Kamis, April 25, 2024

Ejekan Evolusi Bukan Soal Personal Lagi

Fikry Ainul Bachtar
Fikry Ainul Bachtar
Mahasiswa Sejarah Unpad. Suka kucing. Hobi nonton film.

Saya kerap menemukan tulisan-tulisan unik di tiap lembar uang yang saya terima. Sering saya temukan nomor hp atau kontak aplikasi chatting disertai guyonan-guyonan mesum dan anekdot singkat soal susahnya hidup. Tak ubahnya dengan bak mobil truk jalur Pantura dan dinding WC umum, uang kertas menjadi media penyalur keluh kesah dan pemikiran orang-orang agar dibaca publik.

Dari semua pesan yang tertulis, satu yang cukup menempel di benak saya adalah yang saya temukan dalam selembar uang pecahan sepuluh ribu. Goresan pulpen dengan kata “monyet” menutupi sebagian wajah Frans Kaisiepo—pahlawan nasional asal Papua. Lantaran “unik”, selembar uang tersebut sempat saya simpan cukup lama walau akhirnya ditukar untuk kebutuhan makan di perantauan.

Tulisan dalam selembar uang itu mengingatkan saya pada kejadian bertahun lalu tatkala desain uang teranyar diumumkan oleh pemerintah. Kontroversi mengiringi penerbitan desain ini karena wajah Kaisiepo yang tak begitu dikenal awam tercetak dalam lembar sepuluh ribuan. Komentar dari kader partai berbasis agama memicu serangkaian ledekan rasis terhadap tokoh Papua ini.

Masalah desain uang hanyalah satu dari sekian banyak gambaran penerimaan kita terhadap keberadaan orang-orang Papua di negeri ini. Penyebutan monyet terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan pemain-pemain Persipura di kala menggocek bola adalah contoh lainnya. Proses integrasi bangsa Papua memang sudah bermasalah sejak awal aneksasi di tahun ’60-an.

Penerimaan kita didasari oleh hubungan superior-inferior jika tak mau disebut penjajah ke yang dijajah. Gagasan dari bukunya Edward Said, Orientalisme, agaknya cukup pas menggambarkan kondisi ini. Ada pihak (Barat) yang menganggap diri lebih maju dan berperadaban, merasa punya tanggung jawab untuk mendidik pihak lainnya (Timur) yang dianggap primitif pula barbar.

Pada masa-masa keemasan kolinialisme Barat, orang-orang Eropa menganggap bangsanya sebagai tolak ukur peradaban yang maju. Perlakuan penjajah Belanda terhadap bumiputera didasarkan pada bias pemikiran ini. Tentu saja pandangan tersebut berdampak pula pada dibuatnya kebijakan-kebijakan yang secara langsung menyangkut hajat hidup seluruh penduduk koloni.

Misalnya, pembagian kelas penduduk selain didasarkan pada ras tetapi juga pada anggapan superioritas pemikiran dari orang-orang Eropa. Inlander menjadi warga kelas tiga di bawah warga Timur Asing yang dianggapnya lebih beradab bagi ukuran warga kulit putih.

Dalam konteks masalah Papua, ironisnya Indonesia mewarisi perspektif yang sama dengan mantan penjajahnya. Kita memang tak sampai membikin peraturan yang mengotak-ngotakkan penduduk, tetapi pandangan kolektif kita sebagai masyarakat serta pandangan invidual yang diwakili para pemimpin secara tak langsung justru menunjukkan hal itu.

Pada tahun ’60-an awal, Sukarno mengirim militer ke timur guna “merebut kembali” Irian Barat—sebutan Papua kala itu—ke pangkuan Indonesia. Operasi militer yang dikenal dengan Operasi Trikora ini bermasalah lantaran dalam perspektif Sukarno, wilayah Irian Barat dianggapnya adalah wilayah terbelakang yang hanya dihuni oleh suku-suku primitif. Di luar bahasan ihwal kampanye anti-Nekolimnya Sukarno—yang menganggap Irian Barat hanyalah negara boneka Belanda, secara tak sadar kita telah menganggap orang Papua sebagai pihak yang inferior dan perlu diatur dengan tolak ukur kita agar dianggap beradab.

