Media akhir-akhir ini dipenuhi oleh pembahasan mengenai tayangan di Trans7 yang dianggap melecehkan pesantren dan Kiai. Tayangan tersebut menuai banyak kritik karena dinilai tidak mendidik dan bahkan merusak tatanan etika, terutama etika yang menjadi fondasi kehidupan pesantren. Dalam konteks ini, etika yang dimaksud bukan sekadar perilaku lahiriah atau moral dalam pengertian umum.
Meskipun perbedaan antara moral dan etika tampak tipis, keduanya memiliki makna yang sangat berbeda secara konseptual. Jika moral lebih berkaitan dengan aturan-aturan konkret mengenai perilaku yang dianggap benar atau salah, maka etika menyentuh lapisan yang lebih dalam, yakni sistem nilai yang menjadi dasar dari perilaku itu sendiri.
Etika berkembang sebagai cabang filsafat yang membahas bagaimana manusia menjalani kehidupan yang baik dan mengupayakan kebaikan dalam setiap tindakan. Ia berfungsi sebagai ilmu yang mempelajari nilai serta prinsip kebenaran, sekaligus sebagai pedoman hidup yang tumbuh dari kesadaran akan makna hidup. Dalam konteks pesantren, etika menjadi landasan utama yang menjiwai seluruh aspek kehidupan, mencakup adab, keikhlasan, penghormatan terhadap guru, serta tanggung jawab moral dan spiritual. Oleh karena itu, pelecehan terhadap pesantren berarti juga serangan terhadap sistem nilai luhur yang merepresentasikan pandangan hidup berbasis kesucian niat, keilmuan, dan kebajikan.
Jangankan Trans7, apalagi Guru Gembul, bahkan para santri dan Kiai sendiri pun belum tentu mampu menjelaskan secara utuh tradisi pesantren kepada dunia modern yang semakin banal ini. Dunia yang serba instan dan pragmatis sering kali tidak memiliki ruang untuk memahami kedalaman makna yang tersimpan dalam tradisi pesantren. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi sebuah sistem kebudayaan dengan struktur makna, simbol, dan praksis yang kompleks. Tradisi di dalamnya terbentuk melalui proses panjang; dari laku spiritual, pengabdian, hingga tafakkur, yang tidak mudah dijelaskan dengan bahasa logika modern atau media populer yang serba dangkal.
Tradisi yang Tak Cukup Dijelaskan
Tradisi pesantren merupakan sistem nilai yang kompleks dan sulit dijelaskan karena memadukan disiplin ilmu, spiritualitas, dan kehidupan sosial dalam satu kesatuan. Kalau dalam pemikiran filsafat, seperti pemikiran Martin Heidegger dan Ibnu Arabi, dunia pesantren sarat dengan simbol dan pengalaman eksistensial yang tidak bisa dijangkau oleh logika rasional semata. Pemahaman terhadap tradisi ini tidak cukup melalui pendekatan akademik, tetapi harus dirasakan melalui penghayatan dan laku hidup. Bahkan dalam beberapa hal konsep-konsep keilmuan Islam pun tidak memadai untuk menjelaskan tradisi Pesantren.
Misalnya, ketika berbicara tentang konsep barokah. Dalam Islam secara umum, barokah diartikan sebagai ziyadatul khair, yakni bertambahnya kebaikan dalam suatu hal, baik secara material maupun spiritual. Pengertian ini sering digunakan dalam konteks yang luas, mencakup rezeki, waktu, ilmu, maupun amal yang membawa manfaat berkelanjutan. Namun, dalam tradisi pesantren, makna barokah jauh melampaui batas pengertian tersebut. Ia bukan hanya tentang bertambahnya kebaikan, melainkan tentang dimensi spiritual yang melibatkan relasi batin antara guru dan murid, antara Kiai dan santri, yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan konsep rasional.
