Selasa, Oktober 8, 2024

Ekosistem Ketakutan Covid-19

Irfan Suparman
Irfan Suparman
Seorang pemikir yang menyukai seni, politik, hukum, kajian sains dan kajian sosial

Siapa yang tidak kaget ketika merasakan gempa bumi di bawah saung yang reyot. Waktu itu terjadi gempa pada pertengahan tahun 2019, titik gempa berpusat di Ujung Kulon. Lumayan besar getarannya namun tidak terjadi Tsunami.

Saya diceritakan oleh teman saya yang kebetulan ia asli orang Ujung Kulon. Dia bercerita tentang ketakutan warga pesisir ketika getaran tiba warga langsung mengevakuasi diri ke dataran yang lebih tinggi. Itu semua karena mereka sudah merasakan tsunami yang disebabkan oleh longsornya permukaan Gunung Anak Karakatau.

Jadi mereka sangat ketakutan akan tsunami besar kembali lagi menimpa mereka. Masalahnya pada abad ke-19 Gunung Karakatau  pernah erupsi besar sampai menyebabkan Tsunami besar. Desas-desus pun muncul menemani ketakutan mereka akan gelombang besar itu.

Berbagai macam ketakutan dirasakan umat manusia termasuk saya ketika kecil. Saya menduga bahwa semua anak kecil merasakan takut kalau ditinggalkan kedua orang tua.

Waktu itu saya ditinggalkan disebuah sawah yang kering dan ibu saya menyerukan untuk saya menunggu sebentar. Hanya selang beberapa menit, ketakutan itu menguasai seluruh tubuh saya dan meneriakan kata “Mama!” itulah sebutan untuk ibu saya. Tidak lama ibu saya datang dan berkata “Baru ditinggal sebentar udah nyariin”.

Dari sini saya mempelajari bahwa ketakutan bisa dirasakan ketika mempunyai perasaan untuk memiliki. Disana saya merasakan memiliki peran penyayang dalam diri seorang Ibu.

Baru-baru ini dunia dilanda ketakutan yang begitu besar. Yaitu ketakutan terhadap mikroorganisme bernama Corona Virus Disease. Virus yang muncul dan menyebar secara besar ini pertama kali di China tahun 2019.

Sampai pada bulan Maret 2020 Presiden Indonesia menyatakan warganya positif Corona. Sampai pada hari ini sudah mencapai ribuan korban karena Covid-19. Ketakuan baru muncul, bayangan-bayangan kegagalan modernitas muncul. Gagasan Herd Immunity hadir membeberkan kegelisahannya. Media mencetak dan menggiring opini publik kearah paranoid masal.

Dalam analisa saya, banyak orang cenderung ketakutan mendengar suara orang batuk dit tempat umum. Ini saya buktikan dengan pura-pura batuk di gerai ATM kampus saya. Orang-orang yang berada di gerai tersebut langsung melirik saya. Perbuatan ini jangan ditiru ya, saya hanya sedang research mengenai ketakutan.

Dari kejadian tersebut ketakutan muncul dari proses imajinasi atas elekrokimiawi eksternal bersumber dari media. Banyak sekali orang menimbun barang-barang karena takut terjadi kealangkaan. Ini semua dijelaskan secara ekonomi dan politik. Ketakutan itu pula muncul karena tekanan ekonomi dan politik.

Seseorang takut ekonominya berantakan dan masyarakat takut akibat kebijakan-kebijakan yang tidak konsisten dari Pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19. Sehingga menimbulkan kecurigaan publik terhadap pemerintah.

Ketakutan yang dialami oleh masyarakat karena situasi pandemi dekat sekali dirasakan oleh orang-orang terdekat seperti Bapak saya yang melarang Ibu saya berpergian tanpa menggunakan masker. Padahal masker yang tersedia hanyalah masker kain yang dicuci 2 hari sekali.

Ketakutan itu menjadi wabah baru yang menjangkiti psikis saya dan mungkin semua orag yang melakukan self-quarantine. Dalam masa ini orang-orang dituntut untuk di rumah. Melihat perdebatan Ayah dan Ibu, Kakak dan Adik, Ayah dan Anaknya atai Ibu dan Anaknya sama sekali tidak mendapatkan perhatian yang baik dari pemerintah.

Pemerintah sama sekali tidak memandang kasus pandemi ini dari sudut pandang psikologi, Pemerintah terlalu tendensius pada sektor ekonomi terus. Mulai dari pemberian kuota internet untuk pelajar, listrik gratis dan potongan harga untuk watt tertentu sampai menambah jumlah uang tanggungan untuk orang yang tidak bekerja.

Dampak positifnya rakyat bisa mendapatkan listrik dan biaya pendidikan gratis namun apakah pemerintah akan menjamin biaya kebutuhan pokok bisa tidak naik disaat ramadhan nanti. Sudah suatu kewajiban negara menjamin kebutuhan pokok rakyatnya. Dampak negatifnya adalah negara akan kekurangan anggaran dan akan meminjam lagi demi memoles anggaran yang telah keluar alhasil ketakutan lagi yang muncul setelah pandemi ini berakhir di Indonesia.

Seiring tidak memperhatikan kondisi jiwa masyarakat, berikut ada beberapa saran dan tips yang mampu negara berikan untuk rakyatnya. Pertama boikot semua iklan produk kapitalisme yang memanfaatkan Covid-19 ini untuk mempromosikan produknya. Kurangi pemberitaan yang menakutkan dan berikan data yang sesungguhnya agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap perkembangan Covid-19.

Sudah saatnya masyarakat tidak peduli terhadap perang politik Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI dan saatnya menuntut pemerintah memberlakukan Lockdown nasional. Menteri yang memberikan pernyataan tidak pantas atau lelucon dalam keadaan Covid-19 lebih baik fokus pada pemutusan mata rantai Covid-19. DPR jangan buat kepanikan atas RKUHP dan OMNIBUS LAW. Media Televisi sudah seharusnya memberikan sajian yang membentuk keintiman keluarga, karena hampir seluruh rumah memiliki Televisi.

Ketakutan manusia tidak akan pernah selesai, manusia akan terus membuat peradaban baru dan semakin maju peradaban itu ketakutan akan kehancuran duniawi akan terus muncul menghiasi histori ketakutan umat manusia. Ketakutan akan kepunahan Homo Sapiens mennjadi pergunjingan serius dimata para pengamat.

Semuanya hampir disebabkan karena permasalaan lingkungan. Seharusnya kita menyadari, bahwa alam ini sudah saatnya berhenti untuk di eksploitasi menjadi objek sebuah perkembangan zaman dan modernisme. Manusia boleh bangga dengan Revolusi Industri 4.0, tapi manusia tidak boleh lupa dengan data dan sibernetik organisme yang kian hari kian berkembang.

Lantas dimasa depan akan kah kita temui cara berpolitik dengan mengatas namakan Tuhan. Mungkin akan lebih sering mengatasnamakan manusia. Tidak ada yang tahu, lihat saja nanti.

Irfan Suparman
Irfan Suparman
Seorang pemikir yang menyukai seni, politik, hukum, kajian sains dan kajian sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.