Bekal suami dan mi instan begitu menyedot perhatian netizen akhir-akhir ini. Yang pertama seorang istri yang begitu enggan mempersiapkan bekal makan siang suaminya, yang kedua seorang istri yang mengaku tidak bisa memasak mi instan dan akhirnya suaminya yang memasak untuk dimakan bersama. “Uwu,” kata netizen.
Keduanya mengundang komentar dukungan kaum feminis dalam rangka kesetaraan. Gayung bersambut, komentar para feminisme ini mendapatkan perundungan online secara masal hingga muncul tagar #uninstallfeminism. Emang, kapan install-nya?
Penganut feminisme dianggap bersikap lebay dalam menanggapi berbagai kasus tentang perempuan. Mulai dari pembelaan wanita yang tidak bisa memasak hingga pembelaan mereka terhadap wanita mengupas buah salak. “Dear Feminist kalau belum bisa angkat galon sendirian jangan pernah teriak kesetaraan dulu!” Cuit sebuah akun di jejaring Twitter.
Saya ingin sekali berkomentar sekedar untuk membela para pejuang kesetaraan laki-laki dan perempuan, namun saya sadar berdebat di media sosial merupakan suatu hal yang nyaris sia-sia.
Begini Den Bagus, dalam diskursus kesetaraan gender terdapat paling tidak tiga mazhab utama. Ini penting untuk saya utarakan. Penyebabnya banyak dari kita yang sulit membedakan ketiganya. Saya sendiri baru memahaminya setelah melakukan diskusi mendalam dengan Ahmad Lutfi teman, sekaligus mentor akademis saya, beberapa waktu yang lalu.
Pertama, feminisme radikal merupakan mazhab pertama dalam feminisme yang muncul. Dinahkodai oleh Suster Juana Ines (1651-1695) feminisme ini mempunyai asumsi dasar bahwasanya “laki-laki ialah pusat hegemoni”. Seorang perempuan selalu tidak berdaya manakala sudah terikat janji suci dengan suaminya. Perempuan harus selalu menerima untuk selalu berada di ketiak laki-laki. Terpenjara karena cinta bahkan terpuruk dalam jurang ketidakadilan atas nama pernikahan.
Maka, feminis model ini akan memilih tidak menikah demi kemerdekaan perempuan serta menghapuskan hegemoni laki-laki yang tak terbendung.
Memasak, bekal suami? Halah, menikah saja nggak mau kok.
Ines, sang kepala gerakan ini bahkan memilih untuk tidak menikah dan menghabiskan hidupnya dengan mengembangkan diri untuk membaca, dan menulis karya-karya besar terutama puisi. Kemudian banyak orang membungkamnya.
Kedua, setelah proses industrialisasi merata di benua biru. Perekrutan pekerja terjadi besar-besaran. Pembaca bisa menebak laki-laki atau perempuan yang direkrut industri-industri raksasa itu. Benar, laki-laki
Perempuan dibayang-bayangi oleh masa depan yang hanya berada di dapur dan hidup berpangku tangan kepada kaum Adam. Penderitaan perempuan bertambah manakala otoritas setempat pun belum melirik perempuan sebagai sumber daya manusia yang bisa dipekerjakan.
Sehingga “Perempuan adalah makhluk yang lemah” menjadi asumsi dasar dari gerakan feminis selanjutnya. Feminisme liberal, dengan semangat perjuangan: Perempuan harus diberdayakan.
Dengan diawali oleh Mary Wollstonecraft (1759-1797) dia memulai dengan mendirikan sekolah khusus perempuan, memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan. Pada saat itu, ketiadaan ketrampilan serta skil itulah yang menyebabkan perempuan selalu terpinggirkan. Minim akses jabatan pemerintahan bahkan dilarang memasuki perguruan tinggi.
Bila kita ingat perjuangan Raden Ajeng Kartini, maka beliau dapat kita masukkan kepada mazhab ini. Betapa getolnya beliau memperjuangkan pendidikan perempuan zaman penjajahan, menentang perkawinan paksa, poligami, dan penjajahan.
Apabila sekarang perempuan sudah mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan, yang perlu dicermati kemudian ialah untuk siapa pendidikan itu dilaksanakan? Atau jangan-jangan perempuan dididik hanya untuk melayani suaminya dengan baik?
Ketiga, feminisme sosialis, berangkat dari asumsi dasar “perempuan itu tertindas” feminisme mazhab ini mencoba membongkar ketertindasan perempuan dengan mengkritisi sistem kapitalis yang ada di ruang negara. Dan sistem ini mempunyai pengaruh di kawasan domestik rumah tangga.
Misalnya begini, negara memberikan beban kerja yang lebih kepada laki-laki daripada perempuan. Hal ini menimbulkan efek psikis laki-laki merasa lebih berjasa sehingga harus mendapatkan pelayanan lebih di rumahnya. Tuntutan model seperti ini mengakibatkan perempuan tertindas.
Berbagai upaya kritis atas peraturan pemerintah, undang-undang legislatif, hingga peraturan menteri selalu menjadi sasaran feminisme mazhab ini.
Lain halnya dengan feminisme sosialis Marxis yang membidik objek yang lebih luas daripada feminis sosialis yaitu ‘suprastruktur’ yang selain berisi dengan sistem institusi negara, juga berisi institusi agama, pendidikan, dan lain sebagainya.
Suprastruktur ini menjadi hegemoni atas substuktur yang di dalamnya terdapat buruh, karyawan, outsourcing, perempuan, dan lainnya.
Misalnya perempuan yang dituntut untuk selalu taat kepada suaminya atas nama ‘peraturan keluarga harmonis’ yang diterbitkan oleh institusi pemerintah.
Maka jangan heran ketika feminisme ini, selain mengkritisi sistem negara, mereka juga akan mengkritisi adat istiadat, tradisi, bahkan institusi agama pun tidak akan terlewat dari pengamatan feminisme mazhab sosialis Marxis.
Saya jadi teringat komentar Umar bin Khattab atas ajaran-ajaran Nabi Muhammad, “Demi Allah di masa jahiliyyah dulu kami tidak mempertimbangkan ide atau saran yang berasal dari kaum perempuan sehingga Allah menurunkan ayat berkenaan dengan hak mereka, dan dia membagi hak yang dibagikan-Nya.”
Mungkinkah munculnya gerakan feminisme selama ini terinspirasi dari Kanjeng Nabi Muhammad?