Di era digital yang serba cepat ini, informasi mengalir deras tanpa henti. Dalam hitungan detik, anak muda bisa mengakses jutaan data hanya dengan satu ketukan jari. Media sosial, situs berita, blog, dan video pendek menjelma menjadi sumber utama literasi modern. Tapi, apakah semua yang dibaca, ditonton, dan dibagikan sudah melalui proses etis yang benar? Di sinilah pentingnya etika literasi kemampuan bukan hanya untuk mengakses dan memahami informasi, tetapi juga menyaringnya secara bijak dan bertanggung jawab.
Literasi digital bukan sekadar soal kemampuan membaca dan menulis di dunia maya. Ini juga menyangkut nilai moral, sikap kritis, dan integritas dalam memperlakukan informasi. Kita sebagai anak muda sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi memegang peran strategis dalam menentukan kualitas literasi bangsa. Namun ironisnya, semakin banyak kita melihat penyalahgunaan media digital: hoaks tersebar tanpa saring, opini dangkal viral tanpa konteks, dan plagiarisme dianggap hal biasa.
Etika literasi mengajarkan bahwa setiap informasi yang dikonsumsi dan dibagikan memiliki dampak. Sebuah unggahan bisa menginspirasi, tapi juga bisa menyakiti. Menulis bisa membangun, namun bisa pula meruntuhkan. Di sinilah kita sebagai anak muda perlu peka dan sadar, bahwa kebebasan berekspresi datang bersama tanggung jawab moral.
Mengelola informasi secara etis berarti menghindari menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, mencantumkan sumber kutipan saat membuat tulisan, tidak menjiplak hasil karya orang lain, serta menjaga sopan santun dalam berkomentar. Lebih jauh lagi, etika literasi juga menyangkut empati mampu menempatkan diri sebelum mengomentari topik sensitif, dan menghargai keragaman perspektif tanpa mencaci.
contoh nyata bahwa etika dan literasi bisa berjalan berdampingan. Anak muda tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen yang sadar nilai. Mereka mengerti bahwa menulis bukan hanya soal kata-kata, tapi juga tanggung jawab. Mereka sadar bahwa membaca bukan hanya menerima, tapi juga menganalisis dan memverifikasi. Di tangan anak muda hari ini, masa depan informasi ditentukan. Jika mereka memilih untuk menjunjung tinggi etika dalam literasi, maka kita bisa berharap lahirnya generasi pembaca yang cerdas, penulis yang jujur, dan pemimpin opini yang bijak.
Karena pada akhirnya, literasi bukan hanya soal isi kepala, tapi juga isi hati. Dan etika adalah jembatan agar informasi yang disampaikan membawa manfaat, bukan mudarat. Anak muda, saatnya kita tidak hanya melek informasi, tapi juga sadar etika. Dunia digital yang lebih sehat dan beradab menanti kontribusimu. Namun, menginternalisasi etika literasi di kalangan anak muda bukan hal yang mudah. Tantangan terbesarnya adalah banjir informasi yang sulit dibedakan antara fakta dan opini, antara kebenaran dan manipulasi. Banyak anak muda, tanpa disadari, menjadi bagian dari penyebar kabar bohong (hoaks) hanya karena ingin menjadi yang pertama membagikan informasi, tanpa mengecek sumber atau validitas isi.
Di era algoritma ini, media sosial tidak hanya menyuguhkan apa yang kita cari, tetapi apa yang ingin kita lihat bukan apa yang benar. Filter bubble dan echo chamber mempersempit cakrawala berpikir. Kita terjebak di dalam lingkaran yang memperkuat bias dan prasangka pribadi. Anak muda yang tidak memiliki kesadaran literasi yang kritis mudah terjebak dalam polarisasi opini, saling serang, dan hilang empati.
Literasi juga bukan hanya soal teks. Di era visual seperti sekarang, anak muda harus mulai menyadari bahwa foto, video, meme, bahkan emoji pun membawa pesan yang bisa membentuk persepsi. Editing visual yang menyesatkan, narasi manipulatif dalam konten pendek, atau kampanye hitam digital yang dibungkus humor kini menjadi alat yang berbahaya. Maka, etika visual pun menjadi bagian dari literasi yang harus ditanamkan sejak dini.
Beberapa komunitas literasi di Indonesia seperti Sahabat Literasi, Indonesia Baik, Komunitas Blogger Remaja, dan Kelas Literasi Cerdas Digital sudah menunjukkan bahwa edukasi etika literasi bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan relevan. Pelatihan membuat konten informatif, kelas menulis esai dan opini, diskusi daring soal kebijakan publik, bahkan gerakan membaca bersama secara daring telah memperkuat ekosistem literasi yang etis dan sehat.
Selain komunitas, peran sekolah dan keluarga juga sangat penting. Guru dan orang tua harus menjadi teladan, bukan hanya dengan menyuruh anak membaca buku, tetapi juga menunjukkan sikap kritis terhadap informasi, memberi contoh menghargai karya orang lain, dan mendorong anak untuk mengekspresikan ide secara santun dan berlandaskan kebenaran. Bayangkan jika satu juta anak muda Indonesia menulis konten yang mencerahkan, menyebarkan edukasi, dan menjadi penjaga etika di dunia digital. Kita akan melihat transformasi besar bukan hanya dalam kualitas diskursus publik, tetapi juga dalam cara kita memandang literasi sebagai alat perubahan sosial yang nyata.
Karena pada akhirnya, teknologi akan terus berkembang, informasi akan terus bertambah, dan tantangan akan semakin kompleks tapi satu hal yang tidak boleh hilang adalah nilai etika. Kita sebagai anak muda Indonesia tidak hanya dituntut untuk cerdas secara kognitif, tetapi juga bijak secara moral. Karena dalam dunia yang penuh kebisingan, suara yang paling didengar bukanlah yang paling keras tetapi yang paling jujur dan bertanggung jawab.
Tulisan ini hasil kolaborasi Sevenita Oktaviani Sipahutar Mahasiswi Universitas Katolik Santo Thomas Dan Helena Sihotang, S.E., M.M. Dosen Fakultas ekonomi dan bisnis