Mahasiswa itu adalah insan yang berasal dari masyarakat luhur namun diberikan kelebihan intelektual, sehingga menjadi masyarakat yang luar biasa. Seorang mahasiswa diberikan kecerdasan lebih jauh dan dalam dari masyarakat biasa. Hal merupakan implikasi dari begantinya fase pendidikan yang dijalani seseorang yang dulunya hanya seorang siswa, ke jenjang mahasiswa.
Seorang siswa hanya dituntut belajar, mengerjakan tugas dan segala macamnya. Namun, bila sudah menyandang gelar “Maha” yang dilekatkan pada kata “siswa”, sudah sepantasnya sikap dan pola pikir kita bukan lagi seperti siswa. Kita bukan hanya belajar, namun juga dituntut untuk berpikir keras dan dibebani dengan tanggung jawab perbaikan dan perubahan keadaan sosial.
Kita ini mahasiswa yang lahir di tengah masyarakat yang luhur seperti yang disebutkan di atas tadi. Kita telah dianugerahi intelektualitas yang berasal dari berbagai kegiatan seperti berorganisasi, membaca berbagai buku, berdiskusi mengenai masalah sosial, politik, hokum, dan berbagai bidang ilmu lainnya.
Karena status kita yang berasal dari masyarakat dan dengan kapasitas kita sebagai kaum intelektual, sudah sepantasnya kita sadar atas peran kita dalam berbangsa dan bernegara, antara pemerintah dan masyarakat, pembangunan dan ketertinggalan, idealisme dan realitas. Kita akan sadar dan menemukan berbagai objek yang menjadi dasar permasalahan dan peran kita sebenarnya sebagai akibat dari perenungan yang objektif yang kita lakukan secara sistematis dan berkesinambungan.
Ada tiga peran penting mahasiswa yang kita kenal sejak awal. Pertama, mahasiswa adalah Agent of Change di setiap peradaban manusia. Mahasiswa diharapkan menjadi agen penyongsong perubahan ke arah yang lebih baik. Melihat berbagai kebobrokan dan degradasi moral dan berbagai hal yang saat ini sedang terputar, sudah saatnya kita melakukan perubahan bersama.
Kedua, mahasiswa menjadi Iron Stock. Mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia merdeka tangguh yang memiliki akhlak mulia yang nantinya dapat menjadi frontman dalam melakukan perbaikan keadaan. Ketiga, Mahasiswa sebagai Social Control yang diharapkan dapat melihat suatu keadaan atau kebijakan yang diproduksi oleh para birokrat negara berdasarkan keadilan sosial dan hak asasi manusia. Bila terjadi kejanggalan dan merugikan masyarakat, saat itulah fungsi ini kita jalankan.
Sudah saatnya mahasiswa sadar dengan tiga peran yang telah disandangnya ini semenjak memasuki dunia kampus dan menjadi mahasiswa. Hal-hal akademis tidak saja cukup untuk menyebut diri sebagai mahasiswa, bila tidak sadar dan merealisasikan fungsi-fungsi yang ada.
Anehnya sekarang, mahasiswa telah terbuai dengan perkembangan teknologi dan ketidakmautahuan tentang permasalahan yang terjadi baik dari segi sosial, politik, dan hukum. Tambah lagi dengan sistem pendidikan yang menuntut mahasiswa untuk mendapatkan nilai tinggi agar dicap dan masuk ke dalam golongan mahasiswa yang berprestasi. Sehingga tak sedikit mahasiswa yang lupa bahkan tidak tahu fungsi keberadaan dirinya yang sebenarnya.
Sejak awal masuk kampus, para pimpinan kampus dan malah dibantu mahasiswa (teman-temannya*) menanamkan paham-paham akademistik. Mahasiswa itu tugasnya belajar dan lulus dengan predikat memuaskan. Setelah lulus harus dapat bekerja dengan posisi yang diperhitungkan. Pragmatisme yang ditanamkan sejak awal inilah yang menjadi salah satu unsur pembantu pemerintah melalui pimpinan kampus dalam program perbudakan akali (meminjam istilah Louis O. Kattsoff).
