Rabu, Oktober 9, 2024

"Era Baru China," Haruskah Khawatir?

Ilhamdatha
Ilhamdathahttp://about.me/ilhamdatha
Wartawan. Humas. Penulis buku biografi. Asisten Peneliti DPD, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. about.me/ilhamdatha

24 Oktober 2017 menjadi hari terakhir digelarnya Kongres ke-19 Partai Komunis China. Kongres yang juga menjadi pesta politik lima tahunan ala China ini menghadirkan gagasan bagi China untuk memasuki “era baru” dalam mencapai impian China (Chinese Dream) dan kebangkitan kembali bangsa China (The Great Rejuvination of the Chinese Nation.” 

Presiden Xi Jinping, yang menyebutkan asa tersebut sebagai bagian dari tujuan utama membahagiakan rakyatnya, disokong kuat oleh Partai Komunis China dalam mewujudkan visi yang tertuang dalam manifesto dan amandemen konstitusi China terbaru. 

Dan itambah dengan posisinya yang merangkap puluhan jabatan vital dalam sistem politik China, serta disokong dengan kekuatan ekonomi China yang tumbuh pesat dalam dua dekade terakhir, Xi memiliki segala kemampuan dan kapabilitas untuk mewujudkan visi tersebut dalam berbagai medium. Termasuk, politik luar negeri China.

Lalu, bagaimana Indonesia selayaknya menyikapi era baru yang diimpikan China?

Dalam kerangka konkrit, hubungan internasional China tersebut akan berlangsung dengan empat tujuan yang senantiasa hadir dalam konsep keberlanjutan dan perubahan berkala (continuity and change). Yang pertama, adalah integritas wilayah. Dimana China akan senantiasa mengerahkan segala sumber daya dan kemampuan untuk meneguhkan kedaulatan negara berdasarkan persepsinya, apapun bentuk dan visinya di masing-masing zaman.

Di satu sisi, China yang sejak 2012 dinahkodai Xi Jinping itu bisa terproyeksikan begitu agresif dan asertif, karena membangun pulau buatan dan menempatkan militernya di laut China Selatan demi mempertahankan klaimnya atas sembilan garis putus-putus (Nine dash line).

Namun di sisi yang lain, Indonesia sebagai negara yang tidak bersengketa dalam laut China Selatan dan memiliki landasan konstitusi yang menekankan keturut sertaan bangsa dalam mewujudkan perdamaian dunia, selayaknya bisa mengambil posisi sentral untuk menjembatani perbedaan kepentingan antar negara-negara ASEAN dengan China. 

Sekaligus mencegah Laut China Selatan dan kawasan Asia Tenggara, menjadi ladang perang proksi terbaru ditengah Amerika Serikat yang memiliki perbedaan pendapat dengan China dan telah bermanuver dalam menempatkan kekuatan militernya.

Yang kedua, adalah menjaga lingkungan untuk pertumbuhan ekonomi. Definisi atas lingkungan tersebut, silih berganti seiring dengan visi dan kondisi yang dihadapi China. Di era Deng Xiaoping yang menekankan fokus pembangunan ekonomi dalam negeri berbasis low profile, lingkungan yang dimaksud adalah stabilitas ekonomi domestik.

Tapi di era kontemporer, lingkup lingkungan tersebut telah berubah menjadi vitalitas kestabilan ekonomi global, ditengah posisi China yang telah bertransformasi menjadi negara besar dengan konsep baru dalam proses hubungan internasional (New Type of Great Power Relations,) dan kemampuan ekonominya yang semakin kuat.

Di satu sisi, posisi China sebagai penjaga ekonomi global tersebut diwujudkannya dalam dukungan penuh atas perdagangan bebas (Champion of free trade,) ditengah Amerika Serikat yang kini justru mengisolasi diri. Berbagai bentuk kooperasi perdagangan yang juga melibatkan Indonesia layaknya Inisiatif Sabuk dan Jalan maupun penyelenggaraan Asian Investment Infrastucture Bank, dapat berkontribusi positif bagi produktivitas kapital yang dimiliki China, sekaligus bermanfaat bagi Indonesia yang sedang getol membangun infrastuktur dibawah Presiden Joko Widodo.

