Jumat, April 26, 2024

Fresh Graduate Gagap Tentukan Masa Depan

UnaBhaskara
UnaBhaskara
Pegiat di Lembaga Pers Mahasiswa Bhaskara

Kegalauan kerap melanda mahasiswa sold out (red: sarjana). Bukan karena skripsi yang tak kunjung di Acc (Accepted: diterima) oleh dosen pembimbing ataupun penelitian sulit dan sebagainya yang telah dilewati selama kuliah.

Justru ketika semua tantangan kuliah terselesaikan dan resepsi wisuda telah berakhir, maka resmilah wisudawan/wisudawati menyandang 2 gelar sekaligus yaitu menjadi sarjana dan pengangguran.

Ada kelegaan bagi mahasiswa yang berhasil menyelesaikan masa studinya. Hanya saja, kelegaan tersebut bersifat sementara karena ada kenyataan yang dihadapi yaitu status pengangguran. Kata pengangguran terdengar horor ditelinga fresh graduate. Namun sudah menjadi rahasia umum, inilah fase yang akan dihadapi kebanyakan para sarjana.

Sarjana merupakan gelar yang menambah prestise dimata masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap para sarjana naik satu level lebih dihargai, dihormati dan dianggap keberadaannya. Kaum terpelajar adalah segolongan manusia yang akan dianggap serba bisa dan serba tahu. Lalu bagaimana dengan para sarjana yang juga menyandang status penggangguran?

Tentu saja, pujian akan datang bersamaan dengan ocehan para tetangga. Adanya beban moral menghantui dan membayang-bayangi pribadi para sarjana. Keinginan kuat untuk keluar dari gelar pengangguran kian menggebu-gebu.

Berbagai upaya dilakukan untuk melepas gelar tersebut. Tentu saja diupayakan mengirim application letter ke berbagai perusahaan. Para sarjana gencar melakukan hunting mencari informasi lowongan pekerjaan mulai dari koran, media sosial dan website-website. Hal ini diperjuangkan untuk menghindari gunjingan tetangga atau sekadar gengsi kepada teman sejawat yang mulai mengupload foto ke media sosial terkait pekerjaan yang sudah diraih.

Fenomena ini menjadi momok dilema yang kerap dirasakan fresh graduate. Para sarjana dituntut utnuk tidak menambah angka pengangguran. Para sarjana digiring oleh pandangan-pandangan bahwa mereka wajib memiliki pekerjaan.

Realitanya, problematika fresh graduate saat ini masih saja kesulitan memperoleh pekerjaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) tahun 2018 tingkat pengangguran sekolah tinggi 3,76%. Pertanyaannya, kenapa masih ada yang menjadi pengangguran? apa kualifikasinya belum mencukupi sebagai sarjana? apakah dunia persaingan begitu ketat? apakah jurusannya tidak menjawab kebutuhan pasar dan industri?

Pertanyaan ini berkecamuk dalam pikiran saya yang juga akan menghadapi fase tersebut. Saya melihat perjuangan teman sejawat yang gencar mencari pekerjaan bahkan diluar keahlian ataupun berseberangan dengan jurusan. Asalkan perusahaan tersebut bergengsi dan menawarkan gaji yang tinggi maka hal apapun akan ditempuh. Sekadar menukar gelar pengangguran menjadi pegawai Bank, Kantor atau perusahaan. Lebih membanggakan lagi jika terpilih di perusahaan bergengsi.

Fenomena berburu lowongan pekerjaan meskipun berseberangan dengan basic/ kemampuan itu menimbulkan pertanyaan. Kemanakah ilmu yang selama ini telah diajarkan di kampus? bagaimana kelanjutannya jurusan yang telah menawarkan berbagai prospek? apakah dalam rentang waktu 3,5 tahun atau 4 tahun tersebut, kampus mampu membekali mahasiswanya untuk mencapai tujuan dari program studi tersebut?

