Salam sobat pembaca, ketika berbicara mengenai pandemi yang sampai sekarang belum selesai, tentu saja akan banyak sekali pembahasan yang dapat dibahas, mulai dari sosial, ekonomi, perpolitikan dan sebagainya. Kita masyarakat akan cenderung berfokus pada isu usaha pemulihan terutama pemulihan ekonomi, keamanan dan isu kesehatan.
Namun ada sebuah fakta menarik yang mungkin terabaikan oleh kita, yakni mengenai isu kekerasan perempuan. Menariknya ialah ketika adanya kebijakan pemerintah yang memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) tidak menjamin bahwasanya perempuan akan terbebas dari adanya tindakan kekerasan walaupun sebenarnya aktivitas masyarakat diluar telah dibatasi.
Komnas HAM menyebutkan bahwasanya pada masa pandemi covid-19 kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat hingga mencapai 63%. Data tersebut merupakan data kekerasan yang tercatat belum termasuk kasus -kasu kekerasan yang belum dilaporkan. Sehingga angka kekerasan sebetulnya bisa jadi lebih dari angka tersebut.
Adapun kendala pelaporan oleh para korban kekerasan memiliki alasan beragam, seperti yang dikutip dari Conversation Indonesia terdapat salah satu kasus kekerasan yang menimpa Indah (19), yang mana Indah harus menerima kekerasan dari kakak laki-lakinya yang diakibatkan masalah sepele yakni pekerjaan rumah, tidak tanggung – tanggung indah mendapatkan pukulan hingga membuat pembengkakan dan memar serta kesulitan bernapas.
Namun korban tidak ingin melaporkan pada pihak berwenang dengan alasan bahwasanya kasus tersebut ialah Aib keluarga yang tidak boleh diumbar. Alasan tersebut menjadi salah satu penyebab tidak terdeteksinya berbagai macam kasus kekerasan yang menimpa perempuan baik anak –anak maupun orang dewasa.
Masyarakat kebanyakan akan berpikir bahwasanya ketika tidak terdapat aktivitas diluar dan diberlakukan pembatasan, maka tingkat kekerasan terhadap perempuan akan menurun dikarenakan mobilitas social yang terhenti sementara, sehingga tingkat kriminalitas rendah. Hal ini seolah dibantah oleh adanya fakta data peningkatan kasus yang justru meningkat drastis.
Sebuah pernyataan Sekjen PBB Antonio Guterres (5/4/2020) menjawab pertanyaan ini dengan asumsi ‘’ Bagi wanita dan anak perempuan, ancaman terbesar justru datang dari tempat dimana seharusnya mereka merasa paling aman, yakni rumah‘’. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasanya pelaku kekerasan ialah orang terdekat sendiri yakni pelaku rumah tangga. Oleh karenanya adanya pembatasan seperti PPKM maupun PSBB akan meningkatkan resiko kekerasan. Lalu bagaimana kekerasan tersebut terjadi, dan penyebabnya?
Seperti yang sudah diketahui bersama bahwasanya psikologis akan sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang. Adanya kebijakan pembatasan seperti PPKM dan PSBB justru memicu stress dan meningkatkan resiko kekerasan rumah tangga. Para ibu rumah tangga dan anak–anak yang terdampak pandemi dan kebijakan pembatasan akan terjebak bersama suami maupun pria dalam keluarga mereka, yang kehilangan pekerjaan dan mengalami tekanan dikarenakan tuntutan harus memenuhi kebutuhan.
Ditambah dengan hilangnya tempat hiburan yang membuat tingkat stress dan tekanan psikologis tidak stabil. Hal inilah yang kemudian menjadi api pemicu kekerasan, para pria yang sudah dalam tahap stress tingkat tinggi akan melakukan kekerasan terhadap orang rumah mereka yakni istri dan anak – anaknya karena kondisi emosional yang tidak stabil.
Hal menarik lainnya ialah dimana kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di dunia maya. Hal ini merupakan celah kedua yang menyangga bahwasanya kekerasan biasanya timbul akibat mobilitas sosial. Meskipun kegiatan perkantoran, sekolah dialihkan menjadi aktivitas daring atau online, tetap saja ada celah perempuan untuk dilecehkan. Angka kekerasan berbasis gender saat pandemi pun meningkat hingga 3 kali lipat.
Dikutip dari Komnas HAM terdapat 940 kasus yang tercatat hingga 4 Maret 2021 jauh meningkat dibandingkan kasus pada tahun 2020 yang hanya mencapai 281 kasus. Adapun kasus kekerasan yang dimaksud ialah, pertama pelecehan seksual, dimana para pelaku menyebar foto yang berbau Pornografi korban (perempuan), biasanya pelaku merupakan teman ataupun pacar korban. Kedua, penyalahgunaan, pelaku akan menggunakan data pribadi korban seperti unggahan foro,vidio yang kemudian akan diedit dan disalahgunakan untuk kepentingan komersial.
Berbicara mengenai potensi kekerasan yang sangat riskan dan beresiko tersebut adakah yang bisa kita lakukan untuk melakukan penekanan kasus maupun pencegahan?. Tentu saja ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisir tindakan kekerasan terhadap perempuan pada saat pandemi, yakni sebagai berikut.
Meminimalisir kasus KDRT
- Kondisi Psikologis : Karena KDRT dipicu oleh kondisi psikologis orang rumah maka cara terbaik ialah dengan memperbaiki kondisi psikologis. Ketika Pandemi melanda usahakan jangan terlalu stress dan mencari cara agar kondisi psikologis tetap stabil. Berlaku untuk semua orang yang berada dirumah.
- Gender equality :Kekerasan dipicu juga dikarenakan tidak meratanya tugas rumah, semua beban ditanggung oleh perempuan. Untuk meminimalisir hal tersebut hendaknya adanya pemerataan tugas seperti mengajar anak sekolah online yang tidak sepenuhnya dilakukan oleh ibu.
Cara meminimalisir kasus kekerasan melalui digital
Dikarenakan kasus kekerasan digital rentan terhadap penyalahgunaan postingan maka cara terbaiknya adalah dengan meminimalisir postingan gambar, vidio ataupun foto yang berepotensi menarik pelaku untuk menyalahgunakan media tersebut.
Dengan demikian adanya perhatian khusus terhadap tindakan kekerasan, masih banyak cela dimana perempuan dapat dijadikan korban kekerasan baik secara verbal dan non verbal, baik perhatian dari pemerintah dalam usaha pemulihan pandemi dan ekonomi yang menjadi penyebab meningkatnya aktivitas kekerasan terhadap perempuan.