Harus diakui, kemenangan Persija Jakarta 3-0 atas Bali United Sabtu (17/2) lalu, memberikan euforia tersendiri bagi para The Jack mania—Pendukung setia Persija. Keberhasilan Persija merengkuh Trofi Piala Presiden 2018, menjadi bukti bahwa klub raksasa asal ibukota ini, masih betul-betul kuat mengaung; masih ganas dan siap memberi ancaman bagi klub lain.
Beberapa pemain veteran, seperti Ismed Sofyan dan Bambang Pamungkas, turun menjadi saksi keberhasilan Persija meraih trofi Piala Presiden 2018, setelah 17 tahun sejak 2001, Persija tidak pernah menjuarai kompetisi liga dan piala domestik.
Berkat kemenangan ini, semua kalangan merasa gembira, terutama warga Jakarta dan seluruh The Jack Mania di seantero nusantara. Mereka bersuka cita. Ditunjukkan dengan arakan piala presiden yang kemudian terpusat di Kantor Gubernur DKI Jakarta.
Namun, satu hal yang menodai euforia kemenangan Persija. Kemenangan ini harus diselingi oleh aksi beberapa suporter yang tidak disiplin. Berbuat onar dengan menerobos, merusak pintu 5 masuk Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK).
Stadion yang baru saja selesai dibangun tersebut, harus mengalami kerusakan di beberapa titik dan ditaksir kerugian mencapai Rp 150 juta rupiah. Meski Steering committee Piala Presiden, Maruarar Sirait, mengatakan siap menanggung kerugian tersebut, tapi perbuatan segelintir oknum suporter pada laga final kemarin, menunjukkan nasionalisme kita baru sebatas nasionalisme kacangan.
Mulut berkata, “Ayo bangkit sepakbola Indonesia”, tindakan jauh dari kata selaras dengan impian.
Nasionalisme Simbolik
Amien Rais (2008) dalam monografnya, “Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia”, mengkritik maraknya semangat nasionalisme yang menurutnya sekedar simbolik. Potret nasionalisme simbolik, menurutnya, paling kentara saat Indonesia berlaga pada kejuaraan olahraga, sepakbola terutama. Dalam mana berjibun penonton memadati setiap sudut stadion, membanjiri dengan teriakan yel-yel khas Indonesia.
Mari kita ingat-ingat kembali final cabang sepakbola ASEAN Games tahun 2011. Mempertemukan Indonesia dengan Malaysia, yang berkesudahan dengan kemenangan tragis Malaysia atas Indonesia melalui babak adu penalti. Kurnia Mega sebagai benteng terakhir Indonesia, ketika itu, gagal mengamankan medali emas yang diidam-idamkan seluruh rakyat Indonesia.
Ketika itu, berjibun penonton hadir ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), bahkan SUGBK seolah mau runtuh karena penuh sesak dengan lautan manusia yang berbaju merah. Di luar stadion, para penonton yang tidak mendapat tiket, disediakan layar besar oleh panitia untuk mengakomodasi hasrat penonton yang sudah hadir. Mereka betul-betul berhasrat agar Indonesia menang, kemudian bersuka cita atas kemenangan itu.
Namun demikian, Amien Rais (2008) menyebut, sepak bola adalah contoh sederhana tentang nasionalisme simbolik. Hanya sekedar window show. Panjangan di pagar depan rumah. Sedangkan isi dalam rumah; nasionalisme ekonomi, politik, pangan, dll, masih terbengkalai dan seolah tidak terurus dengan baik.
Potret kecil kejadian di final piala presiden (17/2) lalu, adalah bukti, nasionalisme kita masih pada tataran simbolis. Berteriak-teriak, membanggakan Indonesia, namun sejatinya kosong, hanya sekedar teriakan sejenak saja. Justru sebaliknya, Stadion bersejarah yang dibangun dengan dana rakyat (APBN) harus dirusak oleh beberapa oknum yang tidak paham substansi nasionalisme.
Nasionalisme Substantif
Untuk itu, menyadari tentang nasionalisme sejati adalah kebutuhan mendasar yang harus disegerakan dalam pandangan masyarakat kita. Bangsa Indonesia, yang sejak 1967 lalu sudah ditunggangi oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest group) dengan cengkraman kapitalisme global, harus segera bangkit, guyup, dan bergotong-royong untuk membangun bersama.
Potret kemiskinan bangsa yang masih bertengger di angka 10,12% harus segera direduksi secara kolektif. Kesadaran tentang pentingnya melindungi aset bangsa, harus pula digalakkan di setiap sudut diskusi dan gerakan sosial.
Kemandirian pangan yang beberapa waktu lalu sempat menimbulkan kegaduhan antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Harusnya tidak terjadi. Data yang valid harusnya tersedia. Ini sekelas negara, tetapi memiliki perbedaan data kesediaan pasokan beras yang berbeda. Kementerian Perdagangan mencatat 900 ribu ton, sementara kementerian Pertanian mencatat 4,5 juta ton.
Sungguh angka yang sangat jauh. Mengapa bisa demikian? Padahal persoalan ini mencakup beleid nasional yang menentukan nasip 22% penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian. Beberapa ahli bahkan menyebut pemerintah harus kembali belajar berhitung. Sebuah kritikan yang halus, tapi jika tidak disadari tetap saja akan sia-sia.
Membangun Kesadaran Kolektif
Dalam hal ini, kesadaran kolektif menjadi kebutuhan bersama. Bangsa Indonesia yang sudah merdeka 72 tahun yang lalu, sudah makan pahit getirnya tragedi yang bertubi-tubi. Tragedi ekonomi, politik, dan sosial. Semua sudah dialami oleh bangsa Indonesia. Tragedi ekonomi, Indonesia pernah mengalami inflasi terbesar sepanjang sejarah, sebesar 623% pada tahun 1966. Kemudian pada Mei 1998, krisis yang diawali dari Bath, mata uang Thailand, harus merembet ke Indonesia, yang dipungkas dengan lengsernya Soeharto dari kursi Presiden.
Untuk itu, kesadaran akan nasionalisme yang sejati, harus dibangun sejak dini. Sikap disiplin, semangat untuk maju, dan tidak mudah diadu domba menjadi nilai sederhana yang patut diperjuangkan dan ditanamkan dalam sukma kita bersama.
Narasi-narasi kedamaian, toleransi, harmoni, dan keguyuban, harus dimunculkan dan diaplikasikan kembali. Jika dahulu nenek moyang Indonesia gemar mempraktikkan sikap itu, mengapa sekarang, kita, tidak mampu?
Kondisi, situasi lingkungan, dan kapasitas sumberdaya manusia yang jauh lebih kondusif ini, harusnya bisa dimanfaatkan menjadi modal bersama untuk menegakkan semangat untuk menjaga perabotan rumah besar Indonesia yang gemar dicuri oleh orang lain.
Kesimpulannya, mari pasang gembok besar sebagai pengaman, agar, rumah besar Indonesia yang gampang dimasuki orang asing yang suka mencuri ini, sedikitnya lebih aman. Kesejahteraan warga rumah juga akan jauh lebih nampak. Tidak hanya penjaga rumah besar Indonesia (elit) saja yang mendapat kesejahteraan.