Rabu, April 24, 2024

Fenomena Sesat Pikir Ad Hominem di Media Sosial

Suriadi Bara
Suriadi Bara
Pustakawan Komunitas Setara. Dapat dihubungi melalui surel: suriadibara@gmail.com dan instagram: @pustakamerahitam.

Seseorang sedang rindu bercengkerama dengan sahabatnya. Kesibukan kerja dan rutinitas yang lain, membuat dia dan para sahabatnya sulit bersua. Mereka pun mengatur waktu untuk saling mengobati kerinduan. Namun, setelah berada dalam satu ruang – bukannya mengobrol, mereka malah asyik dengan gawai masing-masing. Mereka sibuk berselancar di media sosial. Rencana awal mereka pun terabaikan dan saling mengalienasi.

Baudrillard mengatakan hal demikian sebagai fenomena manusia yang hidup dalam fantasi sebuah layar dan jaringan. Interaksi manusia berubah menjadi interaksi pada layar. Media sosial sebagai salah satu produk era digital telah menjadi candu. Kebanyakan manusia di era sekarang, lebih tergiur beraktivitas di sana – kadang lupa waktu dan tempat.

Di media sosial, sangat mudah kita dapati perdebatan tak berujung. Sangat langka menjumpai perdebatan yang mencerahkan pemikiran. Kebanyakan membuat puyeng ketika membacanya karena berangkat dari aktivitas sesat pikir. Suatu aktivitas berpikir yang menyalahi prinsip-prinsip logika –cara berpikir yang tepat. Misalnya, warganet saling menyerang personal daripada berfokus pada gagasan yang disampaikan mitra tuturnya. Fenomena seperti itu merupakan bentuk kesesatan berpikir yang dikenal dengan istilah Ad Hominem.

Beberapa hari yang lalu, ketika mengkritisi video seksis yang tersebar di Instagram – seseorang mendebati saya. Sayangnya, dia melakukan perilaku Ad Hominem. Orang tersebut memulai argumen dengan memperkenalkan diri sebagai mahasiswa doktoral di salah satu universitas ternama di Indonesia dan mengoleksi buku hingga empat lemari. Dia membuka pembicaraan dengan cara itu, untuk membangun kredibilitas sebagai kaum intelektual.

Akan tetapi, upaya pencitraannya sia-sia karena mengatakan jangan kaku menyikapi lelucon. Terkadang kaum intelek butuh hiburan, tambahnya. Saya pun mengajukan pertanyaan retorik kepadanya, “Di mana letak intelektualitas yang menjadikan seksisme sebagai candaan?”

Kemudian, saya memaparkan tiga konten bermasalah dalam video tersebut. Pertama, adanya pernyataan bahwa perempuan tidak dapat menahan berahi melihat laki-laki yang berdada kotak-kotak. Itu mencitrakan perempuan sebagai makhluk gampangan yang inferior di hadapan berahi. Kedua, adanya pernyataan yang membebankan perempuan untuk pandai memasak.

Itu merepresentasikan memasak sebagai kewajiban perempuan. Padahal memasak adalah tanggung jawab bersama – antara laki-laki dan perempuan, sama halnya dengan pekerjaan domestik lainnya, seperti: menyapu, mencuci, dan mengasuh anak. Ketiga, adanya pernyataan bahwa perempuan gemar memanfaatkan laki-laki. Ketika diajak serius, perempuan punya sejuta alasan untuk mengelak. Itu mencitrakan perempuan sebagai kaum culas yang lihai menipu.

Ketimbang menanggapi argumen tersebut, dia justru menyerang personal saya. Dia mengklaim saya ingin terlihat pintar, sok paham seksisme, merasa superior, dan merendahkan orang lain. Hal-hal itu yang dia katakan, tanpa mengomentari gagasan saya – bahkan menganggap saya sebagai pelaku ujaran kebencian – menurutnya, saya merendahkan pembuat video itu.

Serangan personal lainnya yang amat lucu, ketika dia menyerang status percintaan saya. Dia mengatakan saya jomlo (sepertinya, dia membaca unggahan saya) karena efek terlalu bermulut besar. Wadadaw! Saya langsung cekikikan membacanya. Seakan-akan dia mengenal pribadi saya. Padahal kami tidak saling kenal. Di media sosial terdapat banyak orang yang demikian – merasa paling tahu mengenai diri kita.

