Belum lama ini media viral memberitakan isu rasisme Papua, “Tersangka Rasisme di Surabaya Minta Maaf kepada Warga Papua” oleh CNN, “Rasisme di Papua : Indonesia tidak belajar dari Timor Leste” oleh Tirto, “Papua Tetapkan satu Tersangka lagi Kasus Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua”. Melihat berita yang beredar seakan mengeneralisasi bahwa masalah Papua adalah “masalah rasisme”, mari pertanyakan secara kritis apakah hanya itu masalahnya?
Pemerintah melalui Joko Widodo memberikan pernyataan, “Masyarakat harap tenang jarang bertindak anarkis. Kita harus tetap memegang prinsip Bhineka Tunggal Ika”. Pemerintah mengisyaratkan bahwa persatuan harus tetap terjaga namun masyarakat Papua nyatanya begitu geger sampai sebagian orang menyatakan referendum lantas apa yang sebenarnya terjadi, karena masalah yang sebenarnya jarang diungkap oleh pemerintah ini membuktikan bahwa kemarahan masyarakat Papua tidak hanya kerena menjadi korban rasis tetapi ada dimensi lain, sehingga mereka berani untuk melawan dari jalur negara.
Pertanyaan pertama yang perlu kita cermati: kenapa Pemerintah bersikeras mempertahankan Papua sebagai bagian dari NKRI? Menjadi tanda tanya jika alasannya Bhineka Tunggal Ika karena usaha Pemerintah lebih banyak menggunakan cara kekerasan terhadap warga sipil.
Padahal persatuan tidak memerlukan kekerasan, kecuali persatuan bermakna pemaksaan untuk bersatu. Faktanya menurut Amnesti Internasional kekerasan pada rentang Januari 2010 sampai Februari 2018 memakan 95 korban jiwa. Maka, pasti ada alasan lain yang membuat Indonesia begitu ingin mempertahankan Papua, memaksakan persatuan.
Kita bisa mulai melihat lewat sisi Ekonomi-Politik. Indonesia memiliki kepentingan terkait keberadaan Freeport di Papua. Tetapi apakah hanya itu? Memang betul bahwa Indonesia memiliki ketergantungan dengan Freeport yang bisa menghasilakan pendapatan 756 juta dollar AS atau 0,58 persen total pendapat negara ditahun 2017.
Namun kepentingan Indonesia menguasai Papua semakin kompleks terutama karena ambisi pemerintah untuk menjadi “produsen utama sawit dunia”. Dalam percakapan Asosiasi perusahaan Sawit di Indonesia, kebutuhan dunia akan sawit meningkat pesat di tahun 2050 mengingat populasi pendudukan yang meningkat.
Indonesia pada tahun 2017 memiliki kapasitas untuk memproduksi sawit sebanyak 40 juta ton pertahun. Pemerintah ingin menaikan target produksi mencapai 155 juta ton di tahun 2055 untuk memenuhi kebutuhan dunia. Ambisi itu memberi jalan pada perusahaan sawit untuk mengakuisisi lahan-lahan milik Papua yang masih berupa hutan.
Kita ingat pada hasil liputan gabungan bernama Gecko Project yang menghebohkan publik. Liputan itu menyebut seorang konglomerat berdarah Minang bernama Chairul Anhar menguasai sekitar 4000 hektar tanah di Boven Digoel. Luas tanah itu hampir 6 kali luas Provinsi DKI Jakarta.
Nantinya Anhar melalui perusahaan Menara Grup akan membuka lahan sawit di sana. Proyek Menara Grup ini hanya satu dari sekian proyek perkebunan kelapa sawit di Papua. Dikutip dari kolom di Tempo.co, saat ini 11 dari 42 kabupaten Papua dan Papua Barat telah dirambah oleh perkebunan sawit.
Lalu, bagaimana dampaknya jika lahan Papua diakusisi oleh perusahaan? Menurut liputan Gecko Project konflik antara masyarakat adat yang tinggal di hutan Boven Digoel dengan aparat pemerintah dan pengusaha telah terjadi sejak 2005. Masyarakat yang mempertahankan tanah adat mereka dengan perusahaan yang memegang izin pemerintah daerah. Masyarakat Papua dalam wawancara tim Gecko Project mengatakan ini merupakan perampasan lahan oleh para penguasa.