Namun di sisi yang lain, membanjirnya barang impor China di penjuru dunia maupun migrasi pekerja asing asal China di beberapa negara Afrika, sempat membuat Indonesia khawatir dan dilanda desas-desus akan mengalami nasib serupa dalam desas-desus isu 10 juta pekerja China. 

Termasuk, kekhawatiran bahwa infrastuktur vital negeri ini akan diambil alih oleh China. Layaknya Pelabuhan Hambantota di Srilanka yang diambil alih China dan digunakan sebagai pangkalan militer, karena negara tersebut mengalami masalah likuiditas dan ketergantungan atas bantuan luar negeri yang datang dari China.

Layaknya Anggur Tua

Namun, kekhawatiran tersebut selayaknya disikapi dengan memahami tujuan politik luar negeri China yang ketiga, dalam kerangka China mewujudkan citra positif yang berbasis imaji negara bersahabat. Alih-alih mengenalkan China yang saat ini memiliki kekuatan di bidang ekonomi sebagai penguasa dunia, China dalam politik luar negerinya senantiasa membuktikan dan menempatkan diri sebagai kekuatan status quo yang mendukung keberadaan sistem internasional saat ini.

Kehadiran China berbasis kekuatan besar yang bertanggung jawab (responsible great power) di era Presiden Xian Jenmin, maupun konsep kebangkitan damai (peaceful rise) dan pembangunan damai (peaceful development) yang dikenalkan Presiden Hu Jintao dan dilanjutkan oleh Presiden Xi Jinping, menunjukkan komitmen atas hal tersebut. 

Termasuk, dalam memperkenalkan kooperasi ekonomi di era kontemporer yang berbasis model ekonomi Beijing (The Beijing Consensus), dengan penekanan atas  keterbukaan pasar, penghormatan atas kedaulatan negara lain, dan prinsip non intervensi.

Hal tersebut jauh berbeda dengan model ekonomi Amerika (The Washington Consensus) yang dalam beberapa kesempatan diterapkan dengan paksaan reformasi berbasis privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi, layaknya yang Indonesia alami ketika menerima pinjaman dana dari IMF di masa krisis 1998. 

Namun, menjadi wajar jika China mengambil alih aset jaminan ketika melakukan restrukturisasi hutang layaknya apa yang terjadi di Srilanka, karena China juga tentu tidak mau rugi atas investasi dan kerjasama bilateral yang seharusnya berlangsung dengan asas saling menguntungkan.

Ketiga tujuan tersebut, kemudian berkontribusi bagi upaya Partai Komunis China dalam memenuhi tujuannya yang terakhir dan paling utama:  memastik keberlangsungan rezim dalam sistem politik China.

 Pertumbuhan ekonomi yang hendak dicapai China demi mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan layaknya target yang diinisiasi dan hendak dicapai oleh Xi Jinping pada peringatan seratus tahun China di tahun 2020, kemudian menjadi sumber legitimasi utama dan paling penting bagi partai tersebut.

Tujuannya sederhana: membahagiakan rakyat, dan memastikan kepatuhan rakyat atas pemerintahnya tetap berlangsung. Mengingat mandat dari surga (tian min) yang dulu digunakan para penguasa era dinasti, tak bisa lagi digunakan sebagai basis doktrinasi ditengah masyarakat yang makin rasional.

Empat tujuan tersebutlah yang kemudian membuat beberapa akademisi Hubungan Internasional kerap menjuluki kebijakan politik luar negeri China sebagai anggur tua dalam botol yang baru (Old Wine in a New Bottle). Sosok pemimpin maupun visi yang dibawanya, serta bagaimana sistem internasional dipandang dalam perspektifnya, boleh jadi silih berganti.

Namun layaknya anggur tua, ia tetap berasal dari petikan buah dari pohon struktur Partai Komunis China yang tak tergantikan. Serta makin ranum, kuat, dan bijaksana seiring waktu. 

Sehingga yang perlu dilakukan Indonesia sebagai salah satu aktor yang memiliki jalinan hubungan cukup intens dengan China, adalah turut menjadi bijaksana dalam menghadapi tantangan besar yang akan hadir. Demi mewujudkan hadirnya kebahagiaan serupa bagi Bangsa Indonesia.

Ilhamdatha
Ilhamdathahttp://about.me/ilhamdatha
Wartawan. Humas. Penulis buku biografi. Asisten Peneliti DPD, Institute of International Studies, Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM. about.me/ilhamdatha
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.