Penegakan hukum di Indonesia kembali mendapat sorotan tajam akibat dugaan ketidakadilan dalam proses hukum terhadap sejumlah tokoh politik dan pejabat negara. Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menghadapi ujian kredibilitas, khususnya dalam proses ekstradisi Paulus Tannos alias Thian Po Tjin dari Singapura dalam kasus korupsi e-KTP.
Kasus e-KTP ini mengingatkan publik pada penegakan hukum yang pernah melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, serta mantan Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto. Sayangnya, meskipun beberapa tokoh besar telah ditindak, publik masih melihat adanya ketimpangan dalam perlakuan hukum terhadap kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit politik tertentu.
Proses pemulangan Paulus Tannos menjadi salah satu indikator masih lemahnya koordinasi antara lembaga penegak hukum Indonesia dan otoritas asing. Sejak ditangkap oleh otoritas hukum Singapura pada 17 Januari 2025, proses ekstradisinya masih berliku akibat sejumlah kendala administratif dan hukum. KPK meski telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum, Kejaksaan, dan Kepolisian, belum tuntas dalam memenuhi syarat-syarat yang diminta oleh Singapura dalam jangka waktu yang cepat.
Persyaratan administrasi ekstradisi tersebut setidaknya mencakup kebutuhan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) akibat paspor Tannos yang telah kedaluwarsa serta statusnya yang memiliki paspor negara lain. Selain itu, otorisasi dari pengadilan Singapura diperlukan guna memastikan validitas hukum ekstradisi. Publik lantas membandingkan lambannya proses ekstradisi Tannos dengan kasus penangkapan dan pemulangan buronan sebelumnya, seperti Nazaruddin yang ditangkap di Cartagena, Kolombia. Meskipun Nazaruddin telah menjalani hukuman, banyak informasi yang dimiliki terkait jaringan korupsi politik tidak pernah benar-benar terungkap oleh aparat penegak hukum.
Potensi tebang pilih dalam penegakan hukum semakin mencuat dengan penangkapan sejumlah tokoh politik di luar pemerintahan. Eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong ditahan atas dugaan kebijakan impor gula yang merugikan negara. Sementara Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, ditangkap dalam kasus dugaan suap penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR yang masih menyisakan buronan utama, Harun Masiku. Hevearita Gunaryanti Rahayu selaku mantan Wali Kota Semarang beserta suaminya yang merupakan kader PDIP, ditahan dalam sejumlah kasus korupsi di Kota Semarang. Penangkapan para tokoh di luar pemerintahan menimbulkan spekulasi publik adanya selektivitas dalam penindakan hukum, atau penegakan hukum berdasarkan pada kebencian.
Penangkapan beberapa kader PDIP menimbulkan dugaan adanya motif politik di balik proses hukum yang dijalankan KPK dan Kejaksaan Agung. Sementara tokoh-tokoh dari partai tertentu diproses dengan lambat bahkan terkesan berhenti. Fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan importasi gula misalnya, pernah melibatkan keterkaitan nama petinggi partai seperti Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan. Polemik kasus pagar laut di Tangerang dan Bekasi yang sangat jelas adanya indikasi pidana sebagaimana dinyatakan oleh perwakilan Ombudsman Banten, seolah-olah berhenti tanpa kejelasan tanggung jawab pidana.
Keadaan ini tentu berdampak pada kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Masyarakat semakin skeptis terhadap independensi KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, terlebih dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto yang baru berjalan. Publik menuntut adanya keseriusan dalam pemberantasan korupsi tanpa diskriminasi terhadap afiliasi politik, mengingat upaya reformasi hukum hanya akan berhasil jika dijalankan secara adil dan transparan. KPK dan Kejaksaan Agung tidak bisa hanya berpatokan pada penindakan hukum terhadap individu-individu tertentu tanpa membongkar jejaring korupsi yang lebih luas.
Pemulangan Tannos seharusnya menjadi momentum untuk membuka kembali kasus e-KTP secara menyeluruh, termasuk mengusut keterlibatan pihak-pihak lain yang mungkin selama ini luput dari perhatian. Sayangnya, pengalaman menunjukkan bahwa meskipun seorang tersangka utama berhasil ditangkap, belum tentu kasus besar yang melibatkan banyak pihak bisa benar-benar dituntaskan.
Efektivitas ekstradisi koruptor dalam konteks penegakan hukum di Indonesia sangat bergantung pada kerja sama bilateral yang kuat dengan negara-negara tujuan pelarian buronan. Mutual Legal Assistance (MLA) menjadi instrumen kunci dalam memastikan proses ekstradisi berjalan lancar dan tidak tersendat oleh hambatan administratif. Sayangnya, perbedaan sistem hukum dan kepentingan politik seringkali menjadi penghalang dalam upaya pemulangan tersangka korupsi, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Paulus Tannos.
Selain sebagai alat penegakan hukum, ekstradisi juga harus berorientasi pada pemulihan kerugian negara. Banyak kasus korupsi besar yang melibatkan aset di luar negeri, sehingga kerja sama bilateral dalam bentuk MLA harus diperluas ke aspek pengembalian aset hasil kejahatan. Tanpa adanya mekanisme yang jelas dalam pengelolaan aset yang disita, ekstradisi hanya akan berakhir pada penahanan individu tanpa memberikan dampak signifikan terhadap keuangan negara.
Ketidakseragaman dalam penegakan hukum juga mencerminkan lemahnya tata kelola administrasi hukum di Indonesia. Proses hukum yang berjalan lamban dan seringkali tersendat karena urusan administratif, menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di sektor hukum masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika permasalahan seperti ini terus berlanjut maka upaya memberantas korupsi akan selalu terkendala oleh prosedur-prosedur yang tidak efisien dan mudah dimanipulasi.
Sebagai negara yang ingin menegakkan prinsip-prinsip good governance, Indonesia harus memastikan bahwa hukum berjalan secara independen dan tidak dipengaruhi oleh tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu. Transparansi dalam proses hukum harus diperkuat agar publik dapat menilai sendiri apakah penegakan hukum benar-benar dijalankan dengan adil atau hanya menjadi alat politik belaka.
KPK dan Kejaksaan Agung harus mampu menunjukkan bahwa langkah yang dilakukan tidak hanya mengejar kasus-kasus yang mudah ditindak. Akan tetapi, perlu menunjukkan keberanian dalam menyentuh kepentingan besar yang selama ini menjadi momok dalam pemberantasan korupsi. Keberhasilan dalam menangani kasus-kasus besar tidak hanya dilihat dari jumlah tersangka yang ditahan, tetapi juga dari sejauhmana mereka mampu menutup celah sistemik yang memungkinkan korupsi terus terjadi.
Oleh karena itu, Indonesia perlu memperkuat strategi hukum internasionalnya agar setiap buronan yang berhasil diekstradisi tidak hanya sekadar menghadapi proses hukum, tetapi juga berkontribusi pada pemulihan aset negara yang hilang akibat korupsi. Dengan pendekatan ini, penegakan hukum akan memiliki dampak lebih besar dalam memulihkan kepercayaan publik dan memperbaiki sistem yang selama ini menjadi ladang subur bagi korupsi.