Jumat, November 8, 2024

Filsafat Wajah dalam Relasi dengan Orang Lain

Vinsensius S.Fil.
Vinsensius S.Fil.
Lulusan S1 Filsafat dari Universitas Widya Mandala, Surabaya. Hobby membaca dan menulis tulisan inspiratif.
- Advertisement -

Mudah bagi kita untuk menerima kelebihan orang lain dari pada menerima kelemahan orang lain. Kritik, desas desus, gosip, dan segala bentuk berita miring terjadi karena kita selalu memandang rendah orang lain dan hanya berfokus pada kelemahan dirinya saja. Namun ada hal lain yang dilihat oleh Emmanuel Levinas, seorang filsuf dari Perancis. Dia memandang orang lain sebagai wajah dari “Yang Lain”. Mari kita ikuti dan kupas sedikit pemikirannya.

Levinas dengan tegas menolak pandangan “totalitas”, yang artinya memandang bahwa semua orang sama saja (ditotalkan saja seperti angka). Padahal setiap orang memiliki keunikan dan kekhasannya sendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Keunikan inilah yang disebut oleh Levinas sebagai “Wajah”.

Wajah itu menampakkan diri di hadapanku dengan segala keunikannya. Aku tidak boleh memandang wajah itu dengan pikiranku sendiri dan tidak boleh juga memperlakukan wajah itu menurut keinginan diriku sendiri. Aku harus membiarkan wajah itu menampakkan diri apa adanya dengan segala keunikannya yang pasti berbeda dengan diriku dan juga orang yang lainnya.

Maka dari itu, kita tidak boleh menilai orang lain dengan pikiran kita sendiri, atau memberikan cap kepada orang lain menurut pandangan diri kita sendiri.

Sangat mudah bagi kita untuk menilai buruk terhadap orang lain, karena pikiran kita sendiri sudah dipenuhi dengan keburukan dan kemunafikan.

Biarkanlah orang lain memperkenalkan dirinya sebagaimana adanya sesuai dengan apa yang telah dia perbuat dan dia tulis sendiri tentang dirinya.

Pribadi setiap orang itu berbeda, maka orang lain dapat disebut sebagai “Yang Lain”, karena memang dia berbeda dengan Aku dalam kepribadian, sifat, karakter, pengalaman hidup, dan lain-lain. Jadi, biarkanlah dia menampakkan dirinya sesuai dengan keaslian dirinya sendiri tanpa “bumbu-bumbu” dari kita yang dapat merusak citra asli dari “Yang Lain”.

Jika kita menilai orang lain dengan menambah sendiri menurut pemikiran kita yang buruk dan jahat, kita telah melanggar etika, karena merendahkan martabat orang lain.

Apabila kita mampu memahami orang lain sebagaimana adanya dan sesuai dengan kenyataannya, maka di jagat bumi ini tidak ada lagi gosip, hoax, dan kejahatan verbal lainnya.

Pemikiran kita berhubungan erat dengan etika yaitu perbuatan yang etis. Jika pikiran kita bersih maka perbuatan kita juga akan bersih. Namun jika pikiran kita jahat maka perbuatan kita juga akan jahat, karena pikiranlah yang mengendalikan seluruh diri kita.

Vinsensius S.Fil.
Vinsensius S.Fil.
Lulusan S1 Filsafat dari Universitas Widya Mandala, Surabaya. Hobby membaca dan menulis tulisan inspiratif.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.