Rentetan aksi massa terjadi di berbagai kota di indonesia terkhusus di Papua dan Papua barat. Aksi tersebut merupakan bentuk protes menuntut penuntasan kasus represi dan rasisme yang dilakukan ormas dan aparat kepada mahasiswa Papua di Jawa Timur, khususnya di asrama mahasiswa papua di Surabaya.
Informasi ini beredar di berbagai platform media sosial dan diberitakan di media massa. Atas kejadian tersebut rentetan permintaan maaf datang dari kepala daerah di Jawa Timur. Insiden tersebut tidak hanya mengundang aksi protes dari masyarakat papua sendiri.
Muncul banyak aksi solidaritas anti-diskriminasi dan rasisme dari berbagai elemen masyarakat mahasiswa, jurnalis,pegiat HAM sebagai respon masyarakat yang peduli atas isu yang berkembang darikejadian tersebut. Ini peristiwa pertama dengan skala yang cukup besar membentuk wacana, solidaritas dan aksi merespon keadaan dan permasalahan papua.
Tulisan ini hendak membagi sedikit gambaran masalah munculnya gelombang reaksi yang sudah berjalan lebih dari sepekan. Isu papua pada secara umum berkisar ada pada isu-isu HAM, keadilan, pembangunan, kesejahteraan. Apa yang penulis temui lewat pembacaan dan analisa isu papua ini dirumuskan ke dalam beberapa dimensi masalah.
Pertama, persoalan sejarah. Sebagian besar masyarakat indonesia tampaknya mengidap masalah rabun sejarah. Ketidakpahaman masyarakat akan kompleksitas aspek sosial politik di papua, ditambah lemahnya wawasan nusantara menyumbang kekisruhan dan debat kusir di ruang publik terkhusus di sosial media.
Ketidakpahaman akan duduk masalah sejarahintegrasi papua ke dalam NKRI ikut mengaburkan masalah dan perdebatan publik tentang papua. Dampak dari ketidakpahaman tersebut membuat ormas dan bahkan bahkan aparat ikut terjerumus dalam tindakanrepresif dan rasis seperti pada peristiwa pemicu tersebut. Dampak dari ketidaktahun itu pula membuat sebagian besar masyarakat tidak mampu menentukan sikap yang tepat dan adil terkait isu ini.
Jalan memahami setiap persoalan bangsa ini bisa dimulai dengan mengingat pesan presiden pertama indonesia “jangan lah sekali-kali melupakan sejarah”. Sejarah sebagai sumber pengetahuan memberi kejelasan tentang tentang hari ini. Sejarah menjadi terus aktual dan membawa pengetahuan dasar bagi penentuan sikap.
Kita sebagai bangsa indonesia perlu membuka lagi buku-buku sejarah legitim untuk mencari duduk perkara masalah papua. Kita perlu meninjau kembali perdebatan antara para pendiri bangsa mengenai Papua. Perdebatan itu salah satunya dimuat dalam naskah risalah BPUPKI dan PPKI. Sidang besar yang diadakan beberapa bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Bung Hatta dalam perdebatan itu menuntut alasan yang kuat dari kehendak sidang untuk memasukan Papua sebagai bagian dari Indonesia merdeka. Bung Hatta mengucapkan kekhawatirannya pandangan dunia internasional atas kehendak sidang tersebut. Bung Hatta bahkan sempat menanyakan ekspansi ke papua itu mau sampai di mana?
Apakah hendak diteruskan sampai ke kepulauan Salomon yang terletak sebelah timur Papua Nugini. Semangat ekspansi dan ketiadaan alasan kuat dari peserta sidang agar Papua menjadi bagian NKRI menunjukkan perbedaan posisi bung Hatta dengan sebagian besar peserta sidang BPUPKI.
Papua pada tahun 1962 Papua ada di bawah pantauan PBB, UNTEA. Satu tahun sebelumnya Papua telah menyatakan kemerdekaan. Bendera Bintang Kejora dikibarkan pertama kali pada tanggal 1 desember 1961 dan diakui oleh Belanda. Tidak berselang lama Presiden Soekarno dan pidatonya menandai dimulainya operasi militer yang dikenal dengan nama operasi Trikora.
Pada tahun berikutnya akibat dari invasi dan kondisi tersebut diadakan perjanjian New York (1992) untuk menengahi klaim atas papua antara Belanda dan Indonesia. Isi dari perjanjian tersebut memberi kesempatan bagi masyarakat papua saat itu untuk menentukan nasibnya sendiri.
Status papua ditentukan melalui implementasi “penentuan nasib sendiri” yang diurai secara lengkap dalam karya Pieter Droogveler berjudul An Act of Free Choice: Decolonization and the Right to Self-Determination in West Papua (2009).
Karya ini menjelaskan situasi politik antara tiga negara besar yang berkepentingan dengan Papua saat itu yaitu, Belanda, Amerika, dan tentunya Indonesia. Garis besar buku itu menjelaskan bahwa sepanjang perjalanan dari tahun 1961-1969 masyarakat Papua tidak dilibatkan dalam perseteruan tersebut. Aspirasi mereka tidak digubris dan dijadikan pertimbangan ketiga negara itu.
Peristiwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 dalam catatan-catatan sejarah memiliki banyak kejanggalan. Kontroversi yang paling utama bahwa syarat demokratis Pepera haruslah pemungutan suara satu orang dengan satu pilihan (one man, one vote). Hasil Pepera dikatakan kontroversial karena pemungutan suara diwakilkan sebagian orang yang sudah ditentukan pemerintah Indonesia.
Tindakan tersebut melanggar ketentuan tahun 1962 New York Agreement. Papua disebut oleh banyak sejarawan kritis dan ilmuan sosial kritis sebagai wilayah hasil aneksasi. Dengan bahasa yang lebih tajam Papua adalah wilayah koloni Indonesia.
Poin kedua adalah persoalan ekonomi-politik. Masih terkait dengan poin pertama yaitu dimensi historis. Ada yang unik dari peristiwa integrasi Papua dengan Indonesia ini. Tercatat dalam sejarah bahwa PT Freeport Mcmoran telah merencanakan penambangannya jauh sebelum Bintang Kejora berkibar tahun 1961, dan lebih jauh lagi dibandingkan dengan Pepera tahun 1969 sebagai peristiwa resmi wilayah Papua menjadi bagian indonesia. Negosiasi PT Freeport pada awalnya masih dilakukan dengan Belanda.
Sebab Indonesia belum menguasai Papua barat. Kontrak Karya I, PT Freeport Indonesia pertama kali dibuat tahun 1967. Sesuatu yang aneh bin ajaib. Kontrak ini dibuat sebelum keputusan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia tahun 1969. Dimensi politik ekonomi sangat menentukan sejarah Papua. Kepentingan korporasi SDA menentukan intrik dan friksi politik antar Indonesia, Belanda, Amerika saat itu.
Bisa dibayangkan betapa ironisnya nasib masyarakat Papua sejak 1961 yang terombang-ambing dalam ombak dan gelombang kepentingan orang lain yang bukan masyarakat Papua sendiri. kepentingan akan sumber daya alam inilah yang secara menjadi salah satu penyebab yang menentukan kenyataan sosial-politik dibalik marjinalisasi orang papua yang berlanjut hingga hari ini.
Ditambah lagi kebijakan otonomi khusus senyatanya belum berhasil bagi pembangunan Papua. Pembangunan yang ada hanyalah klaim sepihak negara. Pembangunan tidak berbasis pada kepentingan orang papua sendiri tapi kepentingan asing (yang bukan Papua), kepentingan investor dan korporat. (Bersambung)