Senin, November 17, 2025

Ekologi yang Terluka, Peradaban yang Terancam

Hari Sucahyo
Hari Sucahyo
S1 Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
- Advertisement -

Hari Ekologi Sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 November, kembali mengetuk kesadaran manusia di seluruh penjuru bumi. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan yang diisi dengan kegiatan simbolik menanam pohon atau membersihkan sampah di pantai.

Lebih dari itu, ia adalah seruan moral global untuk meninjau ulang hubungan antara manusia dan alam, hubungan yang kini kian renggang, bahkan di ambang kehancuran. Dunia modern yang dibanggakan dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi justru telah membawa manusia menjauh dari akar ekologisnya. Alam, yang seharusnya menjadi rumah dan sahabat, kini diperlakukan sebagai ladang eksploitasi tanpa batas.

Kita hidup di era di mana kenyamanan dan efisiensi sering kali mengorbankan keberlanjutan. Udara kota dipenuhi polusi, hutan tropis ditebang demi sawit dan tambang, laut dijejali plastik, sementara iklim global bergejolak akibat kerakusan manusia yang tak pernah kenyang. Setiap bencana alam yang terjadi, dari banjir bandang hingga kebakaran hutan yang sejatinya adalah pesan dari bumi, sebuah bahasa alam yang mengingatkan manusia bahwa keseimbangan telah terganggu. Namun sering kali, pesan itu hanya dibalas dengan penyesalan sesaat, bukan perubahan mendasar dalam cara hidup dan berpikir.

Hari Ekologi Sedunia hadir untuk membangunkan kesadaran kolektif bahwa bumi bukanlah warisan dari leluhur, melainkan titipan bagi generasi mendatang. Kesadaran ekologis bukan perkara pilihan moral yang mewah, melainkan syarat keberlangsungan hidup. Sementara itu, sistem ekonomi global yang berlandaskan pada pertumbuhan tanpa henti justru menjadi mesin penghancur ekologi terbesar. Perekonomian dunia masih mengukur kemajuan dari seberapa besar konsumsi, bukan dari seberapa sehat ekosistem yang menopang kehidupan. Paradigma ini harus berubah.

Kita membutuhkan revolusi nilai, dari logika eksploitasi menuju etika keberlanjutan. Alam bukan sekadar objek ekonomi, tetapi ruang kehidupan yang memiliki hak untuk pulih dan tumbuh. Dalam pandangan reflektif, manusia tidak berdiri di atas alam, melainkan menjadi bagian dari jaring kehidupan yang saling bergantung. Setiap pohon yang tumbang, setiap sungai yang tercemar, setiap spesies yang punah sesungguhnya mencabut sebagian dari eksistensi manusia sendiri. Memulihkan harmoni antara manusia dan alam berarti memulihkan kesadaran akan jati diri kita sebagai makhluk ekologis, bukan makhluk eksploitatif.

Tentu saja, kesadaran tanpa tindakan hanyalah retorika. Seruan global untuk memulihkan bumi harus diikuti dengan langkah konkret di berbagai level. Individu bisa memulai dari hal sederhana: mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, beralih ke transportasi ramah lingkungan, menghemat energi, serta mendukung produk dan gaya hidup yang berkelanjutan. Mungkin tampak kecil, tetapi gerakan semacam ini, jika dilakukan serentak oleh jutaan orang, akan menjadi kekuatan besar yang mampu mengubah arah peradaban.

Pemerintah dan korporasi juga memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar. Mereka tidak bisa lagi berlindung di balik jargon “pembangunan” untuk melanggengkan perusakan alam. Setiap kebijakan publik dan investasi harus tunduk pada prinsip keberlanjutan ekologis. Dunia bisnis mesti meninggalkan model ekonomi linear yang mengambil, menggunakan, lalu membuang  dan beralih ke ekonomi sirkular yang menghargai siklus alam. Energi terbarukan harus menjadi prioritas, bukan pelengkap. Perlindungan hutan dan lautan harus menjadi strategi utama, bukan sekadar agenda simbolik di konferensi internasional.

