Membincang Nizar Qabbani di abad ini, tak ubahnya mengenang album foto yang telah lapuk dimakan usia. Kepenyairan Nizar Qabbani, yang pada akhir-akhir ini begitu ramai didengung-dengungkan di Indonesia, sejatinya telah diakui sejak tahun 1944 setelah ia menerbitkan buku puisi pertamanya, Qālat Li Samrā’ (Si Gadis Coklat Berkata Padaku), yang ia tulis saat masih berusia 16 tahun.
Begitu jauh ketertinggalan kita membahas wacana kesusastraan Arab. Tentu, rentang waktu 1944-2017 adalah urutan kaleidoskop yang sangat lama, selama umur kemerdekaan kita. Entahlah, apakah kita yang kurang membaca, atau memang penerjemahan karya-karya sastra Arab yang sengaja “dibungkam” untuk urusan siyasah sastra global. Namun, bagi seorang penyair yang baik, tak ada istilah basi. Setiap karya musti abadi. Ia mampu melibas ruang dan waktu.
Agar tidak benar-benar tertinggal, mari beranjak dari Suriah ke Mesir. Pada 10 Februari 1946, lahir seorang penyair cum jurnalis bernama Farouq Gouida. Masa kecilnya ia habiskan di kota al-Buhairah. Ia lulus dari Fakultas Adab, Jurusan Jurnalistik pada 1968. Lalu memulai karirnya sebagai anggota redaksi pada bagian ekonomi Koran al-Ahram Mesir (1875): koran tertua kedua setelah al-Waqi’a al-Masriya (1828). Farouq Gouida pernah menjabat sebagai sekretaris, lalu sekarang menjabat sebagai ketua di bidang kebudayaan pada koran yang didirikan oleh dua orang bersaudara asal Lebanon ini, Basshara dan Salim Teqla.
Ia merupakan salah satu penyair terkemuka dalam gerakan puisi Arab kontemporer. Puisi-puisinya liris, disampaikan dengan bahasa yang sederhana, dan jujur. Ia mampu mengorganisir banyak warna dalam puisinya: dari puisi dengan rima vertikal hingga pada tataran drama-puitis.
Sejauh ini, ia telah menghadiahkan buku-bukunya untuk Perpustakaan Arab, 13 di antaranya adalah kumpulan puisi terbaiknya yang menampilkan sebuah eksperimen dan ciri khas tersendiri dalam puisinya. Tiga naskah dramanya yang berjudul al-Wāzir al-Ussyāq (Cinta Seorang Wazir), Dimā’ ‘ala Sitār al-Ka’bah (Air Mata di Tirai Ka’bah), dan al-Khadyuwi telah meraih kesuksesan besar di sejumlah festival teater di Mesir. Beberapa puisi dan dramanya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa internasional, termasuk bahasa Inggris, Prancis, Cina, dan Yugoslavia. Ia pernah diangkat sebagai tim kepresidenan, namun mengundurkan diri sebagai protes terhadap deklarasi konstitusi komplementer, pada November 2012.
Puisi-puisi terbaik Arab biasanya diabadikan dan diapresiasi melalui nyanyian dan lagu-lagu. Seperti puisi-puisi Ibrahim Naji dan Muhammad Rami dilagukan oleh Ummu Kutsum; puisi-puisi Khalil Gibran didendangkan oleh Fairuz; puisi-puisi Mahmoud Darwish dilantunkan oleh Marchel Khalifa; dan hampir semua puisi Nizar Qabbani dinyanyikan oleh Kazim al-Saher. Begitu pula puisi-puisi Farouq Gouida, tidak sedikit dari puisi-puisinya telah digubah dan dinyanyikan ke dalam lagu-lagu Arab. Puisinya yang berjudul Fi Ainik ‘Unwāni (Di matamu, Alamatku) dinyanyikan oleh artis terkemuka Samia Qaishar. Puisi berjudul Law Annā Lam Naftariq (Andai Kita Tak Berpisah), Man Qāla Annā Al-Nift Aghlā Min Dami (Siapa Bilang Minyak Lebih Mahal dari Darahku?) dinyanyikan oleh Kazim al-Saher. Puisi yang berjudul Ighdab (Marahlah!) dilagukan oleh Grup Musik al-Khulud dari Yaman dan puisi yang berjudul Uzran Habibi (Maafkan, O, Kekasihku) turut dinyanyikan oleh Grup Musik Aqd al-Jalal dari Sudan.