Dua tahun pasca referendum, harian Sinar Harapan edisi 23 Juni 1971 memuat artikel yang amat menggelikan (setidaknya untuk konteks saat ini) soal urusan beradab-memberadabkan ini: Presiden Intruksikan Koteka Diganti Dengan Kolor dan Sarung. Tulisan tersebut memuat bagaimana proses “pemasyarakatan” penduduk di pedalaman Irian Barat dapat dilakukan lewat penggunaan pakaian.

Soeharto berpendapat bahwa penduduk Irian Barat tidak mengenakan pakaian yang lazimnya dipakai oleh orang Indonesia sampai-sampai secara khusus mengeluarkan Intruksi Presiden buat masalah ini. Dus, tiga kementerian—Perindustrian, Dalam Negeri, dan Keuangan—sampai turun tangan buat menyelesaikan urusan yang amat pelik nan krusial ini.

Gabungan kementerian itu diperintahkan menyediakan kolor dan sarung untuk lebih kurang 500.000 penduduk Irian Barat. Ingat ya ini cuma urusan kain yang nempel di tubuh, lho. Perkara lain macam mengeruk emas dan membabat hutan adat tentu merupakan hal yang lebih lazim.

***

Begitulah, proses aneksasi yang sejak dari pemikiran pun sudah bermasalah menjadi dasar bagaimana masyarakat Papua diperlakukan hingga kini. Papua akan selalu dianggap sebagai liyan karena sejak awal, secara sadar atau tidak, kita telah menganggap diri sebagai yang lebih superior atas mereka. Yang selalu merasa berhak mengatur mana yang baik-mana yang buruk. Hubungan sosial biner Kami dan Mereka akan selalu mengiringi interaksi antara masyarakat Indonesia dengan Papua.

Jargon-jargon persatuan seperti Kita Semua Bersaudara, Papua itu Kita menjadi ungkapan-ungkapan yang tak relevan karena hal itu didasarkan pandangan Jakarta terhadap Papua. Sementara proses integrasi sosial secara horizontal sendiri pun luput diperhatikan.

Lihat saja, memangnya sedekat apa orang-orang Papua dengan kita dalam keseharian? Yang paling kentara tengoklah sekelas Frans Kaisiepo pun tidak akrab dalam narasi sejarah di kurikulum sekolah. Tokoh yang pro-NKRI saja seperti Kaisiepo direspons oleh masyarakat dengan negatif, bagaimana pandangan kita terhadap orang Papua pada umumnya?

Solusi integrasi hanya berkutat pada pengiriman militer dan gelontoran modal. Jika mau dibandingkan, Belanda pun punya perhatian yang sama terhadap pembangunan negeri koloninya tapi toh kita tetap minta merdeka. Penerimaan sebagai manusia seutuhnya malah luput dalam kebijakan yang dibuat pemerintah, siapa pun rezimnya. Secara tak langsung, sejak dulu Indonesia memang telah membuat jarak dengan Papua lewat kebijakan pemerintah.

Pelemahan yang sistematis dan telah berlangsung lama ini telah membentuk ikatan kolektif masyarakat Papua. Sejarah telah menyatukan mereka, tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat bumiputera yang berbagi nasib menjadi warga rendahan di negeri koloni.

Oleh karena itu olok-olok evolusi terhadap Natalius Pigai sudah menjadi masalah kolektif masyarakat Papua bukan lagi masalah individu antara Permadi Arya dengan Pigai. Sehingga kalaupun keduanya telah berdamai, masalah itu akan kekal terwariskan sebagai cerminan umum perlakuan Indonesia terhadap Papua. Tak jauh beda dengan peristiwa-peristiwa rasisme yang ada sebelumnya, seperti kata-kata monyet dalam uang kertas yang saya temukan atau peristiwa asrama mahasiswa di Surabaya.

Ejekan-ejekan ini–kendati dilakukan oleh perorangan–menjadi isu sistemik karena dibuat oleh pihak yang mempunyai otoritas lebih untuk menentukan nasib masyarakat di bumi Cendrawasih. Ditambah penyelesaian yang setengah hati dari pemerintah untuk menyelesaikan daftar kasus-kasus rasisme dan pelanggaran HAM, Papua dan kita makin berjarak saja.

Ada anekdot yang menyebut olok-olok di antara kawan akan menjadi pengikat pertemanan. Tapi, apakah memang kita seakrab itu dengan Papua sebagai teman satu tongkrongan? Saya rasa tidak.

Fikry Ainul Bachtar
Fikry Ainul Bachtar
Mahasiswa Sejarah Unpad. Suka kucing. Hobi nonton film.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.