutup tulisan ini dengan menanyakan kembali, siapakah yang sedang menderita dan termarjinalkan dalam persoalan Papua?
Terkait:
Gagal Paham Papua dan Kepentingannya (Bagian 1)