Sudah sepekan lebih hari pemungutan dan penghitungan suara terlaksana, pesta yang dinanti oleh setiap jiwa bangsa selama berbulan-bulan akhirnya berjalan dengan meriah dan penuh euforia. Tapi ternyata kemeriahan pesta tak hanya berlangsung satu hari saja, tapi hingga kini kemeriahan pestanya tak kunjung usai, masih penuh dengan gegap gempita.
Kegaduhan tentang klaim kemenangan, menjadi perbincangan yang tak kunjung menemukan ujung. yang menarik adalah kegaduhan itu disertai dengan data yang kuat dari masing-masing pasangan calon presiden juga terus terjadi. Hal ini menciptakan paradoks bingungnya masyarakat di tengah terus meluasnya fungsi teknologi informasi komunikasi (TIK) yang hakikatnya praktis dan memudahkan dalam pemprosesan data.
Pemilu serentak yang sudah dilaksanakan pada 17 April 2019 lalu adalah pemilu yang paling rumit di dunia. Hal ini karena Indonesia menggabungkan secara langsung pelaksanaan Pemilihan Legislatif (DPR, DPD, dan DPRD Provinis, Kabupaten/Kota) dan Pemilihan Presiden beserta Wakil Presiden (Pilpres). Keserentakan pemilu yang baru pertama kali dilaksanakan dalam sejarah bangsa Indonesia menghadirkan kekaguman dan penilaian luar biasa karena mampu dilaksanakan secara baik.
Disisi lain kemeriahan pesta demokrasi kini menyisakan luka dan air mata yang begitu mendalam. Pemilu serentak sesuai putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diimpikan akan hemat anggaran, justru boros nyawa. Untuk biaya pelaksanaan Pemilu 2019 pemerintah menganggarkan Rp 25,59 triliun. Pada persiapan awal 2017 sekitar Rp 465,71 miliar dan pada 2018 RP 9,33 triliun. Selanjutnya pada 2019 dianggarkan Rp 15,79 triliun. Semua itu dialokasikan untuk penyelenggaraan, pengawasan, dan kegiatan pendukung lainnya.
Pemilu serentak 2019 dapat menekan biaya yang signifikan. Untuk honor petugas pemilu terjadi penghematan 50% anggaran. Biaya pengadaan logistik dapat dihemat oleh KPU dari anggaran yang ada, karena dilaksanakan secara elektronik melalui Katalog Nasional. Pemakaian kotak suara berbahan karton kedap air juga mampu meminimalisir biaya hingga 70%.
Ditengah kemeriahan pesta yang sedang kita rayakan bersama, ternyata menyisakan duka dan luka yang teramat dalam bagi kita semua. Penyelenggaraan pemilu sebelumnya yang berlangsung secara terpisah antara pemilihan calon anggota legislatif dengan pemilihan presiden dan wakil presiden memang selalu menyisakan luka dalam setiap perjalanan ceritanya. Pada tahun 2014 petugas KPPS yang meninggal dunia akibat kelelahan adalah 157 orang.
Kini dengan pemilu 2019 yang untuk pertama kali dilakukan secara serentak pada hari dan waktu yang bersamaan untuk memilih Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dapat dibayangkan bagaimana para “pahlawan demokrasi” saat melaksanakan tugas negara memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan secara demokratis. Pemilu 2019 yang hemat secara biaya justru dibayar mahal dengan nyawa.
Saat ini di berbagai media, siang dan malam kita terbiasa mendengarkan “pahlawan demokrasi” yang berguguran baik karena meninggal maupun sakit saat menjalankan tugas. Data terakhir sampai saat ini sudah ada 318 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal, dan 2.232 orang petugas KPPS yang sakit, itu baru dari unsur Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Seperti diketahui Bersama bahwa selain KPU sebagai penyelenggara pemilu, ada juga Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai Peenyelenggara Pemilu. Dari unsur Bawaslu juga tak luput dari rundung duka. Data terakhir bahwa sampai saat ini sudah 72 orang Pengawas Pemilu yang meninggal, 1.194 orang sakit dan 200 orang lainnya yang mengalami kecelakaan saat melaksanakan tugas.
Alasan yang utama dari gugurnya para “pahlawan demokrasi” adalah rasa lelah, dan kesehatan. Wajar saja mereka diterpa rasa lelah karena kapasitas pekerjaan yang berlebihan dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019.
Mulai dari persiapan yang begitu Panjang, pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara yang bisa sampai 24 jam nonstop, hingga nantinya proses rekapitulasi suara. Waktu kerja yang berlebihan dan tidak didorong dengan staminan yang prima memang akan berdampak fatal bagi kesehatan. Bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Sebenarnya pada tahun 2014 saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar pemilu legislatif dan presiden diselenggarakan secara serentak pada Pemilu 2019, sudah terbayangkan apa yang akan terjadi nantinya: tahapan yang lebih Panjang, banyak dan rumit, pemilih bingung, logistik kacau, serta yang paling tidak diinginkan adalah petugas kelelahan.
Sedih dan pedih rasanya membaca bahwa sampai saat ini sudah 318 petugas KPPS dan 72 Pengawas Pemilu yang sudah meninggal dunia. Dan lebih dari 3000 orang yang masuk rumah sakit karena kelelahan akibat bertugas. Mungkin hanya di negeri kita tercinta ini, pelaksanaan pemilu meminta banyak korban karena bertugas, bukan oleh konflik kekekerasan, melainkan karena manajemen dan sistem.
Kedepan harus ada perbaikan mendasar terhadap system dan manajemen penyelenggaraan pemilu. Presiden dan anggota legislatif yang terpilih nantinya mempuyai pekerjaan rumah bersama bahwa revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi prioritas utama dalam proglegnas.
Memperbaiki proses dan tahapan yang begitu Panjang, beban kerja yang begitu banyak dan penambahan jumlah penyelenggara pemilu agar bisa disesuaikan dengan beban kerja yang ada. Ditengah pesta yang tak kunjung usai juga, kita berduka untuk mereka “pahlawan demokrasi”.