Anda pernah menemui kalimat seperti ini? “Viralkan!”, “Sebarkan!” atau juga kalimat seperti ini “awas diciduk!” hingga kalimat pertanyaan dan pernyataan mengesalkan dari seorang di dunia maya yang terlihat sok tahu ini itu atau bahkan yang terlihat polos dan bodoh.
Tapi itu tergantung anda melihat bodoh atau polos yang begitu dekat hingga kadang seseorang sulit membedakan, tapi dari begitu semua contoh yang anda baca pastinya anda tau siapa pelaku dari semua ini bukan? Netizen! begitulah kita menyebutnya sekarang, lantas memang siapa lagi?
THE NET AND NETIZENS: The Impact the Net has on People’s Lives yang dituliskan oleh Michael Hauben, menyebut mereka yang ada dalam dunia maya dan terlepas dari batas-batas dan sekat geografis sebagai netizen[1].
Netizen, begitulah sebutan bagi mereka yang menjadi warga dunia maya yang terlepas dari sekat. Adanya media sosial dan kemudahan akses dalam internet tentu menjadi syarat yang ideal bagaimana adanya fenomena seperti ini. Akibatnya, banyak hal positif yang terjadi dan begitu juga dampak negatifnya, namun hal yang menarik adalah bagaimana membahas fenomena netizen ini sebagai wujud keterasingan manusia dari realitas.
Gyorgy Lukacs dalam karyanya; History and Class Consciousness, membahas keterasingan manusia modern dari sudut pandang dialektika materialis, dengan membahas bagaimana bahwa keterasingan manusia diawali dengan pemisahan realitas dan subjektivitas manusia, sehingga manusia hanya bisa membaca fenomena yang ada saja tanpa membedahnya.
Dan hal inilah yang mendasarkan manusia berada pada posisi kritisnya, yang akhirnya mencari media lain dalam usahanya untuk menemukan subjektivitas dirinya. Hal ini ditemukan Gyorgy Lukacs setelah mempelajari karya klasik yang kritis, yang menunjukkan bagaimana manusia saat kritis menemukan jati dirinya dalam tokoh dalam sastra seperti Shakespeare, Romeo and Juliet, hingga karya-karya Gothe dan Tolstoy.
Dan hal inilah yang dijadikan landasan dasar bagaimana manusia modern terasing dalam sebuah media lainnya yang terpisah dari realitas. Tulisan awal Gyorgy Lukacs memang sangat mirip dengan pengandaian George Simmel dalam menggambarkan uang sebagai alat yang mengasingkan manusia dan lepas jauh dari hakikatnya[2].
Namun yang menjadikan Geroge Simmel dan Gyorgy Lukacs berbeda adalah bagaimana Lukacs yang menanggapi realitas yang membentuk manusia terasing dari subjektivitasnya adalah sebuah proses dialektika materil yang mana hal ini realitas tidak lahir dengan sendirinya.
Lukacs menganggap bahwa ilmu tak cukup hanya dalam tataran teori saja, namun harus praktis guna bisa diaplikasikan dalam merubah tataran realitas, sehingga subjek bisa keluar dari keterasingan dirinya. Dalam hal ini Lukacs pun menolak anggapan bahwa fenomena masyarakat modern tidak bisa diubah layaknya para pemikir Avant-Garde.
hal tersebut menjadi alasan kita untuk membahas bagaimana fenomena netizen sesungguhnya tak lain dan tak bukan terbentuk karena masyarakat modern mempunyai material baru yang memungkinkan berkembangnya ide-ide untuk mengembangkan media dalam dunia maya, dalam bentuk media sosial dan lain lain. Namun fakta ini berawal dari bagaimana kapitalisme memang menggunakan internet sebagai wahana pasar baru, sehingga menciptakan eksesnya tersendiri, yaitu semakin inklusifnya internet bagi masyarakat luas.
Tapi dari mana asal keterasingan itu sendiri? Untuk membahas asal keterasingan kita juga harus membahas apa itu keterasingan, tentu Marx menjelaskan bahwa keterasingan adalah saat di mana manusia berada di luar dari hakikatnya untuk berproduksi.
Aspek keterasingan dari segi ontologis dijelaskan secara gamblang oleh Marx, dikarenakan sistem kapitalisme yang dengan nilai lebihnya membawa manusia pada keterasingan dirinya, yang seharusnya berproduksi dan hal ini sekaligus menjawab dari mana datangnya keterasingan itu.
Kembali dalam fenomena netizen yang terasing, sesungguhnya netizen adalah layaknya Tolstoy dan Gothe dalam karya Gyrogy Lukacs, yaitu manusia yang terdesak dan berada dalam posisi kritis sehingga menemukan identitas baru mereka di dunia maya.
Wujud keterdesakan itu tak lain adalah akibat realitas yang memaksa netizen terasing dari proses mereka dalam mengaktualisasi diri mereka. Hal ini adalah wajar melihat bagaimana angka netizen yang mayoritas berumur 18–25 tahun atau angka-angka yang merupakan umur angkatan kerja dalam dunia kerja.
Keterasingan mereka adalah kritik bagaimana sesungguhnya kapitalisme yang digambarkan sebagai pilihan yang ada pada era manusia modern, justru menjadikan manusia terasing akibat krisis aktualisasi diri. Adanya smartphone, internet dan media sosial yang terbentuk dari ekses teknologi dalam kapitalisme sendiri, menjadikan terpenuhinya syarat-syarat materil dalam keterasingan, dan di sinilah kita menemui sebuah fakta ilmiah bagaimana menjawab adanya netizen Indonesia dan dari mana mereka lahir dan kenapa mereka ada.
Dari tulisan Gyorgy Lukacs kita memahami bagaimana sebuah fenomena netizen ini bukanlah hal yang tak bisa tertebak dan teramalkan, karena merupakan sebuah bagian ekses dari kapitalisme yang selalu menciptakan wahana-wahana baru yang terbentuk dari reproduksi wacana kapitalisme, mengasingkan seorang manusia dari hakikat sesungguhnya. Akibatnya kapitalisme menciptakan syarat-syarat materil yang memisahkan manusia dari realitas yang ada.
Sumber
[1] Michael Hauben, The Net and Netiens: The Impact the Net Has on People’s Lives, diakses dari http://www.ais.org/~hauben/Michael_Hauben/Collected_Works/Amateur_Computerist/COMMON_SENSE–Net_and_the_Netizens.txt pada tanggal 20 Oktober 2017.
[2] Frans Magnis Suseno, Dalam Bayang Bayang Lenin, Gramedia Utama, Jakarta, 2005.
[3] Berita Satu.com : Mayoritas Netizen Berusia 18 – 25 Tahun http://www.beritasatu.com/iptek/261297-mayoritas-netizen-di-indonesia-berusia-1825-tahun.html