Kamis, April 25, 2024

Efektifkah Ancaman Pidana di Tengah Wabah?

Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staff Peneliti Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, dan Head of Research and Development Jong Indonesische Progam (JIP)

Upaya penanggulangan dan pencegahan Virus Corona (COVID 19) di Indonesia sejatinya telah dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kurangnya berbagai sumber daya manusia maupun logistik memang menjadi persoalan yang sangat penting untuk segera diselesaikan.

Meski begitu, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi adanya penyebaran yang lebih luas yaitu melalui Physical Distancing sebagai upaya preventif penyebaran Virus Corona. Bentuk lain dari kebijakan tersebut seperti batas jarak aman saat dikeramaian, pengurangan aktivitas di luar ruangan, kerja dari rumah dan larangan berkerumun bagi masyarakat.

Akan tetapi nampaknya memang masih banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa mematuhi kebijakan tersebut secara maksimal. Baik itu karena faktor keharusan untuk beraktivitas di luar ruangan ataupun memang tanpa kepentingan mendesak sekalipun.

Himbauan untuk tidak berkuruman di tempat terbuka, area publik atau lingkungan sendiri. Dianggap oleh banyak pihak sebagai himbauan biasa dan cenderung kurang diperdulikan. Terdapat alasan penyebab masih banyak masyarakat yang masih suka berkerumun diluar, bisa karena bosan di rumah atau sekedar ingin nongkrong semata.

Sehingga dalam rangka menertibkan masyarakat untuk turut mencegah penyebaran Virus Corona ini. Pemerintah melalui aparat penegak hukum sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan adanya ancaman pidana bagi masyarakat yang tetap berkerumun di masa wabah seperti ini.

Bahkan fakta di lapangan banyak aktivitas masyarakat yang dibubarkan dalam rangka menjaga ketertiban. Lantas bagaimana pengaturan pidana dan apakah efektif pidana diterapkan dalam masa seperti ini?

Legalitas Pemidanaan

Berbagai sosialisasi utamanya secara daring dilakukan oleh aparat dalam mengedukasi masyarakat bahwa terdapat aturan pidana bagi masyarakat yang tetap bersikeras berkerumun pada masa wabah seperti ini.

Berbagai aturan tersebut yaitu Pasal 216 KUHP tentang ancaman pidana penjara paling lama empat bulan dan denda bagi siapa saja yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan pejabat yang dilakukan berdasarkan undang-undang, termasuk mencegah, menghalangi atau mengagalkan tindakan pejabat yang dilakukan berdasarkan undang-undang.

Dilihat secara kontekstual dengan kondisi saat ini berdasarkan Pasal 216 KUHP tindakan pejabat yang dimaksud adalah tindakan aparat penegak hukum dalam membubarkan suatu kegiatan yang berkerumun. Untuk mengaktifkan aturan pidana tersebut dapat didasarkan pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian NKRI dan Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona.

Akan tetapi, temuan penulis berdasarkan informasi dari berbagai sumber khususnya dari masyarakat mengenai pembubaran paksa. Aparat Kepolisian melakukan upaya pembubaran dengan dasar Maklumat Kapolri, padahal maklumat tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum kepada masyarakat karena hanya bersifat himbauan serta dasar hukumnya dipertanyakan banyak pihak.

Sehingga apabila terjadi suatu proses penindakan oleh aparat, baik itu pembubaran paksa atau misal penyitaan suatu benda. Maka menjadi tidak benar didasarkan pada keberadaan maklumat tersebut. Alangkah lebih baiknya jika Aparat Kepolisian tetap menggunakan UU No. 2 Tahun 2002 sebagai dasar pertindak dan menempatkan maklumat sebagai sarana edukasi kepada masyarakat.

Meskipun secara legalitas tidak termuat secara normatif mengenai “pembubaran suatu keramaian”. Namun jika menggunakan pendekatan sosiologis dengan dasar keadaan luar biasa wabah Virus Corona ini, maka tindakan pembubaran menjadi dapat dilakukan. Selain Pasal 216 KUHP terdapat beberapa pengaturan lain yang dapat digunakan seperti Pasal 93 Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Meski begitu dalam konteks ini asas ultimum remidum atau hukum pidana sebagai upaya terakhir harus digunakan. Mengingat jika diproses secara hukum akan menimbulkan kesulitan di tengah wabah seperti ini. Baik itu pada saat proses penyidikan, proses peradilan bahkan proses eksekusi. Melihat bentuk hukuman pidananya berupa penjara dan/atau denda, jika dipaksa untuk diterapkan saat ini justru tidak akan membuahkan rasa keadilan.

Efektivitas Pemidanaan 

Terjawab sudah bahwa ancaman pidana dalam rangka menertibkan masyarakat di tengah wabah saat ini memiliki legalitas dan dapat diterapkan, selama unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi. Hakikatnya hak-hak sipil dapat dibatasi salah satunya hak untuk berkumpul.

Dalam menilai keefektifan ancaman pidana, penulis mendasarkan pada teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).

Dalam konteks ini, melihat legalitas pemidanaannya sudah jelas dapat diterapkan (legal substance). Maka tumpuan untuk menegakkan hukum ada pada struktur hukum yang basisnya ada pada aparat penegak hukum dan budaya hukum yang basisnya merupakan masyarakat itu sendiri.

Di masa yang sulit seperti ini, aparat seharusnya tidak menggunakan pidana sebagai instrumen pidana dalam menindak masyarakat yang tidak tertib. Mengingat negara kita menggunakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bahkan sudah diterbitkan peraturan pemerintahnya.

Upaya represif berupa pemidanaan menurut penulis, akan berlaku efektif jika Indonesia menerapkan kebijakan karantina wilayah secara massif dan pengawasannya ada pada pemerintah pusat.

Kebijakan tersebut secara konseptual sama seperti lockdown. Sehingga dalam hal ini, memang diperlukan pengawasan yang sangat ketat oleh aparat. Adanya aturan prosedural bagi masyarakat dalam beraktivitas di luar ruangan, sehingga apabila ada yang melanggar. Asumsinya si pelanggar mengetahui betul konsekuensi hukum yang akan ia terima, yaitu diproses berdasarkan hukum yang berlaku.

Sehingga upaya represif dalam menertibkan masyarakat harus ditekan seminimal mungkin. Penulis mendorong agar aparat lebih memperhatikan alasan masyarakat yang tetap berkerumun dan menggunakan penyelesaian secara damai. Serta bersikap adil dalam menindak siapapun yang ngeyel tanpa memandang status sosialnya.

Tidak memberlakukan upaya pemidanaan tidak serta merta akan mereduksi kekuatan hukum itu sendiri. Justru dengan menghindari upaya represif akan mewujudkan kemanfaatan dan keadilan di tengah wabah yang luar biasa seperti ini, sekaligus mewujudkan tujuan hukum itu sendiri.

Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staff Peneliti Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, dan Head of Research and Development Jong Indonesische Progam (JIP)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.