Kasus Korupsi di Indonesia setiap tahunnya menjadi hal yang marak diperbincangkan. Negeri yang kaya ini terus menerus diperas oleh koruptor, dan pada akhirnya semakin hari Indonesia selalu mengalami kerugian, mulai dari kasus Jiwasraya yang merugikan negara dengan nominal senilai 13 triliun, kasus Asabri yang merugikan negara senilai 10 triliun, kasus Bank Century yang merugikan negara senilai 7 triliun, kasus Pelindo II merugikan negara senilai 6 triliun, dan kasus-kasus korupsi yang lain.
Dengan era keterbukaan saat ini, publikasi tentang korupsi semakin mendapat ruang pemberiatan baik melalui media elektronik, surat kabar bahkan melalui pemberitaan di internet (cyber news). Hal ini sesungguhnya sangat menguntungkan bagi masyarakat karena dapat secara langsung melakukan pengawasan terhadap penanganan korupsi.
Koruptor di era suharto di istilahkan dengan nama “tikus kantor”, di era sekarang di istilahkan dengan nama “maling rakyat”.
Tak sedikit dari mereka yang korupsi tidak merasa menyesal akan perbuatannya, bahkan ketika tersangka maupun terpidana disorot kamera, ia masih bisa tersenyum dan dengan santai mengatakan, “saya akan ikuti aturan yang berlaku dan saya siap menerima hukuman yang diberikan kepada saya”, bukan malah berkata “saya menyesal atas perbuatan yang saya lakukan, saya berharap agar seluruh masyarakat memaafkan perbuatan saya dan saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi..” harusnya ini yang dikatakan oleh para koruptor, berbeda dengan koruptor di negera lain yang terlihat sangat sedih dan ketakutan apabila tertangkap korupsi.
Umumnya mereka berani melakukan korupsi adalah karena hukuman yang akan mereka terima tidaklah terlalu berat, berbeda dengan negara China, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara yang mana hukuman bagi pelaku korupsi adalah kalau tidak ditembak mati yaaa digantung mati di depan khalayak masyarakat. Berbeda dengan di Indonesia yang mana hukumannya hanyalah dipenjara dan diberikan denda, bahkan denda yang ia bayar pun tidak membuatnya jatuh miskin.
Korupsi di era orde lama dan korupsi di era sekarang sangat berbeda, mengapa? Karena di era orde lama korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dilakukan di bawah meja, sedangkan di era sekarang mereka sudah berani korupsi di atas meja.
Untuk menjelaskan seringkalinya terjadi korupsi di Indonesia, setidaknya terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi penyebab terjadinya korupsi di antaranya adalah faktor kebutuhan, tekanan, kesempatan, rasionalisasi, sistem, hukumannya masih ringan, kekuasaan ekstra ordinary .
Seseorang terdorong untuk melakukan tindakan korupsi karena ingin memiliki sesuatu namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan yang diinginkan tersebut. “Biasanya dorongan korupsi dari faktor kebutuhan ini dilakukan oleh orang-orang bersentuhan langsung dengan pengelolaan keuangan.
Demikian pula dengan faktor tekanan, biasanya dilakukan karena permintaan dari seseorang kerabat atau atasan yang tidak bisa dihindari. “Faktor tekanan ini bisa dilakukan oleh pengelola keuangan, bisa juga oleh pejabat tertinggi di lingkungan instansi pemerintah.
Sedangkan faktor kesempatan, kata dia, biasanya dilakukan oleh pemegang kekuasaan dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya diri. Meskipun cara untuk mendapatkan kekayaan tersebut melanggar undang-undang yang berlaku.
Demikian juga dengan rasionalisasi, biasanya dilakukan oleh pejabat tertinggi seperti bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota atau gubernur di tingkat provinsi. “Pajabat yang melakukan korupsi ini merasa bahwa kalau dia memiliki rumah mewah atau mobil mewah, orang lain akan menganggapnya rasional atau wajar karena dia adalah bupati atau gubernur.
Faktor penyebab orang melakukan tindakan pidana korupsi karena sistem. Biasanya, dalam konteks ini pelaku semula bukan pelaku yang antusias atau berambisi, tetapi karena sekelilingnya yang sudah korup dan jika ditolak akan dianggap aneh. Benih-benih ini yang membuat si pelaku harus ikut-ikutan bertindak korupsi.
Faktor lain yang membuat korupsi tidak pernah berhenti adalah karena hukuman bagi pelakunya masih ringan? Hukum di Indonesia bahkan bisa dibeli. Coba kita lihat hukuman bagi rakyat kecil yang hanya mengambil kayu dihutan, ia bisa dijatuhi hukuman lebih lama dibanding para koruptor. Sedangkan pejabat yang korupsi milyaran bahkan triliyunan rupiah hanya dihukum beberapa tahun, apakah ini yang dimaksud hokum yang adil, barangkali coba kalau hukuman pelaku korupsi selain dipenjara dan didenda, satu jarinya dipotong, satu saja, coba.
Dan yang terakhir adalah kekuasaan, logika koruptor yang memiliki kekuasaan adalah begini “saya maling dan saya tidak mungkin ditangkap karena saya memiliki kekuasaan ekstra ordinary, berbeda dengan maling biasa. Jadi karena surplus kekuasaanlah yang membuat saya berani untuk korupsi.”
Sakit hati ini rasanya bilamana melihat berita di televisi dan berita di media lain yang hari-hari berisi tentang kasus korupsi, andai korupsi bisa dilenyapkan hanya dengan menyentikkan jari seperti di iklan Djarum 76, tapi ya sudahlah, mending minum kopi sambil memandangi langit biru.