Sabtu, Oktober 5, 2024

Ekonomi, Kearifan, dan Perdamaian

Azhar Syahida
Azhar Syahida
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Mungkinkah perdamaian dirajut dari kemakmuran? Bisakah pendapatan yang tinggi memicu perdamaian? Tentu jawabannya relatif. Tak selamanya kemakmuran mendorong perdamaian, dan begitu sebaliknya. Artinya, tak selamanya ekonomi berkelindan dengan perdamaian (peace).

Perdamaian, bahkan di beberapa sisi sering dirusak oleh pendulum ekonomi. Ketimpangan, kemiskinan, dan kecurangan pasar misalnya. Semuanya bercampur, berdifusi menjadi satu. Maka di sinilah letak bahaya narasi ekonomi bagi perdamaian. Mengobrak-ngabrik sisi kebahagiaan.

Anda mungkin masih ingat betul, peristiwa November tahun 1811, tepatnya di London. Waktu itu sekelompok pekerja yang menamai diri “The Luddites”, mengobrak-ngabrik mesin penenun kain. Mereka adalah para pekerja pabrik tenun kain yang kecewa, takut, dan gusar. Merasa dirugikan dengan penemuan mesin tenun. Dianggap mengancap pendapatan. Dan akhirnya, terjadilah pemberontakan di jalanan.

Di Indonesia, masih ingat kasus perseteruan antara transportasi online dan transportasi konvensional di Kota Tangerang beberapa waktu lalu? Kejadian yang menimbulkan korban jiwa tersebut, sampai-sampai merembet ke pelbagai kota di Indonesia. Aksi mogok sopir transportasi kovensional dan persekusi pada para driver transportasi online, menjadi pemandangan khas. Kedua ini, adalah contoh sederhana ekonomi merusak perdamaian dan harmoni.

Data ketimpangan pun tiada asa untuk turun. Jumlah harta 4 orang terkaya di Indonesia, sama halnya dengan 100 juta rakyat termiskin (Oxfam, 2016). Berkelindan dengan indeks ketimpangan yang tetap bertengger diangka 0,394 (BPS, 2016). Makanya tak salah bila angka kejahatan di Indonesia selalu meningkat.

Gejala-gejala itu sebetulnya telah dijelaskan oleh Schumpeter, dengan apa yang ia disebut sebagai “creative destruction”. Suatu kemapanan pasti dikalahkan oleh inovasi baru, dalam hal ini adalah teknologi. Demi melihat itu, maka disinilah saat yang tepat bagi ekonomi politik mengambil langkah pendamaian melalui regulasi yang adil.

Tidak bisa dipungkiri, sejak terbitnya buku “The wealth of Nations” karangan Adam Smith (1776), banyak kalangan semakin yakin dengan kebebasan individu. Liberalisasi terjadi di segala sektor. Pelaku ekonomi tak terkontrol. Tuan tanah, pemilik modal, pekerja, dan kelasi rendahan, semuanya harus bertarung dalam satu arena: yang disebut “Pasar”.

Pemenangnya jelas, para borjuisa yang punya modal dan relasi kuat dengan penguasa. Alhasil, terjadilah ketimpangan besar-besaran. Kejadian ini, oleh David Ricardo dikritik sebagai satu akses yang mendorong terjadinya pemiskinan. Tenaga kerja menjadi pihak yang paling tertekan. Kritik David Ricardo itu, kemudian dilanjutkan oleh pengagumnya, tokoh klasik yang berselingkuh dengan sosialis: John Stuart Mill.

Kritik terus bergulir, hingga sampai pada tokoh fenomel, dua sejoli, Fredrich Engels dan Karl Marx. Keduanya menjadi sumbu utama pengkritik kapitalis industrial, garapan Adam Smith, yang dianggap merusak tatanan ekonomi kelas bawah; proletar.

Namun begitu, sepanjang pagelaran sejarah ekonomi dunia. Semuanya hanya memakai satu asumsi kunci: peminggiran moral-sosial. Bertumpu pada efisiensi dan utilitas (kepuasan). Sampai-sampai agama menjadi soal kesekian bila berbicara tentang ekonomi.

Bahkan, seorang Marx menyatakan dengan tegas bahwa “materialisme” adalah segala-galanya, dan Tuhan telah tiada.

