Sudah empat bulan lamanya tatanan hidup masyarakat dunia termasuk Indonesia terasa diobrak-abrik akibat adanya pandemi covid-19. Menurut webinar yang dilakukan oleh lembaga riset Smeru, kondisi ini tidak hanya merupakan krisis kesehatan, tetapi juga krisis sosial, budaya, dan ekonomi.
Fenomena budaya yang tidak pernah terjadi sebelumnya, mengharuskan masyarakat mampu untuk beradaptasi. Pandemi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Dalam hal positif, ternyata terdapat beberapa aktivitas yang tidak perlu dikerjakan dengan cara work from out cukup dengan work from home melalui media online dapat dilakukan dengan baik, walaupun tidak semua kegiatan dapat berjalan semulus itu.
Bagi dunia pendidikan, khusunya mahasiswa merasa diuntungkan dan dirugikan. Menguntungkan karena dapat mengikuti banyak event seperti seminar gratis dengan pembicara hebat, jika event itu dilakukan secara offline harga tiket akan sangat mahal, sudah pasti kantong anak kos akan menjerit. Sedangkan yang merugikan, mulai dari sistem kuliah online dengan segudang permasalahan, belum lagi event-event organisasi kampus yang sudah disusun sejak awal tahun tidak terlaksana. Belum lagi permasalahan sosial, budaya dan ekonomi.
Akhir-akhir ini juga muncul istilah asing yang sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia, yaitu new normal. Kemunculanya cukup membuat kita terkejut, karena angka positif covid yang belum turun, sedangkan pemerintah dengan segala pertimbanganya memberikan kebijakan new normal.
New normal diartikan sebagai skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional (Detik.news, 16/06/2020)
Dalam fase new normal ini, masyarakat dapat melakukan kembali aktivitasnya di luar rumah setelah berbulan-bulan harus poduktif melalui rumah masing-masing. Tentunya tidak hanya sekadar pergi dengan bebas, namun harus sesuai dengan protokol kesehatan seperti menggunakan masker, melakukan social distancing, selalu mencuci tangan, dan lain sebagainya.
Sejak munculnya covid-19 sampai diputuskanya kebijakan new normal di beberapa wilayah tertentu, merupakan fenomena perubahan sosial budaya. Perubahan ini tampak nyata dan dirasakan kehadiranya di tengah-tengah masyarakat, bahkan diri kita sebagai individu. Yang menjadi pertanyaan saya adalah sampai kapan perubahan ini terjadi? apakah ini adalah budaya baru dalam masyarakat Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat ditinjau menggunakan aspek antropologis yang tidak asing dengan adanya teori ekologi budaya oleh Steward. Teorinya cukup relevan untuk menjawab kondisi budaya yang terjadi saat ini.
Steward mengatakan “Tidak ada kebudayaan yang terbentuk secara linier dan mengikuti model umum kebudayaan yang berlaku di setiap masyarakat “ (Nasdian Ft:2015). Yang berarti kebudayaan masyarakat dapat berubah-ubah tidak selalu berdasarkan warisan nenek moyang, namun dapat juga sebagai hasil penyesuaian terhadap kondisi lingkungan masyarakat pada saat itu.
Dalam konteks new normal, manusia saat ini sedang melakukan upaya penyesuaian diri terhadap lingkungan supaya dapat bertahan, namun tidak hanya sekadar bertahan, tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan hidupnya berdasarkan kondisi budaya.
Menurut Meggers ( dalam Keesing, R:2014) Analoginya manusia adalah hewan, dan seperti semua hewan-hewan lain, harus menjalankan satu hubungan adaptif dengan lingkungannya dalam rangka untuk tetap dapat hidup. Meskipun manusia dapat melakukan adaptasi ini secara prinsipil melalui alat budaya, namun prosesnya dipandu oleh aturan-aturan seleksi alam seperti yang mengatur adaptasi biologis.
Perubahan budaya merupakan jawaban untuk menyelesaikan tantangan yang ada. Mulai dari keputusan diberlakukanya social distancing, psbb, hingga new normal merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang lambat laun akan membentuk suatu kebudayaan baru. Dalam hal ini, terbentuknya kebudayaan berasal dari pola kebiasaan yang dijalankan dan dipatuhi oleh masyarakat secara terus menerus. Perubahan budaya tersebut diibaratkan seperti bentuk adaptasi yang memiliki maksud sama dengan seleksi alam.
Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa masyarakat sedang berada pada kondisi budaya baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Berbagai kebijakan pemerintah dapat mengkonstruksi budaya baru. Dalam hal ini pemerintah berperan sebagai aktor dalam menciptakan kebudayaan tersebut.
Dengan berbagai perubahan yang terjadi, tentunya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan memiliki wewenang penuh untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam menghadapi pandemi. Karena otoritas merupakan implementasi kekuasaan dari pemegang kekuasaan. Seperti yang dikatakan Levi Strauss (dalam Rahmawati, Isnaini:2018) bahwa manusia dalam melakukan aktivitasnya ditentukan oleh struktur dan aturan.
Jika dalam beberapa pengetahuan mengatakan bahwa budaya itu dikonstruksi. Sedangkan Levi Strauss mengatakan budaya itu given. Masyarakat hanya objek yang bergerak sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan. Individu yang bergerak di luar sistem ini akan dianggap menyimpang.
Sebagai contoh pemerintah telah menetapkan bahwa dengan adanya pandemi, masyarakat diharuskan berpergian menggunakan protokol kesehatan. Keputusan ini telah disepakati dan dianggap benar, sehingga ketika ada masyarakat yang tidak patuh terhadap keputusan yang disepakati tadi, secara jelas akan dikatakan menyimpang.
Lantas jika new normal merupakan budaya baru Bangsa Indonesia, maka apa yang akan terjadi dengan budaya-budaya sebelumnya. Budaya masyarakat Indonesia yang gemar sekali berkumpul akan dibenturkan dengan budaya new normal yang memberikan jarak pada interaksi sosial. Budaya bersalaman tidak diperbolehkan selama adanya pandemi. Artinya budaya kolektif masyarakat lndonesia sementara waktu akan tergantikan dengan budaya invidual.
Substansi adanya perubahan budaya ini adalah bagaimana setelah pandemi aktvitas budaya masyarakat Indonesia dapat kembali lagi. Hal ini akan menjadi parameter seberapa kuatkah budaya Indonesia bertahan.