Sabtu, April 27, 2024

Duka Lara Dibalik Desah Mesra

Mukhammad Ainul Yaqin
Mukhammad Ainul Yaqin
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Misterium tramendum fascinan! Ungkapan dari salah satu teolog ternama yakni Rudolf otto. Bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang misterius, suci dan bergolak dalam jiwa manusia. Dunia pelacur memang berkaitan dengan dunia amoral. Namun demikian, bukan berarti Tuhan Yang Maha Pengasih tidak hadir secara permanen dalam dunia hitam tersebut.

Prostitusi dan pelacuran merupakan fenomena yang tidak mengenal tempat dan suasana. Ia akan selalu hadir selama ada yang membutuhkan. Keberadaannya dianggap sebagai institusi sosial yang akan tetap lestari dan bahkan berkembang selama masih dibutuhkan.

Selama ada nafsu seksual, maka selama itu pula akan ada institusi yang menyediakannya sebagai pelampiasan. Dr. Kartini Kartono dalam bukunya “Patologi Sosial” menyebutkan bahwa pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri.

Budaya pelacuran

Pada masa dulu, pelacuran mempunyai koneksi dengan penyembahan para dewa-dewa dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Hal ini tidak hanya ditolerir saja, tetapi memang ada praktek-praktek keagamaan yang menjerumus kepada tingkah laku cabul yang tidak ada bedanya dengan pelacuran.

Hal tersebut tergambar pada zaman Kerajaan Mesir Kuno, Phunisia, Asssriria, Chalddea, Canan dan Persia, penghormatan terhadap dewa-dewa Isis, Moloch, Baal, Astrate, mylitta, bacchus dan dewa-dewa lain disertai dengan orgie-orgie. Orgie adalah pesta kurban pada para dewa, khususnya dewa Bacchus yang terdiri atas Kebaktian penuh rahasia dan misterius sifatnya dengan disertai pesta-pesta, makanan rakus-rakusan dan mabuk-mabukan secara berlebihan.

Begitu juga di Babilonia praktek pelacuran dipaksakan kepada banyak wanita untuk menghormati Dewi Militta. Lerner G. Dalam bukunya yang berjudul “The Creation of Patriarchy” menuturkan bahwa para perempuan yang berafiliasi dengan sebuah candi melakukan hubungan seksual dengan orang-orang asing yang mengunjungi candi tersebut untuk memuja kesuburan dan kekuasaan seksual para dewi. Imbalan yang diberikan adalah sumbangan bagi candi. Sehingga para perempuan ini memiliki akses terhadap tanah, budak, dan menikmati prestise sosial.

Pelacuran di Arab Pra-Islam

Bagi para hartawan yang memiliki beberapa hamba sahaya perempuan menjadikan mereka sebagai mata pencaharian. Mereka disuruh menjual kehormatan mereka kepada lelaki hidung belang, kemudian upahannya disetorkan kepada tuannya.

Lebih dari itu, seorang perempuan pada waktu itu boleh menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki yang kuat dan gagah atau kepada seorang bangsawan untuk dicampurinya agar memperoleh keturunan yang sama dengan bapak pinjamannya tersebut. Hal ini sudah dianggap urusan biasa kala itu.

Dua wajah pelacur

Stereotipe negatif terhadap lokalisasi pelacuran biasanya muncul dari anggapan bahwa tempat tersebut bertentangan dengan ajaran agama, sehingga pantas, jika tempat ini sering menjadi sasaran amukan masa umat Islam dengan dalih amar ma’ruf nahy munkar. 

Sesungguhnya asumsi demikian terlalu gegabah. Tentunya pandangan tersebut sangat sporadis dan siplisit. Semua orang tidak ada yang memiliki cita-cita berprofesi menjanda pemuas seks transaksional, sehingga orang yang melakukan pekerjaan esek-esek ini dapat dipastikan di luar kehendaknya atau terpaksa.

Hal ini dapat dibuktikan melalui kehidupan para pelacur yang memiliki dua wajah atau yang Nur Syam sebut sebagai dua panggung, yakni panggung depan dan panggung belakang (dramaturgi).