Lalu, saya merespons dengan menyayangkan sikapnya yang menyerang personal, ketimbang menanggapi gagasan. Padahal dia mencitrakan dirinya sebagai kaum intelek – harusnya memberikan tanggapan yang cerdas dan tepat sasaran. Karena merasa terganggu diserang status pribadi, saya pun mengatakan bahwa setiap orang menjalani sesuatu karena rasa nyaman.

Ada yang merasa nyaman menjalin relasi percintaan, maka mereka pacaran atau menikah. Ada pula yang lebih nyaman sendiri, maka mereka lebih memilih menjomlo dan fokus menghidupi impiannya. Kemudian, saya mengutip perkatan Nenek Marjane Sastrapi dalam film Persepolis bahwa lebih baik sendiri daripada menjalani hubungan dengan orang yang menggangu.

Besoknya, saya mendapati perilaku Ad Hominem lagi. Kali ini berwujud diskriminasi karena usia. Remotivi.id mengatakan ini sebagai fenomena ageisme – sebuah bentuk prasangka atau diskriminasi atas individu berdasarkan usianya. Konten yang saya dapati tersebut menyerang individu berupa pernyataan “Usia masih seumur jagung, jangan sok tahu.” Pernyataan itu sungguh menggelitik akal sehat.

Mestinya, gagasanlah yang dikomentari, bukan malah memerkarakan usia. Seolah-olah usia muda belum bisa memiliki kedalaman berpikir. Padahal usia muda dan tua bukan stardardisasi atas kedewasaan berpikir. Orang-orang di sekitar kita, memang gemar melihat orangnya, ketimbang menyelami gagasan yang disampaikan.

Hari berikutnya, saya menjumpai unggahan warganet berinisial ANF yang mengkritisi ibu-ibu yang menghakimi artis berinisial VA karena melakukan prostitusi daring. Status ANF itu menyiratkan bahwa pekerja domestik lebih murahan daripada pekerja seks – karena hanya diberikan uang belanja sepuluh jutaan, bersedia melakukan banyak pekerjaan domestik. Sebenarnya, ANF bermaksud menyindir ibu-ibu yang bertindak sebagai polisi moral – yang mengganggap rendah dan hina VA. Namun, caranya keliru. Seharusnya argumen ibu-ibu tersebut yang dia kritisi, bukan personalnya sebagai pekerja domestik.

Unggahan ANF amat bermasalah karena membela pilihan tertentu dengan mendiskreditkan pilihan yang lain. Apalagi, status tersebut dengan jelas meremehkan pekerjaan domestik. Meremehkan para perempuan yang dengan sadar dan merdeka memilih ruang domestik sebagai ruang berkariernya.

Status ANF itu, beranjak dari pemikiran yang terlalu kapitalistik – menganggap segala sesuatu sebagai komoditas. Seakan-akan segala sesuatu bisa dinilai sebagai kerja upahan. Hal itu memperlihatkan kepada kita bahwa seberat apa pun pekerjaan domestik – pekerjanya senantiasa dipandang sebelah mata karena dianggap tidak menghasilkan nilai-nilai ekonomi.

Fenomena Ad Hominem seperti itulah yang banyak beredar di media sosial. Dalam bentuk lain, terkadang warganet menyandingkan Ad Hominem dengan ujaran kebencian. Orang-orang dengan ringannya saling melabeli dalam bentuk Ad Hominem dan ujaran kebencian, serta perpaduan dari keduanya. Kecenderungan itu meresahkan masyarakat karena memunculkan banyak permasalahan sosial.

Lah, lantas apa yang mesti dilakukan agar tidak melakukan kepandiran Ad Hominem seperti itu? Ah, jangan bercanda Erwinto. Kamu pasti tahu jawabannya. Tidak cukup sekadar sekolah tinggi-tinggi dan mengoleksi banyak buku.

Kemudian, terkait adanya ujaran kebencian yang kadang mengiringi Ad Hominem –barangkali, kita perlu menyelami perkataan, A.S Neil dalam Summerhiill School bahwa kebencian tidak akan menyembuhkan penyakit apa pun. Orang pandir dan penyakit sosial sudah bejibun – kita tidak perlu menjadi bagiannya. Cukup berpraksis dengan banyak mencintai dan menularkannya pada lingkungan sekitar, sehingga dunia maya maupun dunia nyata menjadi ruang aman dan nyaman bagi siapa saja – bukan hanya bagi kaum kasmaran.

Suriadi Bara
Suriadi Bara
Pustakawan Komunitas Setara. Dapat dihubungi melalui surel: suriadibara@gmail.com dan instagram: @pustakamerahitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.