Siang itu, suasana lain terjadi dalam sebuah restoran yang sederhana. Untuk pertama kalinya, diskusi filsafat dihadiri oleh banyak tokoh. Tidak berhenti disitu, komunitas filsafat, jurnalis muda, mahasiswa dan kaum profesional juga punya andil memadati ruang diskusi.
Acara ini digagas oleh Yustinus Prastowo, yang rela mengkorbankan diri demi terselenggaranya tutur filsafat dan silaturahim akal sehat. Sejauh ingatan saya, bukan saja narasumber yang menjadi rujukan filsafat. Tanpa terduga, banyak tokoh pemikir lain yang juga rela menjadi peserta.
Para narasumber, ada Prof. Mochtar Pabotinggi, Mas Goenawan Mohamad, Akhmad Sahal, Dan Donny Gahral. Tapi sayang, Romo Setyo batal hadir karena harus memimpin Misa Requiem di Kudus. Juga tidak luput, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Toeti Heraty serta Romo Mudji Sutrisno.
Yustinus Prastowo, selaku Ahlul-Bait membuka dengan satu optimisme baru. Bahwa, filsafat tidak boleh dibusukan untuk digunakan sebagai alat “pertukangan politik”. Yang paling menarik, dirinya secara tegas, menolak agenda mempidanakan Rocky Gerung. Itu adalah sikap.
Saya harus menuliskan kembali acara siang tadi, karena begitu tumpah-ruah tuduhan keji bahwa diskusi itu bertujuan dalam mengadili Rocky Gerung diruang publik.
Prastowo cukup berbesar hati membela Rocky dengan menolak proses pemidanaan. Jadi tidak ada satu delikpun, yang pantas disimpulkan bahwa forum itu mengadili Rocky Gerung.
Bukankah tidak pantas, meletakan syair kedunguan Rocky sebagai kajian epistemik?
Bukankah tidak pantas merujuk tidakan Rocky sebagai preferensi kajian etik?
Bahkan, meletakan Rocky sebagai seorang filsuf pun sama sekali tidak pantas.
Ketidak pantasan itulah, yang menguatkan Rocky untuk mangkir hadir.
Forum itu, seakan menemukan satu oase baru. Oase akan kerinduan banyak orang dengan pembicaraan yang punya standar berfikir. Satu upaya melihat lebih jernih, tanpa menimbang dikotomis politik.
Ada segelintir orang, yang melecehkan marwah filsafat untuk pertukangan politik. Tidak sampai disitu, bahkan tradisi filsafat yang ketat diabaikan. Filsafat diperlalukan longgar, bahkan cenderung kedodoran. Ditengah kedodoran itu, ada orang yang bangga memperlihatkan kemaluannya yang penuh koreng dan kudis. Dengan gegap gempita, dia bercerita ditengah kebusukannya itu dia tetap hidup. Dia berpidato, ditengah masyarakat yang tercemar wabah herpes simpleks.
Filsafat sebagaimana sifatnya, diyakini Sokrates sebagai sebuah induk pengetahuan. Filsafat bukan lembaga pikiran, yang dibelokan untuk siasat menipu publik. Filsafat sesuatu yang lahir atas tindakan akal budi. Bukan sebatas akal-akalan. Dalam pemahaman yang paling universal kerap dimaknai dengan “mencintai kebajikan”. Ada dua epistemik dalam satu definisi, mencintai dan kebajijikan.
Dalam keseharian kita, cinta adalah penuh dengan kehati-hatian bersama segenap pengorbanan. Untuk mencapai paripurna, cinta akan menemukan satu dimensi kebenaran atas dua sisi atau lebih. Dan lantas ada kebulatan tekad bersama. Itu artinya, cinta bukanlah sesuatu yang tunggal.
Sedangkan kebajikan, adalah pengetahuan atau hikmah yang berguna untuk banyak orang. Kebajikan tidak akan bertahan lama, tanpa disertai kemurahan hati yang terbentuk secara kompleks dalam periode waktu. Artinya, seseorang tidak lantas begitu saja menjadi bijak karena alasan kedermaan. Kebijakan ditempuh dengan kelapangan hati, tanpa menjadi pasrah-menyerah pada keadaan.
Jika saja, kita kembali melakulan upaya khusuk dalam pemurnian itu. Maka, lidah dan ludah kita tidak akan mudah serta instan melontarkan fatwa palsu; “ini adalah filsafat”.
Orang-orang jahat itu, bekerja diatas otoritas yang sesat. Menebar jala kebohongan, agar semakin banyak awam tersangkut dalam keranda kebodohan. Kalimat-kalimat itu terdengar dahsyat, dalam nyatanya dekat pada segala yang sesat.
Kejahatan, selalu melawan takdir akal sehat. Ketika orang-orang jahat, membajak filsafat. Disitulah cinta dan kebijaksanaan kembali diuji. Para cendikia dan kita, harus lagi-lagi bekerja. Bekerja dalam tuntutan yang luhur. Bekerja untuk kebenaran.
Segala maklumat akal sehat harus berkumandang. Bukan saja menggelegar diatas podium-podium universitas. Tidak saja melebar di meja-meja kafe dan resto. Juga harus, mengetuk pintu-pintu di desa.
Karena niat jahat, sudah bergerak bersama si fakir akal. Bukankah menjadi tanggung jawab kita, menafkahi para fakir akal itu, dengan Kebenaran!
“Akal Sehat Tak Boleh Rehat”
Cikini, 13 February 2019