Apakah program studi Sastra mampu melahirkan Sastrawan?

Apakah program studi Hukum mampu melahirkan Lawyer?

Apakah program studi Akuntansi mampu melahirkan Akuntan?

Apakah program studi Hukum Ekonomi Syariah mampu melahirkan Praktisi atau Pengawas Syariah?

Dan program studi lainnya.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kampus. Mampukah mencetak generasi yang bisa menjawab kebutuhan pasar dan industri. Bila hal tersebut telah terpenuhi, lalu mengapa fresh graduate masih kebingungan menentukan masa depannya.

Saat kecil dengan mudahnya cita-cita terlontar oleh bibir. Namun semakin dewasa, kebingungan melanda termasuk kala memasuki gerbang dunia nyata padahal telah menyandang gelar sarjana. Pertanyaannya, bukankah kuliah sudah terprogram menjurus ke dunia pekerjaan yang menjanjikan berbagai prospek dan channel perusahaan? Realitanya justru fresh graduate gagap menghadapi situasi tersebut seolah-olah bekal kuliahnya tidak terpakai.

Perguruan tinggi memiliki konsep yang bertujuan menjadi tempat berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.

Selain itu, perguruan tinggi merupakan tempat yang menghasilkan lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa. Hal ini termaktub dalam amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 2012.

Realitanya, perguruan tinggi saat ini hanya mencakup tataran teoritis dan tidak mencapai tujuan esensinya. Bila diamati dengan seksama praktik Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pun sebatas formalitas.

Mahasiswa kerap dibebankan tugas yang menumpuk sementara softskill dan hardskill tidak dituntut harus bisa. Kurangnya praktik di lapangan dan adanya kesenjangan antara akademik yang diajarkan dengan kebutuhan industri menjadikan mahasiswa tidak mampu melihat tantangan yang akan dihadapi. Mereka disibukkan menyelesaikan tugas-tugas teori yang harus dipresentasikan dan dikumpulkan menjadi paper atau makalah.

Padahal menurut Barnett (1992), seorang pakar pendidikan menyebutkan hakikatnya perguruan tinggi menjadi tempat penghasil tenaga kerja yang bermutu (qualified manpower) dengan harapan menjadi keluaran yang mempunyai nilai atau harga di pasaran kerja.

Lalu perguruan tinggi juga menjadi tempat pelatihan bagi karir peneliti, sebagai organisasi pengelola pendidikan yang efisien dan sebagai tempat untuk mengupayakan perluasan dan mempertinghi pengkayaan kehidupan.

Bila seperti itu sudah menjadi tanggung jawab kampus menjamin kesuksesan mahasiswanya dengan menjadi jembatan antara mahasiswa didikannya dengan perusahaan atau lembaga yang dicita-citakan. Perguruan tinggi harus menjalin kerja sama dengan pihak terkait dengan program studi yang ditawarkan sehingga memudahkan lulusan mahasiswanya mampu terserap dengan baik menjadi tenaga kerja yang profesional.

Selain itu, adanya upaya mengadaptasi perubahan zaman yang semakin berkembang. Kurikulum dan program studi yang disediakan tersebut harus relevan dengan kebutuhan insdustri. Dalam proses perkuliahan pun, bekal kesiapan mahasiswa terpenuhi sebaik mungkin baik softskill maupun hardskill sehingga dalam menyongsong kelulusan mahasiswa tidak gagap menentukan masa depannya.

Gelar dan kemampuannya dapat dipertanggungjawabkan dan tiada lagi persoalan negara yang menanggung pengangguran dari kalangan sarjana. Harapan terbesarnya justru jebolan sarjana mampu menjawab tantangan masa depan. Selain menjadi tenaga profesional juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan begitu, perguruan tinggi dapat dikatakan berhasil mencetak tenaga profesional untuk mempersempit peluang pengangguran.

UnaBhaskara
UnaBhaskara
Pegiat di Lembaga Pers Mahasiswa Bhaskara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.