Transformasi ekonomi digital Indonesia pasca pandemi telah membuka peluang besar, namun juga menghadirkan tantangan serius yang perlu segera diatasi. Indonesia tengah berada di persimpangan jalan ekonomi digital yang menentukan. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi digital yang mencapai 40% selama periode 2019-2022 menurut laporan Google-Temasek-Bain menunjukkan potensi luar biasa. Di sisi lain, transformasi ini menciptakan kesenjangan baru yang mengancam stabilitas sosial ekonomi bangsa.
Momentum yang Tak Boleh Terlewat
Pandemi COVID-19 telah mempercepat adopsi teknologi digital di Indonesia dalam skala yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dari nenek-nenek di pasar tradisional yang mulai menggunakan QRIS, hingga UMKM di pelosok desa yang memanfaatkan platform e-commerce, transformasi ini nyata terjadi di seluruh lapisan masyarakat.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 215 juta orang pada 2023, dengan nilai transaksi e-commerce yang melonjak 300% dibanding era pra-pandemi. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan perubahan fundamental dalam perilaku ekonomi masyarakat Indonesia.
Sektor fintech menjadi tulang punggung transformasi ini. Kehadiran super app seperti Gojek, Grab, dan Shopee tidak hanya mengubah cara kita bertransaksi, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi baru yang melibatkan jutaan mitra driver, pedagang online, dan penyedia jasa digital lainnya.
Bayang-bayang Ketimpangan Digital
Namun, euforia ekonomi digital ini menyimpan risiko serius. Ketimpangan digital atau “digital divide” semakin menganga antara mereka yang memiliki akses teknologi dengan yang tidak. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2023 menunjukkan bahwa penetrasi internet di Jakarta mencapai 95%, sementara di wilayah Indonesia Timur baru mencapai 60%.
Ketimpangan ini tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga kemampuan literasi digital. Banyak pelaku UMKM yang terpaksa bergantung pada platform digital tanpa memahami sepenuhnya mekanisme algoritma, strategi pemasaran digital, atau manajemen data pelanggan. Akibatnya, mereka hanya menjadi “pengguna pasif” yang rentan terhadap perubahan kebijakan platform.
Lebih mengkhawatirkan lagi, dominasi platform digital asing mulai menciptakan ketergantungan ekonomi baru. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 70% transaksi e-commerce Indonesia masih dikuasai oleh platform asing atau platform lokal dengan kepemilikan asing mayoritas. Ini berarti sebagian besar data ekonomi dan keuntungan mengalir keluar negeri.
Jalan Tengah: Kedaulatan Digital dengan Inklusivitas
Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan transformasi digital tidak hanya menguntungkan segelintir pemain besar. Pertama, percepatan pembangunan infrastruktur digital yang merata, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Program Palapa Ring yang telah dimulai perlu diperkuat dengan insentif bagi operator untuk menjangkau daerah dengan tingkat keuntungan rendah.
Kedua, penguatan literasi digital melalui program pelatihan masif bagi UMKM dan masyarakat umum. Program “1000 Startup Digital” yang diluncurkan pemerintah perlu diperluas menjadi program literasi digital untuk jutaan UMKM yang sudah ada.
Ketiga, pengembangan platform digital nasional yang dapat bersaing dengan pemain asing. Bukan dengan proteksionisme sempit, melainkan dengan menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi lokal. Keberhasilan Bukalapak dan Tokopedia sebagai unicorn lokal membuktikan bahwa Indonesia mampu menghasilkan platform digital berkelas dunia.
Regulasi yang Adaptif, Bukan Reaktif
Aspek regulasi menjadi kunci keberhasilan ekonomi digital Indonesia. Regulasi yang terlalu ketat akan menghambat inovasi, sementara regulasi yang terlalu longgar akan menciptakan praktik monopoli dan eksploitasi data. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan “regulatory sandbox” yang memungkinkan inovasi berkembang dalam kerangka pengawasan yang fleksibel.
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang baru disahkan merupakan langkah positif, namun implementasinya harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum. Tanpa ini, regulasi hanya akan menjadi “macan ompong” yang tidak efektif melindungi kepentingan konsumen dan pelaku usaha kecil.
Masa Depan yang Harus Kita Pilih
Indonesia berada di titik kritis transformasi ekonomi digital. Pilihan yang kita ambil hari ini akan menentukan apakah Indonesia menjadi pemain utama dalam ekonomi digital global atau sekadar menjadi pasar bagi produk digital negara lain.
Transformasi ekonomi digital bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai kesejahteraan yang lebih merata. Jika kita berhasil mengelola transformasi ini dengan bijak, Indonesia berpotensi menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2030.
Namun jika kita gagal mengatasi ketimpangan digital dan ketergantungan pada platform asing, transformasi ini justru akan memperdalam kesenjangan sosial ekonomi. Saatnya semua pihak – pemerintah, swasta, dan masyarakat – bersinergi untuk memastikan ekonomi digital Indonesia tumbuh secara inklusif dan berkelanjutan.
Masa depan ekonomi Indonesia ada di ujung jari kita. Pertanyaannya: akankah kita menggunakan jari-jari itu untuk membangun atau sekadar menjadi penonton transformasi yang menentukan nasib bangsa?