Sabtu, April 20, 2024

Film Indonesia, Antara Kualitas dan Bacot Netizen

Dhia Amira
Dhia Amira
Seorang mahasiswa hubungan internasional di universitas muhammadiyah malang

Saat ini, majunya industri perfilman Indonesia ditandai dengan melambungnya tingkat produksi film serta diimbangi dengan peminat  yang juga semakin meningkat. Tidak seperti sebelumnya, kebanyakan film Indonesia tidak bisa memenangkan hati masyarakatnya sendiri.

Namun yang akan dibahas disini bukanlah mengenai bagaimana perfilman itu sendiri, melainkan bagaimana konsumen atau penonton menyikapi atau mengapresiasi sebuah karya film. Bagaimana kemudian penonton memilah-milih tontonan yang dirasa pantas untuk disaksikan dan dinikmati?

Seperti yang kita ketahui, maraknya berbagai macam genre film mengundang bermacam-macam peminat mempengaruhi pola industri perfilman dalam produksi filmnya. Dan tak jarang banyak industri perfilman memproduksi film hanya sebatas meraup keuntungan. Faktor ini terjadi juga karena minat mayoritas masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini yang menjadikan pengkualifikasian dalam kualitas cara berpikir konsumen untuk mengapresiasi sebuah karya film.

Timbulnya dikotomi ditengah-tengah konsumen antara kecenderungan minat yang selain genre juga mengenai kualitas karya film tersebut. Sebagai contoh beberapa genre film yang memang belum tentu memuat nilai moral yang cukup lebih banyak diminati dan menang telak ketimbang film dokumenter seperti ‘Sexy Killers’ yang baru baru ini mengudara, dimana subjeknya sendiri manusia dan sebuah non-fiksi yang berangkat dari fakta. Dikarenakan dinilai bahwa film-film seperti film dokumenter membosankan dan tidak menghibur.

Maka dari peminatan genre film saja bisa dinilai kualitas cara berpikir masyarakat kita yang sebagian besar adalah konsumen aktif dari film itu sendiri. Contoh ekstrim dari cara berpikir yang agaknya melenceng ini adalah dimana dikecamnya film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ garapan sutradara Garin Nugroho, yang dinilai mengampanyekan isu LGBT dan penyimpangan sosial.

Selain itu, nilai-nilai yang direpresentasikan memiliki nilai yang bertentangan dengan nilai agama. Hingga dibuatkan petisi oleh para netizen budiman untuk bersama-sama mencari suara dalam rangka mengecam keras ditayangkanya film ini.

Tentu tanpa ada kajian dan dialog terlebih dahulu. Lalu dengan film berjudul ‘Dua Garis Biru’ garapan sutradara Ginatri S.Noer besutan dari StarVision ini juga sangat menuai kontroversi dari para netizen, dinilai memberi pengaruh buruk terhadap anak muda dalam hal pergaulan bebas dan banyak stereotip lainya. Yang juga disertai petisi untuk memboikot meskipun saat ini petisi tersebut sudah ditarik kembali.

Dalam ‘Dua Garis Biru’ mengapa bisa dinilai menjerumuskan generasi muda untuk melakukan hal-hal amoral dan pergaulan bebas? Sedangkan film ini dimaksudkan untuk memberi edukasi seks dan penjagaan dari pergaulan bebas yang memang penting bagi generasi muda secara tidak langsung.

Mengapa hal ini terjadi? Karena tidak adanya kajian dan dialog mengenai hal tersebut. Netizen semakin terbiasa dengan penghakiman massal seiring berjalanya waktu. Menjamurnya hal ini menunjukkan ketidak terbukaan masyarakat media sosial (netizen) Indonesia dalam menilai suatu hal. Dan hal ini berdampak pada produksi film dalam dunia industri film Indonesia. Banyaknya tontonan-tontonan tanpa pesan moral didalamnya, ditayangkan secara bebas di berbagai stasiun TV swasta.

Maka untuk diperhatikan bagaimana masyarakat memahami materi dari sebuah karya film agar tidak ada penilaian dan penghakiman sepihak. Karena terlalu dini bagi saya untuk seseorang menilai sebuah karya film tanpa memahami unsur-unsur serta pesan yang tersemat didalamnya. Permasalahanya adalah minimnya kemauan masyarakat khususnya netizen untuk mengkaji suatu permasalahan sebelum menilai, termasuk karya film itu sendiri.

Dan seharusnya yang terpenting dalam produksi film adalah tidak hanya mengenai berapa banyak keuntungan materil yang diraup dari sebuah produksi film semata, melainkan nilai moral, pesan serta estetika yang dijunjung menjadi karya seni yang mana dapat berperan dalam mendidik anak bangsa.

Pesan humanisme, intelektualisme dan religiuisme sebenarnya sudah banyak  tersemat sebagai pesan di berbagai karya film di Indonesia yang semestinya mendapatkan apresiasi oleh konsumen. jadi apa masih mau  yang menjadi parameter perfilman Indonesia ini hanya dari kehendak netizen dengan mengesampingkan kualitas?

Dhia Amira
Dhia Amira
Seorang mahasiswa hubungan internasional di universitas muhammadiyah malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.