Hiruk pikuk kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, manusia modern seolah terpesona oleh kemampuan akal dan sains yang terus berkembang. Dari kecerdasan buatan, rekayasa genetika, hingga eksplorasi luar angkasa, ilmu pengetahuan tampak menjanjikan masa depan yang serba mudah dan efisien.
Namun, di balik pesona itu, muncul pertanyaan mendasar: ke mana arah ilmu pengetahuan membawa kita? Apakah semua yang bisa dilakukan manusia, juga seharusnya dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak bisa dijawab hanya dengan logika sains, melainkan dengan refleksi filosofis yang lebih dalam di sinilah aksiologi berperan. Aksiologi, cabang dari filsafat ilmu yang membahas nilai dan tujuan dari ilmu pengetahuan, mengingatkan kita bahwa ilmu bukanlah entitas yang bebas nilai. Ia tidak boleh berdiri sendiri tanpa pertimbangan moral, sosial, dan kemanusiaan.
Secara etimologis, kata aksiologi berasal dari bahasa Yunani: axios yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “ilmu.” Dengan demikian, aksiologi berarti ilmu tentang nilai. Dalam konteks filsafat ilmu, aksiologi berfungsi menelaah hubungan antara ilmu dan nilai, apakah nilai itu moral, sosial, estetis, atau spiritual. Jika epistemologi bertanya “bagaimana kita mengetahui,” dan ontologi bertanya “apa yang kita ketahui,” maka aksiologi menanyakan “untuk apa pengetahuan itu digunakan.” Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya sangat mendasar, sebab ia menyentuh esensi dari keberadaan ilmu itu sendiri.
Pandangan aksiologis, ilmu pengetahuan haruslah berpihak pada kemaslahatan manusia dan keberlanjutan kehidupan. Ilmu yang hanya berorientasi pada hasil, tanpa peduli dampaknya terhadap manusia dan lingkungan, akan kehilangan jati dirinya. Aksiologi menuntut agar setiap kegiatan ilmiah selalu mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab etis.
Selama abad ke-19 dan ke-20, muncul pandangan bahwa ilmu pengetahuan bersifat value free bebas nilai. Pandangan ini dipopulerkan oleh positivisme logis, yang meyakini bahwa kebenaran ilmiah hanya ditentukan oleh fakta empiris, bukan oleh nilai moral atau kepercayaan subjektif. Namun, kenyataannya, sains tidak pernah benar-benar bebas nilai. Pilihan topik penelitian, penggunaan metode, pendanaan riset, hingga penerapan hasilnya selalu melibatkan keputusan nilai. Misalnya, ketika sebuah perusahaan farmasi meneliti obat baru, ada pertimbangan ekonomi dan sosial yang ikut bermain. Demikian pula, penelitian tentang senjata atau teknologi militer jelas memiliki implikasi moral yang tidak bisa diabaikan.
Aksiologi menentang ilusi netralitas sains. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tidak berdiri di ruang hampa. Setiap ilmu lahir dalam konteks sosial, budaya, dan politik tertentu, serta selalu membawa konsekuensi terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu, tanggung jawab moral ilmuwan dan lembaga penelitian menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Ilmuwan bukan sekadar pencari kebenaran, tetapi juga penjaga nilai kemanusiaan.