Menurut Louis O. Kattsoff, sesungguhnya perbudakan akali jauh lebih menyedihkan bila dibandingkan dengan perbudakan ragawi. Jika seseorang diperbudak secara akali, maka apapun akan dilakukan untuk menjadikan akal pikirannya aus sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi dapat bekerja.
Ketika mahasiswa hanya dituntut belajar dan lulus dengan prestasi nilai tinggi, sehingga mahasiswa lupa dengan tugas dan fungsi lainnya sebagai kaum intelektual. Sehingga dengan keadaan ini, pemerintah via pimpinan kampus leluasa dalam merekaya keadaan. Mahasiswa tidak lagi peduli mengenai kesenjangan dan kejanggalan sosial, politik, hukum, dan lainnya.
Mahasiswa tidak diajari kritis terhadap suatu hal, hanya dituntut belajar sama seperti yang mereka lakukan ketika dibangku sekolah dasar hingga menengah atas. Disinilah kesenangan para penguasa dan pimpinan kampus dapat leluasa melakukan dan menjalankan program yang tercanangkan, sesuka hati saja.
Di saat ini pula, jiwa kritis dan rasionalitas seorang mahasiswa mati secara perlahan hingga punah secara sempurna. Mahasiswa telah buta dengan masyarakat yang sedang membutuhkan pertolongan dari mereka. Tanpa mengingat lagi, mereka berasal dari masyarakat yang menjadi pertanggungjawaban mereka sebenarnya.
Dengan orientasi pendidikan yang lebih mengutamakan nilai akademis daripada nilai pendidikan yang sebenarnya, berimplikasi pada mental mahasiswa kontemporer yang lebih pragmatis-oportunis. Dengan rekaya yang dibuat oleh mereka penguasa dan birokratnya, mahasiswa menjadi hedonis-apatisme. Mahasiswa seakan tutup mata, telinga dan mulut melihat permasalahan yang ada dan lebih memilih untuk berpesta dengan zona nyamannya dan bersenang-senang.
Keadaan empiris ini tentunya miris bila direnungkan dan dikoorelasikan dengan fungsi mahasiswa sebagai kaum intelektual. Ditumpuk lagi dengan orientasi pendidikan yang pragmatis. Mahasiswa lebih dituntut untuk mendapat nilai akademik yang tinggi, dan dapat bekerja. Semua itu diusahakan oleh kampus demi mendapatkan akreditasi dan pujian atas kampus yang berprestasi.
Padahal tujuan pendidikan, menurut Tan Malaka adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. Pendidikan seyogianya berupaya membentuk mental mahasiswa agar memiliki perasaan dan kepekaan terhadap permasalahan yang ada, dan kukuh dalam mengubahnya ke arah yang lebih baik. Tentunya dalam melakukan perbaikan haruslah ada kecerdasan yang hakiki. Namun, apa gunanya suatu kecerdasan bila tanpa kepekaan terhadap sosial, apalagi tanpa ada kemauan sedikitpun untuk mengubahnya dengan baik.
Sudah seharusnya mahasiswa menyadari akan hal yang menyangkut dirinya, terutama tugasnya sebagai kaum intelektual. Ketika menjadi mahasiswa, ketahuilah bahwa tugasmu lebih berat daripada belajar dan membuat tugas yang dianugerahi oleh dosen.
Perbanyak baca buku yang menuntunmu ke jalan pembebasan pikiran dan rasionalitas. Perbanyak merenung tentang hakikat suatu keadaan dan berdiskusilah. Terserah apalah itu, yang penting demi mengasah otakmu untuk tajam, namun tetap berpedoman padan rasionalitas, kebebasan berpikir, dan keadilan serta hak-hak masyarakat yang merupakan bagian kita semua.