Gempuran promo akhir tahun melalui media daring mendistraksi seseorang untuk membeli produk dengan iming-iming Flash Sale. Potongan harga yang diberikan pun tidak biasa, promo yang ditawarkan dengan harga yang fantastis.
Waktu yang dibuat terbatas mengharuskan seseorang untuk segera membeli barang-barang tersebut sebelum menyesal dikemudian hari. Namun, apakah flash sale membuat kita untung atau menuntut kita menjadi konsumtif?
Akhir tahun merupakan momentum yang paling ditunggu oleh masyarakat. Salah satunya pesta diskon akhir tahun yakni Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) yang diadakan tanggal 12 Desember setiap tahunnya. Harbolnas menawarkan potongan harga yang besar dengan promo yang bertajuk Flash Sale.
Flash Sale merupakan promo besar-besaran dengan kurun waktu yang singkat. Promo yang ditawarkan pun tidak tanggung-tanggung dimulai dari 10 persen hingga 90 persen. Hasil riset Nielsen Indonesia menyebut nilai transaksi Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2019 mencapai 9 Triliun.
Transaksi Harbolnas 2019 ini berada di atas target Asosiasi E-Commerce Indonesia sebesar 8 triliun dan terjadi peningkatan dibanding tahun lalu Rp 6,8 triliun. Hal ini menandakan bahwa masyarakat telah memberikan kepercayaan nya untuk memilih belanja di e-commerce.
Flash sale tidak hanya menawarkan potongan harga produk, voucher bebas ongkos kirim juga diberikan oleh e-commerce untuk menarik para pembeli. Faktor ini membuat seseorang lebih memilih berbelanja dalam telepon genggam dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dibanding harus berpergian keluar rumah untuk berbelanja.
Budaya Konsumtif
Perilaku konsumtif merupakan tindakan seseorang membeli suatu barang tanpa adanya pertimbangan yang masuk akal di mana seorang tersebut dalam membeli suatu barang tidak didasarkan pada faktor kebutuhan (Sumartono, 2002).
Dalam promo Flash Sale seseorang kerap kali membeli sesuatu diluar kebutuhannya. Menurut Lina dan Rosyid (1997) salah satu aspek perilaku konsumtif adalah pembelian yang impulsive. Pembelian yang impulsive merupakan salah satu faktor seseorang menjadi konsumtif terhadap promo Flash Sale yang ditawarkan.
Menurut Rook dalam Kharis (2011), impulsive buying adalah pembelian yang terjadi ketika konsumen mengalami desakan tiba-tiba, yang biasanya sangat kuat dan menetap untuk membeli sesuatu dengan segera.
Loudondan Bitta (1984) menyatakan bahwa remaja adalah kelompok yang berorientasi konsumtif, karena kelompok ini suka mencoba hal-hal yang dianggap baru. Ciri-ciri perilaku konsumtif remaja dapat dilihat dari ciri-ciri pembeli remaja adalah: Remaja amat mudah terpengaruh oleh rayuan penjual, mudah terbujuk iklan, terutama pada kerapian kertas bungkus (apalagi jika dihiasi dengan warna-warna yang menarik). Tidak berpikir hemat, kurang realistis, romantis, dan mudah terbujuk (impulsif) (Astasari & Sahrah, 2006).
Selain itu perempuan dinilai lebih konsumtif karena lebih menggunakan rasa emosional dan menyukai hal-hal yang berkaitan dengan keindahan. Hadipranta (dalam Nashofi, 1991) mengamati bahwa wanita mempunyai kecenderungan lebih besar untuk berperitaku konsumnt dibanding pria.
Hal ini didukung dengan data riset Nielsen Indonesia 2019 yang menunjukan produk fashion, baju olahraga dan kosmetik masih merajai Harbolnas 2019. Selain itu dalam Harbolnas 2019 pembeli dapat menggunakan metode pay later yang membuat kemudahan saat pembayaran. Fitur ini semakin membuat para pembeli untuk membeli banyak produk selagi diskon Flash Sale berlangsung.
Media dan Konsumerisme
Pengaruh media tidak lepas dengan budaya konsumerisme. Gempuran iklan yang ditawarkan melalu media daring dengan metode menargetkan konsumen. Poster iklan Flash Sale yang disajikan dengan desain yang unik agar menarik bagi para konsumen remaja. Remaja yang dinilai sebagai kelompok yang berorientasi konsumtif menjadi target penjual dalam media daring.
Jika seorang remaja sedang menyukai produk tertentu maka produk tersebut akan selalu hadir di semua platform yang ia miliki. Hal ini dapat dilihat saat Harbolnas berlangsung produk yang sedang dicari akan selalu muncul dengan keterangan bahwa produk tersebut sedang diskon dan diskon tersebut akan habis dalam waktu dekat. Iklan daring hari ini menggambarkan adanya perbedaan yang mendasar dari televisi dan media cetak lainnya (Moore & Rideout, 2007; Montgomery, 2012).
Menurut penelitian Commonsense Media 2019, beberapa alasan iklan daring mengubah permainan dalam periklanan. Pertama, lebih interaktif. Kedua, lebih “immersive” yang berarti bahwa anak atau remaja berada dalam “lingkungan” yang sepenuhnya bermerek untuk sebuah jangka waktu yang panjang, dan garis antara iklan dan konten lainnya kabur.
Ketiga, periklanan online pada dasarnya berbeda karena itu dapat dibangun berdasarkan data tentang anak atau remaja itu memungkinkan untuk ditargetkan kepada mereka berdasarkan minat mereka, lokasi, dan karakteristik demografis.
Banyak perusahaan telah menciptakan merek situs web yang menyertakan konten yang dirancang untuk menarik anak-anak atau remaja (CommonSense Media, 2014). Salah satu website situs kosmetik yaitu Sociolla.com yang membuat tema khusus yaitu “Beauty Galaxy Magic Sale” pada Harbolnas 2019.
Desain pada situs dibuat dengan menarik dengan tampilan ungu dan pink yang identik dengan warna kegemaran wanita. Hal ini semakin membuat para remaja putri membeli produk tersebut karena tampilan layar website yang dinilai “lucu” dan menarik. Banyaknya informasi dan iklan yang ditampilkan oleh media tidak dapat dipungkiri.
Media akan selalu memberikan arus informasi yang tidak dapat kita hindari. Sangat penting bagi kita untuk bisa menyaring informasi yang diberikan oleh media. Selain itu kita juga perlu untuk memilah produk yang sesuai kebutuhan bukan untuk kepuasan semata. Sifat impulsif merupakan sifat yang harus dihindari dalam derasnya iklan produk di era digital ini. Kita perlu bijaksana dalam menggunakan pendapatan agar tidak terjerumus dalam pemborosan.