Di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa, ilmuwan harus menyadari bahwa setiap penemuan membawa potensi ganda manfaat dan bahaya. Contohnya dapat kita lihat pada penemuan energi nuklir. Di satu sisi, energi ini mampu menjadi sumber listrik yang efisien dan ramah lingkungan. Namun di sisi lain, ia juga dapat menjadi senjata pemusnah massal yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Perbedaan ini bukan terletak pada teknologinya, tetapi pada nilai dan tujuan penggunaannya
Filsuf Jerman, Hans Jonas, dalam karyanya The Imperative of Responsibility (1979), menegaskan bahwa tanggung jawab etis manusia modern harus sebanding dengan kekuatan teknologinya. Artinya, semakin besar kemampuan sains mengubah dunia, semakin besar pula tanggung jawab moral yang harus diemban. Aksiologi mengingatkan bahwa kemajuan tanpa etika hanyalah jalan menuju kehancuran. Zaman modern ditandai oleh pencapaian ilmiah yang luar biasa, tetapi juga oleh krisis nilai yang mendalam. Di tengah euforia teknologi digital, manusia kian terasing dari dirinya sendiri. Hubungan sosial menjadi dangkal, privasi terkikis, dan kebenaran sering kali dikaburkan oleh informasi yang direkayasa.
Aksiologi menawarkan jalan reflektif untuk menata ulang hubungan antara manusia, ilmu, dan nilai. Ilmu seharusnya tidak hanya menghasilkan kemajuan material, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan moral. Sebab, tanpa kebijaksanaan, pengetahuan hanyalah kekuasaan yang buta arah. Sebagai contoh, perkembangan kecerdasan buatan (AI) membuka peluang besar di berbagai bidang, mulai dari kesehatan hingga pendidikan.
Namun, di sisi lain, muncul persoalan etika: apakah manusia masih memiliki kendali atas teknologi yang diciptakannya? Bagaimana dengan hak privasi, keamanan data, dan kemungkinan penyalahgunaan algoritma? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan inti dari aksiologi modern. Ia menuntut agar setiap inovasi sains selalu diuji dengan pertimbangan nilai dan kemanusiaan, bukan sekadar efisiensi dan keuntungan.
Pendidikan, sebagai wahana utama pengembangan ilmu, juga harus berpijak pada dasar aksiologis. Tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak tenaga kerja yang kompeten, melainkan membentuk manusia yang berkarakter, beretika, dan bertanggung jawab sosial.
Sayangnya, dalam praktiknya, pendidikan sering terjebak pada orientasi pragmatis: mengejar nilai ujian, ijazah, dan pekerjaan. Ilmu dipelajari bukan untuk memahami makna kehidupan, tetapi untuk kepentingan ekonomi semata. Akibatnya, banyak lulusan cerdas secara intelektual, tetapi miskin secara moral dan empati. Di sinilah peran penting aksiologi. Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati harus membawa kebajikan. Mahasiswa dan peneliti perlu disadarkan bahwa setiap penelitian yang mereka lakukan bukan hanya soal metodologi dan hasil, tetapi juga soal tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan.
Pendidikan yang berlandaskan aksiologi akan menumbuhkan ilmuwan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijaksana secara moral. Mereka tidak sekadar knowers (yang tahu), tetapi juga care-takers (yang peduli). Aksiologi mengajarkan bahwa ilmu dan nilai tidak boleh dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan agar kemajuan manusia tetap memiliki arah moral. Sejarah membuktikan, ketika sains berkembang tanpa nilai, hasilnya bisa destruktif. Lihatlah tragedi Hiroshima dan Nagasaki, eksploitasi lingkungan tanpa batas, atau perang siber di dunia digital modern. Semua itu berakar dari pandangan bahwa ilmu hanya alat, bukan tanggung jawab. Padahal, setiap alat adalah perpanjangan dari niat manusia dan niat itu harus diarahkan pada kebaikan.
Kerangka aksiologis, ilmu seharusnya menjadi sarana untuk memanusiakan manusia. Ia harus digunakan untuk mengurangi penderitaan, memperkuat solidaritas sosial, dan menjaga keberlanjutan alam. Dengan demikian, keberhasilan sains bukan diukur dari seberapa banyak penemuan yang dihasilkan, tetapi seberapa besar manfaat moral dan sosial yang ditimbulkannya. Di tengah kemajuan sains yang kian tak terbendung, aksiologi hadir sebagai kompas moral. Ia menuntun manusia agar tidak tersesat dalam labirin pengetahuan yang tanpa arah.
