Bunuh diri mungkin adalah salah satu fenomena yang kita anggap sebagai sebuah hal yang sia-sia karena seseorang akan mengakhiri hidupnya dan hal tersebut berarti memotong hidup manusia dan mengkhianati takdir Tuhan.
Banyak dari berbagai kalangan masyarakat menganggap fenomena ini sebagai hal yang tabu dan otomatis menjadi buah cibir masyarakat sekitar dengan berbagai penggambaran negatif yang turut serta di dalamnya.
Dr. Ronald William Maris yang merupakan seorang peneliti dalam studi bunuh diri atau suicidology mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk bunuh diri seringkali diasosiasikan dengan adanya perasaan loneliness atau beban dari keluarga secara intensional.
Sedangkan motivasi yang sering tumbuh adalah motivasi yang bergemuruh dalam lingkup balas dendam terhadap orang lain dan pelarian dari suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan.
Secara subjektif, perasaan atau intensi bunuh diri menjadi suatu hal yang tidak dapat diteorikan secara absolut. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan pengalaman interaksi historis yang bersifat subjektif dalam hubungan manusia itu sendiri. Adanya ketidak berdayaan dalam teorisasi dan penggambaran fenomena tersebut justru menimbulkan suatu pemahaman baru mengenai interaksi manusia dan fenomena bunuh diri.
Ya, hal tersebut termanifestasikan oleh bentuk dukungan masyarakat (meskipun masih sangat jarang) dan pemerintah (juga sangat sedikit) yang membantu dalam pelaksanaan dan asistensi terhadap pelaku bunuh diri atau assisted suicide dan euthanasia. Assisted Suicide dan euthanasia menjadi fenomena pro pelaku bunuh diri yang relatif baru dan juga kontroversial.
Well, hal tersebut dapat dilihat dari adanya penolakan-penolakan dari berbagai kalangan masyarakat (khususnya konservatif) karena berbagai alasan. Seperti menyalahi kodrat Tuhan, menghilangkan bentuk eksistensi manusia dan lain sebagainyayang pada akhirnya dapat menciptakan cibiran-cibiran masyarakat dengan berbagai dikotomi yang melekat didalamnya.
Dalam tulisan kali ini penulis akan mencoba memberikan pemahaman mengenai mengapa pemerintah dan masyarakat seharusnya melihat peristiwa ini bukan sebagai sebuah langka salah dari jalan hidup seorang manusia. Manusia mungkin adalah salah satu makhluk yang sering menganggap diri mereka sebagai sebuah entitas yang spesial.
Namun, kembali lagi bahwa kita hidup dalam suatu lingkaran kosmologis yang sangat kompleks yang jika diibaratkan mungkin kita adalah sebuah permen tunggal berwarna jingga dalam toples berisi ribuan permen dengan warna lainnya.
Begitupun juga dalam melihat suatu permasalahan atau fenomena, seringkali kita menutup diri dalam suatu kondisionalitas yang kita idekan menurut ideologi, prinsip, agama atau sebagainya yang mengatur gerak pikir kita. Alam subjektifitas setiap manusia sangatlah berbeda-beda.
Kita tidak akan pernah tau apa yang sebenarnya dirasakan atau dialami oleh seseorang yang lain jika kita bukanlah orang tersebut. Mungkin dan seringkali kita hanya dapat menerka-nerka suatu permasalahan dan hal tersebut pada akhirnya akan membawa kita pada situasi judgemental atau penghakiman yang kita bentuk sendiri.
Dalam fenomena bunuh diri, penulis melihat bahwasanya bantuan dari masyarakat dan negara sungguh sangat diperlukan dalam melihat situasi atau kondisi seorang individu yang berada dalam fase ini.
Tidak hanya dalam bentuk fisik namun juga support terhadap seorang individu dan paling utamanya adalah suatu perasaan pemahaman tentang penerimaan keputusan seorang individu yang ingin bunuh diri tersebut.
Tentunya dengan beberapa kriteria jasmani maupun psikologis yang menunjang seseorang untuk melakukan bunuh diri agar tidak memunculkan fenomena manusia galau yang berusaha mengintensionalisasikan dirinya dengan stigma sorrow atau depression agar memunculkan perhatian semata.
Beberapa negara yang sudah melegalisasi seperti Belanda juga turut ‘mendampingi’ masyarakatnya yang akan melakukan euthanasia. Namun, tentu dengan beberapa kriteria seperti penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara fisik maupun psikologis atau karena trauma yang cukup menghantui hidup seseorang.
Lantas, bagaimana dengan nasib Indonesia dan negara-negara yang termasuk dalam kategori dunia ketiga atau inferior ini ? Di Indonesia bunuh diri masih menjadi sebuah kondisi yang sering distigmakan sebagai kondisi ‘sakit’ atau ‘gila’ bahkan. Namun, kondisi ini juga justru seringkali dialami oleh kawan-kawan perempuan dan korban pemerkosaan.
Adanya pengalaman traumatik dan perasaan malu terhadap masyarakat seringkali menjadi alasan utama mengapa mereka sering melakukan upaya bunuh diri. Asistensi pemerintah dan payung hukum terhadap korban sangat dibutuhkan dan itu menjadi kewajiban pemerintah. Namun, apabila korban sudah tidak dapat menahan pengalaman traumatik dan itu menjadi beban kesengsaraan dalam hidup korban.
Pemerintah dan masyarakat juga seharusnya memberikan asistensi terhadap keputusan korban apabila ia memutuskan untuk mengakhiri hidup yang sudah terundung oleh beban kesengsaraan tersebut ketimbang harus memikulnya dengan alasan tidak dapat melakukan bunuh diri karena takut dijerat dengan pasal pembunuhan atau adanya ketakutan mengenai respon Tuhan dalam melihat makhluknya yang ingin mengakhiri hidupnya yang kemudian dapat memunculkan pemahaman akan masuk neraka dan sebagainya.
Tentunya akan sangat tidak bijak dan manusiawi apabila suatu negara dan kelompok masyarakat didalamnya memelihara suatu kesengsaraan terhadap salah satu masyarakatnya dan tidak melakukan apa apa atau bahkan malah menghukum seorang pelaku percobaan bunuh diri yang memiliki alasan kuat mengapa ia harus mengakhiri hidupnya. Tentunya, akan menjadi suatu tindak kriminal yang sangat munafik apabila hal tersebut dipelihara oleh suatu manusia atau kelompoknya.
Sumber
-Ronald W. Marris, “Pathways to Suicide: A Survey of Self-Destructive Behaviors”, 1981
-https://www.theguardian.com/society/2014/jul/17/euthanasia-assisted-suicide-laws-world