Pasangan suami istri bos agen perjalanan umroh Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan ditangkap polisi dengan sangkaan kasus pencucian uang para calon jamaah umroh yang tak kunjung berangkat selama beberapa tahun terakhir. Tidak tanggung calon jamaah yang gagal berangkat mencapai 60.000 orang dengan kerugian lebih dari Rp 1 triliun.
Para calon jamaah sebelumnya tertarik berangkat umroh melalui First Travel karena diming-imingi biaya murah. Melalui agen perjalanan itu mereka cukup membayar Rp 14 juta yang jauh lebih murah dibandingkan melalui agen lain yang rata-rata Rp 19-20 juta. Syaratnya mereka tidak langsung diberangkatkan tetapi harus menunggu satu tahun, calon jamaah sepakat.
Namun setelah lebih dari satu tahan bahkan ada yang sampai lima tahun para calon jamaah tidak kunjung diberangkatkan dengan berbagai alasan. Ini membuat resah terlebih mereka yang sudah terlanjur berkabar kepada kerabat dan tetangga. First Travel lihai membaca psikologis calon jamaah yang sudah terlanjur malu tak kunjung diberangkatkan. Agen ini kemudian meminta calon jamaah membayar tambahan sejumlah uang agar segera diberangkatkan. Mereka yang sudah terlanjur malu dengan kerabat dan tetangga mau saja memenuhi syarat tambahan itu asalkan segera berangkat saja.
Namun meski sudah memenuhi syarat tambahan mereka masih saja tak kunjung diberangkatkan. Rasa malu itu semakin besar. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sampai pergi mengungsi dari kampung halaman ke suatu tempat karena tidak tahan menanggung malu dengan pertanyaan bertubi-tubi “Kapan berangkat?” dari tetangga maupun kerabat. Pertanyaan itu mungkin sama menyeramkannya dengan “Kapan nikah?” bagi para lajang menjelang usia 30 tahun.Umroh di dalam agama Islam merupakan salah satu ibadah yang disunnahkan.
Umat terutama bagi yang mampu disarankan untuk menjalaninya di Ka’bah Makkah. Bagi yang tidak melaksanakan, agama tidak mempermasalahkannya. Umroh memiliki keutamaan yang nyaris setara dengan ibadah haji. Bedanya salah satunya ibadah haji yang wajib bagi Muslim yang mampu itu dilaksanakan pada momen tertentu yakni sekali setahun ketika bulan haji atau bulan Dzulhijjah, sedangkan Umroh bisa dilaksanakan kapan saja.
Untuk beribadah haji juga ada pembatasan kuota jamaah sehingga pemberangkatannya harus mengantri bertahun-tahun. Di samping itu ongkos yang harus dikeluarkan juga lebih mahal. Tidak mudahnya beribadah haji turut menjadi salah satu faktor pendorong umat memutuskan untuk beribadah umroh terlebib dahulu. Dengan beribadah umroh, umat sudah bisa mengunjungi Ka’bah di Makkah yang menjadi cita-cita sebagian umat Islam.
Selain itu, ibadah umroh bisa mengangkat status sosial seorang umat di lingkungan masyarakat. Dengan beribadah umroh maka seorang umat akan terlihat keimanannya dalam beragama. Keimanan beragama inilah yang menjadikan seseorang dihargai masyarakat dan itu sebagai satu syarat dirinya mendapatkan status dalam stratifikasi sosial dalam bermasyarakat (Jefta Leibo, 1995:57). Ini hampir sama dengan status sosial seseorang ketika mendapatkan gelar H di depan namanya seusai beribadah haji.
Namun ketika seseorang gagal meraih status sosial itu maka akan mendapatkan sanksi sosial berupa cibiran dari masyarakat. Manusia yang diciptakan dengan akal dan rasa pada dasarnya telah memiliki rasa ingin tahu sejak dalam kandungan. Rasa ingin tahu atau knowing every particular object (kepo) inilah yang mendorong masyarakat selalu berusaha mencari tahu apa yang terjadi dengan orang lain di sekitarnya.
Uniknya ketika mereka sudah tahu yang di-kepo-in gagal tanpa sadar kegagalan itu akan terus dipertanyakan yang tidak jarang dengan nada nyinyir. Fenomena masyarakat yang selalu ingin tahu (kepo society) inilah yang membuat calon jamaah umroh memiliki beban mental dan bagi yang tidak kuat akan kabur untuk menghindarinya.
Sementara itu di sisi lain bos First Travel Andika dan Anniesa suka bergaya hidup hedonisme saat sukses dengan bisnis yang dirintisnya dari nol. Dalam beberapa kesempatan pasutri ini sering menceritakan kisah hidupnya yang miskin sebelum sukses berbisnis. Keduanya mengaku pernah tinggal di rumah petak yang disewanya dan menawarkan paket wisata dan umroh secara door to door dengan sepeda motor. Anniesa juga mengaku kerap makan mie instan dicampur nasi karena tidak mampu berbelanja.
Bisnis yang dirintisnya kerapa gagal dan keduanya sering mendapat cibiran dan cemohan dari orang di sekitar mulai kerabat dan tetangganya. “Jangan sampai kita dihina lagi. Jangan sampai anak-anak saya dihina. Adik-adik saya dihina. Dari bertahan itulah kita berjuang,” kata Anniesa dikutip dari merdeka.com. Kini setelah merasa sukses dengan bisnis yang dirintisnya, mereka mulai bergaya hidup glamour. Anniesa bahkan dikenal juga sebagai desainer internasional ternama. Dia telah menjelma jadi sosialita. Memiliki binis restoran mewah dan butik di sejumlah negara besar dan selalu jalan-jalan ke sejumlah negara dengan fasilitas mewah.
Fenomena kepo society juga turut merubah kepribadian keduanya. Nyinyiran-nyinyiran yang selalu mereka terima saat gagal dahulu ingin mereka balas dengan “keangkuhan” ketika sudah sukses mendapatkan status kelas atas dalam stratifikasi sosial. Sosiolog Kingsley Davis dan Wilbert Moore mengungkapkan tentang bagaimana status dalam stratifikasi sosial mempengaruhi tingkat prestise seseorang yang berbeda (Ritzer, 2004:118). Seseorang yang telah meraih posisi kelas atas berhak mendapatkan kekuasaan, prestise dan uang.
Tidah heran ketika kemudian pasutri ini terus bergaya hidup hedonis dengan menghabiskan uang yang besar. Sampai kemudian bisnis keduanya gagal dan memiliki tanggungan hutang Rp 1 triliun kepada para calon jamaah yang belum diberangkatkan. Kasus First Travel ini sebenarnya merupakan salah satu contoh kasus dampak buruk fenomena kepo society yang banyak terjadi di masyarakat. Sikap kepo yang ditunjukkan masyarakat sebenarnya baik karena sebagai bagian dari bentuk kepedulian masyarakat. Namun kalau sikap itu terlalu berlebihan maka bisa berakibat buruk bagi yang dikepoin seperti yang dialami calon jamaah umroh dan bos First Travel. (*)