Pada suatu acara televisi, al-Fatih Mirghani pernah mengulas tentang Nizar Qabbani dan Farouq Gouida. Ketika Farouq Gouida ditanya tentang perempuan, ia menjawab, perempuan dalam pandangan Nizar adalah makhluk yang tercipta dari api, sedangkan perempuan dalam pandangan Gouida adalah makhluk yang tercipta dari cahaya. Dari pernyataan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa Nizar Qabbani dikenal sebagai penyair cinta yang tak henti-henti mengobarkan api cintanya, sementara Farouq Gouida adalah penyair cinta yang terlena dengan kilau cahayanya. Dalam salah satu puisinya, Nizar Qabbani berkata:
Mengapa kau sentuh ini kuda
Bila kau takut ringkikannya
Sedangkan puisi Farouq Gouida:
Mengapa yang tampak dari benda-benda adalah dirimu
Manusia bumi ini dalah dirimu.
Bangsa Arab ialah bangsa yang mempunyai kebiasaan nomaden. Hijrah dari satu tempat ke tempat yang lain. Kebiasaan ini adalah warisan turun temurun yang tidak bisa dipisahkan dari jati diri seorang Arab. Namun kendati jauh dari tanah kelahiran, mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme. Al-Jahiz dalam Risalah al-Hanin Ila al-wathan menjelaskan ihwal itu. Dulu, ketika hendak berperang, atau hendak bepergian, orang-orang Arab selalu membawa segenggam tanah dari kampung halamannya untuk dihirup dalam setiap perjalanannya. Maka tidak sedikit penyair-nyair Arab yang dalam karya-karyanya menuliskan tentang kerinduan pada kampung halamannya. Sehingga puisi yang semacam ini dikenal dengan istilah al-Hanin Ila al-Wathan, nostalgia kampung halaman.
Begitu pula yang dilakukan Nizar Qabbani, selain menulis puisi-puisi tentang cinta dan perempuan, ia juga banyak menulis tentang perlawanan dan nasionalisme. Maka tak heran bila ia menyandang julukan sebagai Syair al-hubb wa al-tsaurah, si penyair cinta dan revolusi. Jauh setelah wafatnya penyair kelahiran Damaskus ini, di Mesir, Farouq Gouida juga dikenal sebagai penyair cinta yang diam-diam juga menyuarakan tentang nasionalisme dan kemanusiaan. Dalam esai yang berjudul al-wathan fi syi’r Faruq Gouida, Ibrahim Khalil Ibrahim menegaskan bahwa Farouq Gouida adalah penyair yang mewakili wajah Mesir. Seperti tertulis dalam salah satu puisinya:
kalau sampai Mesir yang luhur ini tak jadi negeriku
niscaya telah kukuburkan hati ini pada tanahnya
telah kulewati jalan-jalan cinta seperti burung-burungnya
telah menjadi bunga-bunga pada kebun indahnya
niscaya telah kujadikan kalung semerbak zamannya
dan kurajut kebahagiaanku pada kubah-kubahnya.
Namun, selain kecintaan pada tanah kelahirannya sendiri, keduanya sama-sama tak lengah untuk menyoroti konflik-konflik yang bergelayut di Arab. Karena sejatinya Arab adalah satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Derita satu negara adalah derita bersama. Misalnya, ketika melihat peristiwa yang terjadi di Palestina, kita bisa melihat ketersinggungan puitis Nizar Qabbani dalam puisinya berjudul al-Quds (Yerussalem), dan Farouq Gouida dalam puisinya yang berjudul Madza Tabqa Min Bilad Al-Anbiya’(Apa yang Masih tersisa dari Negeri Nabi-Nabi), dan beberapa puisi lainya.
Farouq Gouida sangat menghormati Nizar Qabbani. Meskipun beda masa, ketika Nizar meninggal dunia pada kamis 30 April 1998 di London, Farouq Gouida menulis puisi untuk mengenang kepergian penyair besar ini. Puisinya berjudul, wa safara faris al-‘isyq, Sang Pemburu Cinta Telah Pergi.
kau telah kembali ke syam. oh, syam yang membawa
manik-manik cahaya dari saida ke aleppo
oh, permata syam
oh, perhiasan terindah
bait-bait puisimu mahkota emas
bila suatu hari orang-orang bertanya tentang kedudukan mereka
negeri puisi ini di atas segala kedudukan dan mahkota.
Bagi penggemar Nizar Qabbani, mengenal Farouq Gouida dan puisi-puisinya sama pentingnya dengan mengenal Nizar itu sendiri. Puisi-puisinya universal, padat, dan tegas.