Film yang berjudul ‘Tilik’ karya Wahyu Agung Prasetyo tengah naik daun. Film yang berdurasi kurang lebih setengah jam ini memberikan banyak tanda mengenai stereotip perempuan dan label ‘bad women’ di kalangan masyarakat Jawa.
Film ini diawali dengan adegan para ibu- ibu yang membicarakan tokoh ‘Dian’. Selama ini tokoh Dian diduga bekerja sebagai perempuan nakal. Sebabnya, status pekerjaan Dian tidak jelas. Sehingga para ibu- ibu pun menyangsikan hasil kerja Dian yang terlampau berlebihan. Padahal Dian hanyalah lulusan SMA.
Merujuk pada model analisis semiotika Roland Barthes, konotasi yang dimunculkan pada film ‘Tilik’ adalah bentuk diskriminasi pada budaya Jawa dalam melihat laki- laki dan perempuan mengenai kehendak untuk menikah. Perempuan disosialisasikan perannya sebagai ibu rumah tangga. Tujuan perempuan seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga sesudahnya hampir seluruh kehidupannya dilewatkan dalam keluarga (Arief Budiman, 1985: 3).
Imbasnya, masyarakat memandang sebelah mata, menggunjingkan hingga mengucilkan perempuan dewasa yang tak kunjung menikah. Berbeda halnya dengan laki- laki yang memutuskan untuk tidak menikah atau belum menikah. Mereka akan tetap memiliki ruang yang layak di tengah masyarakat.
Asumsi masyarakat mengatakan bahwa perempuan yang tidak segera menikah dianggap belum menjadi perempuan sejati versi budaya Jawa. Dalam budaya jawa, konsep perempuan sejati banyak digambarkan melalui karya sastra Jawa kuno, salah satunya adalah sastra Jawa Kuno serat Panitisastra.
Dalam sastra tersebut, perempuan hanya dilihat dari fungsi reproduksinya saja, yakni kemampuan untuk melahirkan (Sudewa dalam Budi Susanto, dkk; 2000: 40–41). Seorang perempuan yang tidak memiliki anak, dianggap sebagai perempuan yang sia- sia. Apalagi, memutuskan untuk tidak menikah. Pendek kata, tokoh ‘Dian’ adalah gambaran ‘bad women’ berdasarkan budaya Jawa.
Stereotip ‘Bad Women’
Masih berlandas pada narasi Sudewa dalam buku Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa), konsep perempuan sejati berdasarkan sastra Jawa Kuno erat kaitanya dan selalu dihubungkan dengan bentuk tubuh dan kodrat alami perempuan. Yakni menyegerakan untuk menikah dan melahirkan, untuk secepatnya memperoleh keturunan.
Lebih parah, konsep serat Panitisastra juga mengharuskan perempuan untuk memiliki keturunan laki- laki. Juga memberikan batasan bagi perempuan untuk cukup sekali saja dalam melahirkan.
Maka jika seorang perempuan tak mampu mengejawantahkan konsep tersebut, lambat laun mereka akan menyandang predikat ‘bad women’.
Perkembangan zaman yang semakin mutakhir, masih belum mampu memutus stereotip ‘bad woman’ merujuk konsep tersebut. Terutama di lingkungan pedesaan. Peran dan stereotip tersebut telah menjadi pola pikir umum, tak lagi hanya kalangan orang- orang Jawa. Disadari atau tidak, stereotip ini menuju universal.
Menghambat Aktualisasi Perempuan
Abraham Maslow mengkategorikan aktualisasi diri menjadi kebutuhan manusia, tak terkecuali kebutuhan perempuan (Maslow dalam Frank Globe, 1994: 51). Perempuan juga berhak untuk mengembangkan bakat, kapasitas dan potensi yang dimiliki, baik untuk memenuhi kebutuhan maupun tidak. Bentuk kongkrit nya, aktualisasi perempuan dapat berupa kewenangan bekerja dan melakukan segala aktivitas publik.
Lebih jauh, adanya stereotip ‘bad women’ akan menghambat aktualisasi diri perempuan. Karena dalam aktualisasi diri tak bisa terlepaskan dari nilai lingkungan sosial budaya, peran- peran sosial dan norma budaya yang ada.
Bayangkan saja, perempuan akan mendapatkan gunjingan, bahkan dikucilkan ketika melakukan aktualisasi diri ditengah usia yang produktif. Hal ini juga dipengaruhi dengan budaya nikah mudah yang berkembang pada masyarakat Jawa.
Ketika telah menikah, perempuan juga akan mengalami pembatasan untuk mengaktualisasikan dirinya di ranah publik. Ini tak lain dan tak bukan lantaran perempuan fitrahnya ditasbihkan dengan ibu rumah tangga.
Data mengungkapkan bahwa partisipasi perempuan dalam dunia kerja meningkat dari tahun ke tahun. Namun, data tersebut menempatkan perempuan pada posisi pekerjaan yang tidak strategis (Angger Wiji Rahayu: Perempuan dalam Belenggu Budaya, 2015).
Upah yang mereka dapatkan relatif rendah jika dibanding dengan laki- laki. Hal ini disebabkan lantaran perempuan dianggap bukan pencari nafkah utama, bukan kepala rumah tangga.
Oleh karena itu, untuk menghentikan stereotip ‘bad women’ dan hambatan aktualisasi diri pada perempuan tak cukup hanya berdialektika di ruang- ruang akademik. Perlu adanya pemberdayaan perempuan melalui program ekonomi, budaya maupun pendidikan. Tujuannya, agar perempuan lebih berdaya di ruang publik.
Ditambah dengan melakukan edukasi dan pemahaman sisi wajar tidaknya ‘bad women’ berdasarkan konsep diatas disandingkan pada konteks kekinian dan kedisinian. Dengan kata lain, jalan utama untuk memutus stereotip ini adalah meningkatkan kualitas SDM perempuan dan anak dimasa yang akan datang.
Hal serupa juga wajib disosialisasikan kepada kelompok agamis, kelompok pesantren misalnya. Tidak sedikit para masyarakat muslim pada umumnya dipengaruhi oleh sistem patriarki dalam melakukan pemahaman agama. Sehingga pemahaman yang dihasilkan adalah pemahaman patriarki. Pemahaman ini erat kaitannya dengan posisi laki- laki atas imam untuk perempuan.
Alangkah lebih baik jika pemahaman baru juga perlu dihadirkan dengan menggunakan sudut pandang keadilan gender. Dengan menggunakan kacamata keadilan gender, diharapkan dapat meminimalisir atau memutus konsep ‘bad women’ dalam budaya Jawa serta lebih menyegarkan kembali aktualisasi perempuan di ruang publik.
Sumber
Budiman, Arif. (1985) Pembagian Kerja Secara Seksual (sebuah pembahasan sosiologistentang peran wanita dalam masyarakat). Jakarta: Gramedia
Susanto, Budi, dkk. (2000) Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Goble, Frank. (1997) Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, cetakan I, Yogyakarta: Kanisius.