Media Sosial telah mengubah pola komunikasi masyarakat dengan menciptakan bias ruang publik dan privat. Pada konteks politik, media sosial berhasil mendorong wacana politik meluas tak terbatas merasuk kedalam ruang-ruang privat para pengguna media sosial. Namun, interaksi dan partisipasi yang luas tersebut tidak sejalan dengan realitas partisipasi politik yang terus menurun. Oleh karena itu penting bagi kita mengevaluasi persoalan-persoalan yang muncul dibalik gegap gempita politik di media sosial.
Persoalan utama dalam partisipasi politik di media sosial adalah akses terhadap media sosial itu sendiri. Akses internet ditentukan oleh perangkat elektronik dan pulsa pemakaian internet yang bervariasi dan dibatasi oleh kemampuan ekonomi penggunanya. Kepemilikan tersebut menentukan keleluasaan akses dan jumlah perolehan informasi dari media sosial.
Meski pengguna internet di Indonesia terus bertambah, namun intensitas penggunaan dan orientasi penggunaannya sangat bervariasi. Perbedaan tersebut menciptakan diseminasi informasi terhadap waga negara yang terbelah menjadi kolompok yang kaya informasi dan kelompok yang miskin informasi. Pembelahan ini terjadi karena kesenjangan ekonomi yang ada di dunia nyata. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari kepemilikan komputer dan gadget, ketidaksetaraan pendidikan, dan tingkat melek media pada setiap kelompok masyarakat.
Persoalan kedua adalah kebebasan untuk membentuk identitas virtual bagi para pengguna media sosial. Disini, pengguna media sosial bisa saja sangat berbeda dengan identitas aslinya di dunia nyata, baik nama, biografi maupun bentuk fisiknya. Kebebasan membentuk identitas virtual tersebut seakan ikut melepaskan konsekuensi logis dari partisipasi politik seperti keterlibatan dalam sebuah program politik, advokasi sosial, dan lain sebagainya.
Fenomena yang lazim terjadi di media sosial adalah kemunculan akun-akun anonim di media sosial yang seringkali berkomentar dan menggulirkan isu politik yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Media sosial tidak dapat membatasi penggunanya untuk memiliki dua atau lebih akun di media sosial yang sama sehingga menawarkan kebebasan para penggunanya untuk mereplikasi diri, mengganti identitas bahkan menciptakan alter ego nya.
Kecenderungan para pengguna internet menggunakan akun anonim merupakan paradoks dari kebebasan media sosial itu sendiri ketika para penggunanya terilusi oleh kebebasan pembentukan identitas “yang lain” seiring dengan hilangnya konsekuensi yang diterima sebagai akibat dari opini yang digulirkan.
Persoalan ketiga adalah persoalan konten diskusi di media sosial yang sering dijadikan ukuran para analis yang menjadikan pengguna media sosial sebagai objek analisanya. Pada prakteknya, diskusi di media sosial seringkali berisi tentang hal-hal yang retoris, normatif dan kehilangan fokus. Komentar-komentar yang bertaburan berlarian banal disekitar isu yang dibahasnya. Hal ini juga disebabkan oleh pendidikan formal di indonesia yang tidak mengajarkan bagaimana cara berdiskusi dan bagaimana menghasilkan solusi terhadap suatu permasalahan melalui diskusi.
Ketiga persoalan yang dijelaskan diatas secara langsung maupun tidak langsung meruntuhkan fantasi kita tentang media sosial sebagai Agora alternatif bagi partisipasi politik. Kebebasan yang berbahaya dari partisipasi di media sosial adalah kebebasan untuk tidak hadir sehingga melikuidasi konsekuensi kehadiran dalam partisipasi politik.
Hasilnya tentu saja kuantitas partisipasi politik yang muncul di dunia maya tidak berkorelasi dengan partisipasi politik di dunia nyata. Para partisipan yang aktif di dunia maya seakan ditelan habis oleh hiruk pikuk realitas, meski sesekali dapat terjadi ledakan partisipasi namun hal tersebut menjadi anomali dalam dunia nyata.
Fenomena seperti ini juga terjadi di seluruh dunia, dalam kajian sosial fenomena ini disebut sebagai slacktivisme yang mengacu pada ukuran kepuasan dalam mendukung sebuah isu yang hanya menghasilkan sedikit atau bahkan tidak berdampak praktis. Slacktivisme tidak hanya mewakili kekeliruan dalam partisipasi politik namun juga pembentukan fantasi partisipasi politik bagi pengguna media sosial dengan rasa puas karena mereka telah berkontribusi melalui satu klik mouse atau sebaris komentar.
Partisipasi dalam media sosial secara praktis memang mudah, pengguna internet cukup mengetik teks dukungan atau kritik, bahkan lebih mudah lagi hanya dibutuhkan satu klik mouse untuk mewakili sikap politik. kemudahan seperti ini secara praktis memang dapat mengakslerasi kuantitas partisipasi namun secara esensial kemudahan ini tidak menghasilkan apapun. Akslerasi partisipasi politik seperti ini sering tidak diperiksa ulang, seperti kita mengabaikan buku panduan alat elektronik yang baru kita beli.
Kecepatan arus informasi mengakibatkan kita tak pernah menyelesaikan satu persoalan secara menyeluruh, isu demi isu terus bergulir, berganti dan berulang tanpa kita ketahui lagi akar persoalannya, yang kita dengar dan kita perhatikan hanya kontroversinya bukan esensi permasalahannya. Intensitas keterlibatan kita di media sosial dapat merestrukturisasi pandangan kita terhadap realitas.
Fantasi Politik Media Sosial
Mengutip pendapat Slavoj Zizek (1997), fantasi bukanlah kepura-puraan melainkan berakar secara inheren dalam realitas. Fantasi bekerja secara permanen membentuk hasrat dan menyediakan kerangka kordinat, bahkan mengajarkan bagaimana kia berhasrat. Fantasi membimbing para partisipan memuaskan hasrat partisipasinya di dunia maya sembari menjauhi konsekuensi di dunia nyata.
Fantasi politik media sosial juga yang mencerabut esensi kehadiran dalam partisipasi politik dan menjadikannya semu. Tidak heran jika partisipasi politik di dunia maya tidak muncul dalam bentuk partisipasi politik di dunia nyata, partisipasi pemilih dalam pemilu tetap rendah, keterlibatan dalam pembahasan isu kebijakan jarang muncul dalam protes dan petisi yang massif, perjuangan panjang menciptakan sistem multi partai dibalas dengan sinisme dan skeptisisme terhadap partai politik.
Disadari ataupun tak disadari kebebasan di media sosial menyajikan sarana untuk melarikan diri dari kebebasan di dunia nyata. Fantasi politik dalam media sosial telah memberikan ilusi bagi para pelaku politik maupun masyarakat.
Menghadapi jebakan fantasi ini, kita memerlukan kemampuan untuk menyaring informasi yang disajikan di media sosial. Lebih penting lagi bahwa kita perlu menyadari bahwa permasalahan muncul pada dunia nyata (real state) sehingga harus diselesaikan juga di dunia nyata, bukan pada konstruksi dunia maya.
- Zizek, Slavoj (1997) The Plague of Fantasies. Verso, London