Senin, April 29, 2024

FGM (Female Genital Mutilation): "Sunat" pada Perempuan.

Agus Mauluddin
Agus Mauluddin
Pemerhati Sosial. Peneliti di CIC Institute of Rural and Urban Studies. [ig: @cic.official.id]. Penikmat Kopi & Tea.

Tulisan ini berangkat dari berita harian Republika, Selasa (31/5/16) yang menyoal seorang remaja putri meninggal setelah operasi sunat di sebuah rumah sakit swasta di Suez. Dan memperkaya kajian (tulisan Meiwita Budiharsana di “The Conversation Indonesia”, 11/10/17) di bidang ini.

Female Genital Mutilation atau sering disebut FGM, sering pula orang menyebut sunat/sudat pada perempuan merupakan fenomena sosial yang bisa ditemukan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia di dalamnya, yang memang mempunyai kultur tersendiri perihal FGM ini.

Foucault (Jones 2010:184) mengartikan FGM sebagai praktik memotong sedikit klitoris. Foucault juga memberikan penjelasan bahwa FGM harus dipahami dalam aspek tujuannya. Jika tujuan pokok dari perkawinan dimaksudkan agar suami mendapatkan keturunan dari sang istri dan oleh sebab itu ia dapat mewariskan harta kekayaannya, maka pengaturan seksualitas perempuan menjadi suatu keharusan. Tanpa jaminan keperawanan perempuan, suami yang baru menikahi sang istri akan merasa skeptis tentang anak yang dilahirkannya, apakah benar-benar keturunan biologisnya atau bukan.

Sering orang menyebut FGM ini dengan istilah disunat atau disudat. Untuk beberapa kasus terdapat fenomena FGM yang paling ekstrim yaitu dengan menjahit labia. Foucault menggambarkan bahwa feminis yang menyebutkan adanya kasus “menjahit labia” sebagai bentuk yang sangat tegas dari patriarki. Sebab, jika labia seorang perempuan itu dijahit, labianya semakin sempit,  eksesnya pada kepuasaan seorang laki-laki dalam berhubungan seks.

Sedangkan menurut Haifaa A. Jawad (2002:179) FGM atau penyunatan alat kelamin perempuan adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan satu macam operasi alat kelamin yang dilakukan kepada anak-anak perempuan, gadis-gadis dan kaum perempuan.Secara umum ada tiga tipe pokok sirkumsisi pada perempuan, di antaranya yaitu:

Pertama, sirkumsisi adalah tipe penyunatan alat kelamin yang paling ringan, yang mencakup tindakan memotong penutup klitoris. Dikenal juga di beberapa negara Muslim sebagai tindakan sunnah, dan ini adalah satu-satunya bentuk penyunatan yang secara tepat dapat digambarkan sebagai sirkumsisi.

Kedua, eksisi adalah penyunatan yang menghilangkan klitoris dan seluruh labia minora atau sebagian labia minora.

Ketiga, infibulasi adalah bentuk penyunatan yang paling berat. Terdiri dari tindakan menghilangkan seluruh klitoris, labia minora dan bagian-bagian dari labia mayora. Dua sisi vulva dijahit jadi satu dengan hanya menyisakan satu lubang kecil untuk keluarnya darah menstruasi dan kencing.

Penulis menyoroti macam-macam FGM yang sudah disebutkan oleh Dr. Haifaa A. Jawad di atas. Dalam tulisan ini penulis ingin menyampaikan bahwa tipe FGM yang pertama-lah yang dirasa cocok untuk diterapkan, dengan catatan, jika memang suatu Negara, daerah, mengharuskan untuk melaksanakan praktek tersebut.

Sebagai contoh, jika dilihat berdasar historis pada masa Fir’aun, terdapat seorang Janda dari mendiang Fir’aun dikubur hidup-hidup untuk memastikan bahwa mereka tidak akan dapat memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Pada masa Romawi Kuno, budak-budak perempuan dipasangi cincin pada labia mayora mereka untuk mencagah agar mereka tidak hamil. Fenomena yang begitu miris untuk didengar, begitu kejamnya perlakuan pada masa itu.

Dilihat secara historis, bahwa FGM ini belum ada satu kesepakatan pun tentang asal usul prakteknya. Akan tetapi FGM diyakini telah dilakukan secara meluas pada masa Mesir kuno atau pra-Islam, sehingga diperkirakan bahwa Mesir-lah negara pertama yang mempraktekan FGM ini. Namun, diyakini juga bahwa praktek ini mungkin adalah sebuah ritus remaja orang Afrika yang sudah tua usianya, yang disebarkan ke Mesir melalui cara difusi.

