Dalam segala bentuknya, fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistori tradisi yang coba mereka bela. Mereka terlalu fanatik dan menolak apapun yang datang dari musuh. Hal ini merupakan tindakan yang sangat tidak bijaksana dan terlalu egois. Gerakan fundamentalisme Islam yang cenderung anarkis dan radikal bukanlah gerakan pemurnian tetapi justru sebaliknya.
Banyak fundamentaisme Islam mengabaikan pluralisme Al-Qur’an dan kaum ekstrimis mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang lebih agresif untuk membenarkan kekerasan. Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan. Dalam arti telah merusak citra ajaran Tuhan yang sebenarnya.
Terlepas dari sifat non-duniawinya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik. Dapat disaksikan bahwa sebuah ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis dan ilmiah, yang penting bisa diterima. Ketika ide itu sudah tidak efektif lagi, ia akan digantikan. Terkadang dengan ide lain yang lebih radikal. Tetapi tidak ada kata relevan atau tidak relevan, kenyataanya kaum fundamentalis bersifat anti sejarah, mereka mengira bahwa sejak masa Nabi Muhammad sampai sekarang, Islam tetap sama dan sama sekali tidak berubah atau terpengaruh dengan kondisi sosial dan kebudayaan.
Ini artinya, bahwa sikap militansi mereka sebenarnya tidak menemukan landasannya pada zaman manapun dalam sejarah Islam, mereka mengatakan bahwa Islam tetap sama sejak dahulu tetapi apa yang ia perjuangan sama sekali baru dan tidak memiliki kesamaan dengan bentuk Islam manapun di masa lampu hingga sekarang.
Sebenarnya, sikap militansi muslim abad ke-20 dan awal abad ke-21 dikenal berkat adanya sejumlah aktivitas yang mencakup: perjuangan kemerdekaan secara lokal di beberapa negara, perjuangan secara internasional seperti Perang Afghan Pertama (sebagai hasil dari pendudukan Soviet atas Afghanistan), dan aktivitas-aktivitas yang anti-Barat yang diselenggarakan oleh para militan ekstrem seperti Osama bin Laden.
Pada awal abad ke-21, isu yang dominan dalam perdebatan seputar militansi dan ekstremisme muslim adalah tentang aktivitas-aktivitas anti-Barat, terutama akibat dari peristiwa 11 September dan berbagai aksi pengeboman yang terjadi baik di negara muslim sendiri maupun di Barat oleh jaringan kelompok ekstrimis militan dunia. Ini semua didorong oleh pandangan terhadap dunia yang diliputi ketidakadilan terhadap umat muslim sehingga menimbulkan simpati yang mendalam. Didukung pula dengan narasi yang menambah kuatnya rasa simpati ini, dimulai sejak Perang Salib hingga menginjak pada dominasi kolonialisme oleh Barat terhadap umat muslim.
Berikut ini akan ditulis petikan dari fatwa yang dikeluarkan oleh Osama bin Laden yang menghimbau umat muslim untuk membunuh orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunya:
“Sesuai dengan seruan Allah, kami mengeluarkan fatwa berikut ini untuk semua umat muslim:
Membunuh orang-orang Amerika beserta sekutu-sekutunya, baik sipil maupun militer, merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang bisa melakukannya di negara manapun yang memungkinkan melakukannya, agar supaya masjid al-Aqsha dan masjid al-Haram terbebas dari cengkeraman mereka, dan agar tentara mereka keluar dari tanah muslim, kalah dan tidak bisa mengancam umat muslim. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Dan perangilah orang-orang musyrik itu semuanya seperti mereka memerangimu semuanya,” dan “perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah, dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah”.
Ini adalah tambahan firman Allah SWT: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”
Kami dengan pertolongan Allah, menyerukan kepada setiap muslim yang beriman kepada Allah dan yang mengharapkan pahala karena menjalankan perintah-Nya untuk membunuh orang-orang Amerika dan merampas harta mereka dimanapun dan kapanpun mereka berada. Kami juga menyerukan kepada ulama muslim, para pemimpin, kaum muda, dan para tentara untuk melancarkan serangan terhadap pasukan-pasukan setan AS dan para pendukung iblis yang bersekutu dengan mereka, dan untuk menyingkirkan siapapun yang berada di balik mereka sehingga mereka bisa mengambil pelajaran”.
Sebagai teks historis, fatwa ini sebenarnya telah mendapat kritik oleh banyak kalangan muslim di seluruh dunia, dan tentu saja, sejumlah fatwa tandingan pun telah dikeluarkan. Bentuk pemahaman terhadap perjuangan Islam sebagaimana dikumandangkan Bin Laden di atas telah menimbulkan semacam guncangan dasyat secara global, ini merupakan guncangan yang begitu mendalam bagi seluruh umat Islam di dunia, betapa pemahaman Laden ini begitu sempit dan sangat dekaden.
Fatwa di atas menggambarkan betapa watak ekstremisme sangat merusak, alih-alih memperjuangkan misi ketuhanan, mereka justru menampakkan sikap barbarisme atas nama agama yang sama sekali tidak didukung oleh otoritas normatif dalam ajaran Islam.
Paling tidak, fatwa itu dapat kita jadikan renungan bersama untuk lebih waspada dalam melihat ideologi garis keras ini agar kita mengerti tujuan-tujuan normatif mereka bukan saja pada wilayah politik, tetapi juga pemahaman yang sempit tentang agama. Dalam segala bentuknya, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan yang membabi buta, jika ada ayat-ayat yang menjastifikasi perang dan kekerasan, maka harus dilihat dari tujuan keberadaan ayat tersebut, yakni misi perdamaian.
Musuh umat Islam yang sebenarnya adalah kapitalisme, kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan yang timbul dari masalah-masalah tersebut. Sehingga ini patut menjadi perjuangan bersama dengan mengorelasikan dengan pemahaman Islam yang moderat dan progresif, tanpa harus menghakimi orang lain atas nama kebenaran agama.
Osama bin Ladin memang sudah mati, tetapi misi-misi agresifnya masih tetap hidup di tengah-tengah kita. Radikalisme agama telah menjadi musuh dan ancaman bersama, baik skala nasional maupun internasional. Mereka memang sulit dilenyapkan, mengingat fundamentalisme adalah fenomena yang mengiringi modernitas.
Paling tidak kita harus berusaha terus-menerus untuk selalu memupuk sikap toleransi dan perdamaian bagi sesama. Agama tidak penah memiliki suatu jawaban yang memadai bagi perlawanan terhadap musuh jika cara-cara itu dilakukan dengan kekerasan dan pemahaman yang sempit terhadap teks.
Bibliografi
Armstrong, Karen. History of God. New York: Ballantine Books, 1993.
________, The Case for God. London: The Bodley Head, 2009.
Saeed, Abdullah. Islamic Thought; An Introduction. London: Routledge, 2006.