Dalam tradisi pesantren, barokah adalah sesuatu yang hidup dalam pengalaman, bukan sekadar istilah teologis. Ia menyatu dalam keseharian santri, dari cara mereka mencium tangan Kiai, mematuhi perintah, menjaga adab, hingga mengikuti laku dan tirakat. Barokah dipahami sebagai pancaran kebaikan batin yang mengalir dari seorang Kiai kepada santrinya, bukan karena hukum sebab-akibat biasa, tetapi karena adanya hubungan ruhani yang bersifat transenden. Inilah mengapa hingga kini belum ada penjelasan yang benar-benar memadai tentang barokah dalam pesantren. Para akademisi yang mencoba mendefinisikannya sering kali tersesat di antara bahasa rasional dan pengalaman spiritual yang tidak terkatakan.
Kiai Aguk, dalam disertasinya beberapa tahun lalu, mencoba menyingkap keruwetan makna barokah dengan menelusuri akar etika dalam tradisi pesantren. Ia menjelaskan bahwa barokah pada hakikatnya merupakan doa baik seorang Kiai untuk santrinya; sebuah bentuk restu spiritual yang meneguhkan perjalanan hidup sang murid. Doa tersebut bukan sekadar ucapan, melainkan energi kebaikan yang berkelindan dengan laku, kesetiaan, dan ketundukan santri terhadap gurunya. Penjelasan Kiai Aguk ini, meskipun belum sepenuhnya memadai, mendekati kebenaran yang lebih dalam daripada sekadar makna ziyadatul khair. Ia menegaskan bahwa barokah bukan hasil dari usaha material, melainkan buah dari hubungan etis dan spiritual yang melampaui logika duniawi.
Ketika Kedangkalan Menjelaskan Kedalaman
Trans7, sebagaimana media massa pada umumnya, merupakan produk dari industri budaya yang rentan terhadap kebanalan. Dalam dunia media modern, tujuan utama sering kali bukan untuk memperdalam pemahaman atau menumbuhkan kesadaran kritis, melainkan untuk menarik perhatian dan menjaga rating. Akibatnya, nilai-nilai yang kompleks dan mendalam sering kali disederhanakan, bahkan dipermainkan, demi hiburan. Dalam konteks ini, pesantren dengan seluruh kekayaan spiritual, intelektual, dan etisnya menjadi sulit dipahami ketika dipertemukan dengan logika industri media yang dangkal. Media seperti Trans7, yang beroperasi di bawah tuntutan pasar dan sensasi, tidak memiliki perangkat epistemologis untuk memahami kedalaman dunia pesantren.
Jika mengikuti analisis Adorno tentang dua bentuk budaya; low culture dan high culture, maka Trans7 dapat dikategorikan sebagai low culture, yaitu bentuk budaya populer yang mudah dicerna, tetapi miskin kedalaman reflektif. Sebaliknya, pesantren dapat dikatakan sebagai high culture, yakni tradisi yang memelihara nilai-nilai luhur, refleksi mendalam, serta kesinambungan spiritual yang telah teruji oleh waktu. Dalam kategori ini, low culture tidak memiliki kapasitas untuk mewadahi atau menjelaskan high culture, karena keduanya berdiri di atas logika yang berbeda: yang satu berorientasi pada konsumsi dan hiburan, sementara yang lain berorientasi pada kebijaksanaan dan kesempurnaan moral.
Jika santri dan Kiai yang hidup dalam lingkungan pesantren saja belum tentu mampu menjelaskan kompleksitas tradisi mereka kepada dunia modern yang semakin dangkal, tentu jauh lebih mustahil bagi media seperti Trans7 untuk melakukannya. Ketika kedalaman tradisi pesantren dijelaskan melalui bingkai low culture yang banal, kedalaman itu justru akan tereduksi menjadi sekadar tontonan. Hasilnya bukan pemahaman, melainkan distorsi. Dunia yang sudah banal ini akan semakin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kearifan dan hiburan, antara ilmu dan sensasi. Maka, membiarkan pesantren dijelaskan oleh logika media semacam itu bukan hanya tidak memadai, tetapi juga berisiko merusak makna luhur yang telah lama dijaga oleh tradisi pesantren.
