Kamis, April 25, 2024

Elegi Pendidikan Tinggi

Novita Puspasari
Novita Puspasari
Lecturer at Universitas Jenderal Soedirman. Researcher at Kopkun Institute. Erasmus University Rotterdam alumni

Pada tahun 2020-2030 jumlah usia produktif di Indonesia mencapai 70 persen dari total seluruh penduduk. Kondisi ini sering dianggap sebagai bonus demografi. Bonus demografi di satu sisi dapat menjadi peluang jika sumberdaya manusianya berkualitas, namun jika tidak berkualitas, usia produktif ini hanya akan menjadi sumberdaya mubah (waste resources) yang membebani negara.

Di sini peran pendidikan tinggi (Higher Education) sangat penting dalam mempersiapkan sumberdaya. Namun tampaknya, pendidikan tinggi di Indonesia masih ngos-ngosan bergelut dengan segala permasalahannya sendiri. Alih-alih siap berlari di era knowledge economy, pendidikan tinggi disini baru bersiap mengambil ancang-ancang.

Pendidikan tinggi kini

Permasalahan abadi di pendidikan adalah tarik-menarik apakah pendidikan berada di area publik atau private. Steward Riddle, dosen dan pemerhati pendidikan dari Universitas of Southern Queensland menyatakan bahwa pendidikan adalah barang publik karena dampak sosio-ekonominya yang sedemikian luas. Baik UNESCO maupun OECD juga menyatakan bahwa pendidikan idealnya adalah barang publik yang tidak dijadikan komoditas ekonomi.

Apa mau dikata, banyak negara yang tidak bisa membiayai pendidikan warganya. Sehingga, dianggap perlu win-win solution antara negara dan masyarakat agar pendidikan tetap berkualitas dan terjangkau, yaitu dengan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang kuasi publik (quasi public/club goods).

Riddle mencoba membandingkan pendidikan di beberapa negara dimana pendidikan dianggap sebagai barang publik (negara-negara Skandinavia) dan barang kuasi publik (Australia dan AS), namun belum dapat menemukan bukti empiris mana yang lebih baik. Di Indonesia, sektor pendidikan tinggi seperti juga rumah sakit, berada di area kuasi publik. Dampaknya, pendidikan tinggi dicap mahal, didemo menahun.

Masalah kedua adalah gap antara pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Pendidikan tinggi dianggap tidak mampu memasok skilled labour. Kurikulumnya dianggap tidak mampu mengimbangi kedinamisan dunia di luar menara gading, sehingga, lulusannya menjadi gagap setelah terjun langsung ke dunia nyata. Lainnya, mengenai kebermanfaatan pendidikan tinggi bagi masyarakat.

Hasil kajian dan penelitian dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia masih belum berdampak nyata. Hal ini diakui oleh Prof. Jogiyanto Hartono, Koordinator Program Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam Temu Alumni yang diselenggarakan UGM dua tahun lalu, ia menyatakan rasa “bersalah” nya karena UGM menciptakan banyak lulusan yang pintar secara akademis namun tidak memberikan dampak nyata untuk masyarakat.

Didorong kegelisahan tersebut, maka dalam misinya, UGM selalu menekankan frasa “berakar lokal” (locally rooted) meskipun berjejaring secara internasional. Bahkan, dalam nilai-nilai etisnya, UGM secara tegas menyebutkan salah satu nilai etisnya yaitu social concern. Hal ini menandakan komitmen dan kesungguhan untuk berpartisipasi dan terlibat secara aktif dalam penanganan dan pemecahan berbagai masalah sosial di masyarakat.

Langkah yang perlu diikuti oleh perguruan tinggi lain sebagai salah satu cara untuk mempersempit gap antara kampus dengan dunia nyata agar dampak dari kehadiran pendidikan tinggi dapat lebih dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Masalah selanjutnya adalah padatnya tuntutan akademik dan administrasi di pendidikan tinggi, terutama bagi pengajar atau dosen. Tidak seperti yang diungkapkan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir yang menanggap bahwa masalah utama dosen adalah perihal homebase, senyatanya masalah utama dosen adalah bergelut dengan segala macam masalah administrasi dan sistem yang tumpang tindih tidak terintegrasi.

Alih-alih memiliki daya untuk mencipta dan menjadi inventor, kreator, dan inovator dalam bidangnya, tuntutan ini dan itu membuat banyak pengajar resisten terhadap berbagai kebijakan. Dampaknya, sangat sulit memulai perubahan dari kampus. Slogan agent of change yang bermula dan disematkan pada kampus hanyalah semata slogan peninggalan purbakala. Kenyataannya? Lingkungan yang berubah, pendidikan tinggi tergopoh-gopoh menyesuaikan.

Ab Esse Ad Posse, dari ada menjadi bermanfaat

Tidak cukup sehari semalam mengurai permasalahan pada pendidikan tinggi di Indonesia. Pun sangat tidak elegan menuding jari mencari siapa yang paling bersalah. Konon Tan Malaka pernah berujar bahwa pendidikan itu sejatinya untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.

Perlu direfleksikan sudahkah pendidikan tinggi mengantarkan mahasiswanya menjadi cerdas, berkarakter sekaligus berempati? Ada salah satu semboyan latin yang terkenal, Ab Esse Ad Posse, yang artinya dari ada menjadi pengetahuan.

Dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia, semboyan latin itu mungkin sedikit berubah makna, dari ada menjadi bermanfaat. Kita sudah memiliki ribuan pendidikan tinggi saat ini, saatnya menebar lebih banyak manfaat bagi masyarakat. Bukankah sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat?.

Novita Puspasari
Novita Puspasari
Lecturer at Universitas Jenderal Soedirman. Researcher at Kopkun Institute. Erasmus University Rotterdam alumni
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.