Begitu pun Adam Smith, tak pernah mempertimbangkan keberagaman perilaku manusia. Dalam teorinya, ia mengasumsikan semua manusia bermoral dan homogen, termasuk pasarnya, persaingan sempurna. Tapi itu hanya pikiran utopis. Alih-alih mengkritik perkawinan pengusaha dan penguasa di zaman merkantilisme, malah berbalik memicu ceruk ketimpangan besar.

Sekali lagi, semuanya sama, hanya bertolak dari efisiensi dan keserakahan (utilitarianisme). Irosnisnya, filsafat ekonomi demikianlah yang menyebar ke seantero persada dunia. Hingga akhirnya kita kenal dengan sebutan Ilmu Ekonomi. Dipelajari di berbagai universitas di dunia, termasuk Indonesia.

Kearifan sebagai Jembatan Perdamaian

Namun belakangan, rupanya segelintir ekonom mulai bangun dan sadar, bahwa meyakini utilitarianisme, eksplotasi, dan liberasilisasi tanpa batas adalah kekeliruan besar. Ekonomi, dalam hal ini kemakmuran materiil, semestinya mendorong perdamaian. Bukan malah memicu persekusi.

Nilai-nilai moral harus hadir dalam setiap nafas ekonomi. Bagaimanapun caranya. Seorang ekonom Prancis, E.F Schumacher (1979), mengingatkan kita, “Manusia jangan hendaknya hidup dari nasi semata, tetapi juga dari setiap sabda ilahi”. Pesan Schumacher itu, bermaksud mengingatkan, bahwa nilai-nilai agama semestinya melekat dalam aktivitas ekonomi.

Dalam artian, kearifan, kebaikan, dan kebersahajaan sebagai komponen universal menjadi kontrol atas pelaku ekonomi. Kearifan, kebaikan, dan kebersahajaan menjadi pengatur niat produksi. Sehingga pasar, tak lagi sentimentil. Sebaliknya kepercayaan (trust) tumbuh subur bak jamur di musim penghujan.

Alam, manusia, dan Tuhan menjadi tiga komponen fundamental ekonomi yang berkelindan menjadi satu. Pelaku bisnis menjaga kelestarian alam, mengedepankan karakteristik lokal, dan nilai-nilai ketuhanan menjadi sumber semangat universal. Menjadi landasan keberlanjutan ekonomi.

Maka jika begitu, manusia tak lagi menganggap alam sebagai objek yang dapat dihajar dan dieksploitasi. Sebaliknya alam sebagai sumberdaya yang patut dijaga, karena merupakan pemberian Tuhan.

Dawam Rahadjo (2015), menyebut kegiatan ekonomi yang demikian sebagai ilmu perdamaian dan pemecah konflik (peace and conflict resolution science). Artinya, kegiatan ekonomi tak lagi bebas nilai (value free) sebagaimana yang diyakini ekonom klasik, melainkan aksioma yang mengandung nilai-nilai perdamaian. Dan inilah yang sedang digarap oleh ekonomi Budhisme dan Ekonomi Islam. Memainkan “Ruh” agama dalam berekonomi.

Implikasinya tentu sangat besar. Inovasi, yang merupakan “Ruh” kegiatan ekonomi, tak akan lagi memicu konflik selaiknya transportasi online dan konvensional beberapa saat lalu. Para pelaku ekonomi akan saling sadar, dan berlomba-lomba untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam berinovasi.

Pasar tak akan jemu karena banyak barang baru. Ekonomi akan berjalan bahagia. Konsumen juga dimanjakan dengan rentetan komoditas baru. Ceruk-ceruk ekonomi baru pun akan terbangun dengan mandiri. Ketimpangan tiada lagi, kemiskinan tak tahu lagi kemana. Yang jelas, ekonomi sukses jadi sumber perdamaian.

Namun begitu, bukan hal yang mudah untuk berharap kesana. Kunci utamanya adalah “kearifan”. Jika Schumacher (1979) menyebut kearifan sebagai kelestarian. Maka kuncinya adalah pemahaman tentang penting keberlanjutan ekonomi.

Memahami betul, tentang pentingnya konsep barang pertama (alam) yang merupakan pemberian Tuhan. Ihwal yang wajib dijaga, dilindungi, dan tidak dieksploitasi. Satu pohon memiliki jutaan oksigen. Penebangan satu pohon, berarti siap mengganti harga oksigen terhitung. Ini adalah satu wujud kearifan.

Akhirnya, mari berdamai dalam ekonomi. Berdamai melalui kearifan, demi kemakmuran yang berkeadilan.

Azhar Syahida
Azhar Syahida
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Malang Raya, Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.