Di balik tuntutan kebijakan, pemulihan harmoni ekologis sejatinya juga merupakan perjalanan spiritual manusia modern. Banyak tradisi dan agama mengajarkan bahwa alam adalah manifestasi kebijaksanaan Ilahi. Alam tidak pernah berdusta; ia jujur menampakkan akibat dari setiap tindakan manusia. Ketika hutan gundul berubah menjadi banjir, ketika udara sesak oleh polusi, atau ketika laut menolak menampung limbah, sesungguhnya alam sedang menuntut pertanggungjawaban moral manusia. Maka, menjaga alam bukan hanya tindakan ilmiah, tetapi juga spiritual sebagai bentuk syukur dan rasa hormat terhadap kehidupan.

Kearifan lokal bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia memberi pelajaran berharga tentang keselarasan dengan alam. Di Nusantara, filosofi “Tri Hita Karana” dari Bali mengajarkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Di Kalimantan, masyarakat adat menjaga hutan dengan ritual dan pantangan yang mengatur kapan boleh menebang pohon dan kapan harus menanam kembali. Nilai-nilai seperti ini adalah warisan ekologis yang jauh lebih berharga daripada kekayaan materi. Sayangnya, modernitas sering kali menertawakan kearifan tradisional, seolah-olah kemajuan berarti memutus hubungan dengan alam. Padahal, justru di situlah letak kebijaksanaan yang kini kita cari.

Seni, budaya, dan pendidikan juga memiliki peran vital dalam membangun kembali kesadaran ekologis. Lagu-lagu yang mengisahkan alam, film yang mengangkat penderitaan lingkungan, hingga sastra yang menuturkan kisah tentang hutan dan laut, semua itu mampu menggugah nurani lebih kuat daripada angka dan data statistik.

- Advertisement -

Alam bukan hanya objek kajian ilmiah, tetapi sumber inspirasi yang membentuk karakter dan nilai. Dunia pendidikan perlu menanamkan etika ekologis bukan sekadar lewat teori, melainkan lewat pengalaman langsung: anak-anak harus diajak menyentuh tanah, menanam pohon, membersihkan sungai, dan memahami bahwa setiap tindakan kecil memiliki dampak terhadap bumi.

Meski realitas global masih menunjukkan kesenjangan antara kesadaran dan tindakan. Negara-negara maju, yang menjadi penyumbang emisi terbesar, kerap memberi ceramah tentang pelestarian lingkungan kepada negara berkembang, sementara mereka sendiri masih mempertahankan gaya hidup konsumtif.

Di sisi lain, negara-negara berkembang sering kali terjebak dalam dilema antara menjaga alam dan mengejar pertumbuhan ekonomi untuk menekan kemiskinan. Keadilan ekologis harus menjadi prinsip bersama. Dunia tidak bisa memulihkan bumi dengan logika yang sama yang telah menghancurkannya. Perubahan harus dimulai dari keberanian moral untuk menempatkan bumi dan kehidupan di atas kepentingan politik jangka pendek.

Bumi mungkin masih memberi kesempatan, tetapi waktu kita tidak panjang. Setiap hari yang berlalu tanpa tindakan adalah langkah kecil menuju kehancuran ekosistem. Sebaliknya, setiap langkah kecil menuju perubahan, baik dengan menanam, menghemat, mendaur ulang, menghormati alam, adalah bentuk cinta yang menyalakan harapan.

Maka, di Hari Ekologi Sedunia ini, marilah kita berhenti sejenak, menatap langit, mendengarkan desir angin, dan berjanji dalam hati: kita akan hidup lebih selaras, lebih bijak, dan lebih bersyukur kepada bumi yang telah memberi segalanya. Karena hanya dengan memulihkan harmoni antara manusia dan alam, kita dapat memastikan masa depan yang layak bagi semua kehidupan di planet ini.

Hari Sucahyo
Hari Sucahyo
S1 Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.