Berawal dari sebuah mimpi yang mengandaikan sebuah daerah yang penuh dengan aksara. Berjejer dari emperan menuju ke pusat kota untuh sebuah tujuan suci yang di namakan “literasi”.
Mimpi itu kian menjadi epicentrum dalam diri dari beberapa anak kacuping yang mungkin sudah lelah untuk dibodohi dan diilusikan oleh wacana “literasi” karbitan – literasi ala pemerintah untuk menuntaskan buta aksara lewat program-program konyolnya tanpa memberikan ruang bebas dalam membangun “Kota Literasi” secara berkelanjutan dan konsisten.
Waktu begitu cepat berlalu. Tahun 2017 memanasnya wacana literasi sontak menjadi hangat di kota perdamaian itu, digagas oleh para pemuda dan birokrat untuk menjadikan pemuda yang berintelektual serta berakhlak mulia. Entah untuk apa gerakan itu dilakukan, bahkan dengan beraninya mewakili atas nama pemuda. Itu konyol! Hingga saat ini ruang itu hanya menjadi kenangan suram masa lampau. Kini, gerakan itu hanya sampai pada aksara literasi di atas kain hitam.
Di waktu senggang awal tahun 2019, di tengah malam yang menggigit kulit hingga ke sum-sum tulang. Ruang baru telah terbuka – ruang yang diinisiasi oleh beberapa Anak kacuping dan memiliki tekad dalam membuat “Ruang antara” tanpa tali hirarkis dari pemerintah. Mereka mempersatukan mimpi untuk mendobrak konstruksi wacana dari corong singgasana tentang Daerah yang dijuluki sebagai Kota Literasi – Literasi yang tak teraktualisasi.
Tahap demi tahap “Ruang Antara” terisi oleh kegiatan sederhana yang penuh dengan candaan nan menghangatkan. Di tengah-tengahnya ada buku yang terhampar di atas karpet yang usang. Hanya bermodalkan lampu jalanan, mereka berlayar ke samudera pengetahuan.
Sebab kini kita hadir di era saintifik, era cogito ergo sum (meminjam istilah Rene Dercartes), era perjalanan Rausyanfikr (meminjam istilah Ali Syari’ati), era Colliq pujie, serta era dalam melawan simulacra dan hyperrealitas (meminjam istilah Jean Baurdillard). Mereka sadar bahwa di jaman ini kebodohan merajalela. Sehingga knowledge is a power (meminjam istilah dari Francis Bacon) adalah anti tesa dalam melawan konstruk kebenaran yang absolut dari Kekuasaan.
Mungkin ruang ini hanya menjadi tempat bermain – bercanda dalam keseriusan untuk membangun sebuah peradaban baru yang telah didekonstruksi. Literasi bukanlah sesuatu yang kaku untuk diaktulisasikan, literasi merupakan kumpulan aksara yang tak boleh dibatasi oleh Perda atau regulasi apapun seperti para sturukturalis masa lampau. Literasi akan massif apabila dijadikan sebagai gerakan kultural yang konsisten dan berkelanjutan tanpa hadirnya hirarkis yang saling menekan.
Ababun Nuzulnya. Pertama, Pemerintah tak becus dalam memajukan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah formal sehingga peradaban ini tergerus. Padahal di masa lampau, para pendahulu kita lebih maju untuk mengaktualisasikan literasi – sebagai contoh nenek moyang kita menuliskan maha karya tepanjang di Dunia – I Laga Ligo yang sampai hari ini, pemerintah pun tak mampu untuk merebutnya di tangan Belanda. Bahkan kurikulum yang dibuatnya bukanlah merupakan cerminan secara ilmiah dari kondisi masyarakat tapi berujung kepada logika pasar yang dibangun secara massif.
Kedua, mosi tidak percaya atas ruang-ruang literasi yang diciptakan secara non-formal atas keinginan kekuasaan. Di tengah wacana “Literasi” yang digaungkan sebagai simulacrum dalam mencerdaskan kehidupan Bangsa, kekuasaan (Birokrat dan anjing-anjingnya) malah melakukan “penghancuran” nalar intelektualitas melalui “perampokan” buku-buku yang dijastifikasi berbau kekiri-kirian – PKI atau aliran komunisme, Sejarah Gerakan Kiri Indonesia terbitan Ultimus Bandung, Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie hingga karya dari The Founding Father (Soekarno) yang Berjudul Islam Sontoloyo di berbagai pelosok Negeri ini (Kediri, Ternate, DIY, dll).
Tindakan tersebut dinilai oleh para “akademisi” bahwa kekuasaan kali ini bukannya membangun kultur intelektualitas tetapi malah membangun jalan tol kedunguan. Akibatnya, masyarakat malah jatuh kejurang intoleransi, diskreatifitas, dan masuk ke dalam penjara hoax yang sengaja dikonstruksi.
Kita tak menginginkan kedunguan itu berkelana di Butta Salewangang (Tanah Perdamaian) ini. Itulah sebabnya “Ruang antara” ini lahir tanpa hirarkis yang menekan mereka sebagai bentuk kritik terhadap Kekuasaan.