FGM ini telah dipraktekan oleh orang-orang Muslim, Katolik, Protestan, Penganut Kopt, Penganut Animisme, dan para Ateis di negara masing-masing. Misalnya di Mesir dan Sudan, orang-orang Muslim dan Kristen sama-sama mempraktekan sirkumsisi perempuan dan praktek tersebut didukung oleh alasan-alasan budaya dan tradisi.

Orang-orang Muslim di beberapa negara tertentu masih terus percaya secara salah bahwa perempuan yang tidak disirkumsisi dari sudut pandang agama dinilai tidak bersih, sehingga dengan disirkumsisi itu perempuan akan bersih dan lebih suci.

Pada saat ini, FGM dipraktekan di lebih dari 20 Negara. Di Afrika meliputi negara Kamerun, Ghana, Mauritania, Chad, Mesir Utara, Kenya, Tanzania, Sudan, Mali, Bostwana, Ethiopia, Nigeria. Di Asia pun dipraktekan seperti familiar di kalangan orang-orang Muslim Philipina, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia. Namun, operasi pembedahaan ini tidak umum dilakukan di beberapa negara tertentu seperti Saudi Arabia, Iran, Iraq, Yordania, Syiria, Lebanon, Maroko, Aljazair, dan Tunisia.

Menurut penuturan seorang Sudan bahwa alat-alat kelamin perempuan bagian luar itu kotor dan dianggap juga jelek. Oleh karenanya, alat-alat kelamin tersebut perlu dihilangkan untuk menjaga kebersihan. Alasan lain yakni alasan seksual, hal tersebut meliputi beberapa persoalan tertentu seperti penjagaan keperawatan yang dinilai tinggi di semua masyarakat yang memegangnya, seakan-akan menjadi sebuah syarat bagi perkawinan.

Berdasarkan pada persoalan penting yang sering sekali disebutkan oleh perempuan ataupun laki-laki adalah apa yang disebut dengan bentuk alamiah perempuan yang “sangat bernafsu seksual” dan pentingnya mengurangi keinginan tersebut supaya mereka terhindar dari malu dan tercela. “Penting bagi semua perawan untuk dipaksa menjalani sirkumsisi agar mereka dapat menjaga kesuciannya”. Ujar perawat Mesir yang bekerja pada pusat kesehatan di sana. Menurut perawat mesir tersebut, ia akan melakukan sirkumsisi terhadap anaknya untuk melemahkan birahi seksual anak-anak perempuan, sehingga perempuan akan terjaga kesuciannya.

Dalam kacamata Fiqih atau menurut Hadis yang paling sering disebutkan tentang FGM ini adalah hadis yang menceritakan bahwa Nabi SAW, setelah melihat Ummu Atiyyah – tukang sunat, beliau memerintahkan kepadanya untuk “memotong sedikit dan tidak melebih-lebihkannya, karena yang demikian itu lebih menyenangkan bagi perempuan dan lebih baik bagi suaminya”. Sunat itu sunnah bagi laki-laki dan makrumah (perbuatan yang mulia) bagi perempuan.

Akan tetapi, setelah melihat secara lebih dekat terhadap hadis tersebut, ternyata ada versi lain yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan dengannya, yang akhirnya mengurangi kreadibilitas hadis tersebut. Selain itu, hadis-hadis yang ada secara umum dinilai sebagai hadis-hadis yang tidak shahih dan dha’if menurut Mahmud Syaltut, mantan Syeikh al-Azhar Kairo. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa sunat perempuan itu tidak memiliki dasar apapun, baik dalam al-Quran maupun al-Hadis. 

Menurut Syeikh Abbas, Rektor Institut Muslim pada Masjid di Paris, menegaskan pandangan ini. “Kalau sunat/sudat bagi laki-laki (meskipun tidak menjadi wajib) itu memiliki tujuan estetika dan higenisitas, maka tidak ada satu pun teks keagamaan islam tentang nilai yang menetapkan adanya sirkumsisi bagi perempuan. Wallahu’alambishawab!

Agus Mauluddin
Agus Mauluddin
Pemerhati Sosial. Peneliti di CIC Institute of Rural and Urban Studies. [ig: @cic.official.id]. Penikmat Kopi & Tea.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.