Apakah penderitaan Masyarakat Papua hanya terjadi baru-baru ini? Semakin kita mengkaji mengenai fenomena Papua ternyata penderitaan Papua sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, namun yang dirasakan oleh masyarakat Papua ialah saat adanya progam transmigrasi dalam progam Pembangunan Lima Tahunan (REPLITA) hasil rekayasa Orde Baru. Dikutip dalam tirto.id dalam Replita IV 1984-1989 setidaknya sudah ada 137.800 orang Jawa, Bugis dan Makasar yang berigmigran ke Papua.
Peneliti berketurunan Jerman bernama Esther Heidbuchel dalam bukunya The West Papua Conflict in Indonesia: Actors Issues and Appproaches melihat bahwa Indonesia tidak benar-benar memakmurkan Papua karena melalui progam transmigrasi di zaman Orde Baru, Papua terpaksa menyerahkan tenaga dan lahanya untuk melancarkan pembangunan Replita Bersama orang Jawa. Lanjut Heidbuchel pemerintah pun memukul rata pembangunan dengan indikator orang Jawa (Jawa sentris) tanpa melihat kearifan lokal masyarakat Papua.
Kita perlu mempertanyakan kembali “rakyat untuk infrastruktur atau infrastruktur untuk rakyat”? kasus-kasus yang melibatkan kemarahan Papua dari zaman Orde Baru sampai sekarang faktor terkuat bukanlah karena rasisme tetapi ketimpangan akibat pembangunan, masih di kutip dalam Tirto.id, setidaknya terdapat 15 masyarakat sipil dan 14 aparat Indonesia tewas dalam insiden kekerasan bersenjata yang terjadi saat pembangunan Transpapua di Kabupaten Nduga, Wilayah Papua.
Pembangunan yang seharusnya didasarkan kepada kebutuhan paling mendasar seperti pangan dan pendidikan tetapi realita yang terjadi di Papua yang dibangun malah infrastruktur berupa jalan tol, apakah masyarakat papua butuh atau memang ini kebutuhan para korporasi yang menggunakan label rakyat.
Mengutip perkataan Haris Azhar dalam siaran Indonesia Lawyers Club (ILC) berjudul “Papua: Mencari Jalan Terbaik” ia mengatakan bahwa “pembangunanan infrastruktur memang massif di Papua..tapi saya mau memberitahukan kabar buruk bagi pemirsa yaitu Indeks Pembangunan Manusia Papua dari dulu sampai sekarang konsisten berada dibawah..lantas kenapa pembangunan Infrastruktur tidak mengankat juga pembangunan manusia di Papua” disusul dengan pekataan Rizal Ramli “Waktu Gus Dur masih menjabat menjadi presiden. Ia megatakan jangan sekali-kali mengunakan cara represif kepada masyarakat sipil karena akan membentuk framing negative dari dunia internasioanl gunakan cara dialog dengan damai.”
Konflik masyarakat Papua dengan Pemerintah Daerah memecah opini publik di Papua, untuk menyatakan tetap Bersatu atau melakukan referendum, para korban kekerasan sipil terutama yang berada dekat dengan lokasi Operasi Papua Merdeka (OPM) ikut terkena dampaknya, mereka yang menjadi korba kekerasan maupun tanahnya dirampas meminta referendum. Namun jangan dulu kita maknai Referendum dengan Gerakan bersenjata, nyatanya banyak pihak seperti Benny Wenda sebagai ketua United Liberation Movement for West Papua yang meminta jalur diplomasi yang aman agar mencegah timbulnya korban jiwa lagi.
Maka berbicara masalah Papua seperti fenomena gunung Es, permukaanya memberiktakan soal rasisme namun dibalik itu semua ada berbagai konflik besar yang saling memperebutkan sumberdaya, kekerasan sipil, pengahancuran alam karena proyek tambang dan pembukaan sawit, sehigga kemarahan tersebut terakmulasi untuk menyatakan refendum kepada negera Republik Indonesia. jika pendekatan komunikasi politik Gusdur oleh pemerintah Indonesia masih diterapakan mungkin kemarahan masyarakat Papua tidak akan memuncak sampai hari ini.