Sahal Mahfudh misalnya, dalam bukunya “Nuansa Fiqh Sosial” menyatakan bahwa lokalisasi pelacuran dapat dibenarkan karena dengan melokalisasikannya para pelacur dapat terkontrol. Pandangan ini berdasarkan “Idza ta’aradla mafsadataini ru’iya a’dzamuhuma dlararan birtikabi akaffihima” (apabila terdapat dua kerusakan yang bertentangan maka dapat dilihat damaknya yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih ringan).

Sahal menilai prostitusi merupakan persoalan sosial yang kompleks sehingga sangat sulit untuk dihilangkan, sehingga masyarakat diadapkan pada dua perihal yang sama-sama mengandung kerusakan, antara membiarkannya tidak terkontrol di tengah masyarakat dan merelokasikannya agar dapat terkontrol.

Hal demikian juga diungkapkan oleh St. Augustine bahwa, “menyingkirkan pelacuran dari kehidupan manusia akan mengotori semua hal dengan nafsu birahi dan karena itu perempuan sundal adalah imoraitas yang dapat dibenarkan secara hukum. Juga St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa “enyahlah tempat sampah dan anda anda akan mengotori istana, enyahlah para pelacur dari muka bumi dan anda akan memenuhinya dengan sodomi.

Sesungguhnya para pelacur sadar bahwa dirinya adalah orang yang sangat tidak diuntungkan, namun mereka tidak berdaya berdaya di tengah sulitnya akses kehidupan yang tidak ramah. Hal ini yang disebut Marx sebagai “kesadaran palsu” di mana mereka sadar akan keterpinggiran yang mereka alami, namun mereka tidak tidak memiliki relasi kuasa untuk menolak realitas tersebut.

Prostitusi: Menggugat Negara dan Agama

Jika sebuah sistem memaksa seseorang untuk melacurkan diri dan negara membiarkan sistem itu terus berjalan, maka dalam konteks ini prostitusi merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan.

Di beberapa tempat lokalisasi setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Artinya, negara tidak mampu mengontrol kesalahan sistem yang ada, yakni sistem pendidikan, perekonomian, sosial, dan berbagai sistem yang melatari terwujudnya prostitusi. Negara selama ini tidak melihat kenapa mereka bisa menjadi pelacur.

Mereka hanya membuat regulasi perundang-undangan yang melarang prostitusi, tetapi dalam regulasi itu tidak menawarkan solusi. Sehingga negara selain terkesan membiarkan kesalahan sistem juga memperparah sistem yang ada.

Dalam kajian usul fiqh as-Syatibi dalam karyanya “Al-Muafaqot fi Usul as-Syariah” mencetuskan konsep maqosidus syariah. Yakni konsep yang menarik kbaikan dan menolak kemudhorotan dunia dan akhirat.  Menurutnya segala yang disyariatkan Allah kepada manusia tidak terlepas dari kategori kepentingan asas (dhoruriyat), keperluan biasa (hajiyat), dan kepenuhan mewah (tahsiniyat).

Kategori dhoruriyat oleh as-Syatibi dibagi menjadi 5 menjaga agama, nyawa, keturunan, harta, dan akal. Dalam alasan ini mereka melacurkan diri karena termasuk dalam kategori dhoruriyat sehingga apabila prostitusi itu tidak dilakukan, justru akan mengancam diri, beserta keluarganya.

Tingkat mafsadat antar melacur dan tidak lebih berat tidak melacur. Maka sebuah kewajiban untuk menutupi mafsadat tersebut. Bukan berarti juga melegalkan prostitusi. Melainkan sebagai solusi final apabila tidak ada jalan lain. Dengan melokalisir maka para pelacur akan mudah dibina dan dilindungi hingga pada akhirnya mereka dapat terbebas nasibnya dari tindakan yang selama ini mengurungnya.

Dari uraian di atas penulis berkesimpulan bahwa “ Syariat Islam tidak hanya dapat ditemukan di masjid, pesantren, atau aktivitas keagamaan lain, tetapi syariat Islam juga ditemukan di lokalisasi pelacuran. Karena Tuhan tidak hanya bersama orang-orang yang sholat dan berdoa kepada-Nya, tetapi juga bersama pelacur”.

 

 

 

Mukhammad Ainul Yaqin
Mukhammad Ainul Yaqin
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.