Jumat, November 8, 2024

Duet Rhoma Irama-Via Vallen: Kekuasaan Meredup Perlawanan Menuai Titik Terang

Michael HB Raditya
Michael HB Raditya
Peneliti, kritikus, penulis yang bergiat dalam ranah seni pertunjukan, dangdut, musik populer daerah, tari kontemporer, dan budaya. Menerbitkan buku yang bertajuk "Merangkai Ingatan Mencipta Peristiwa: Sejumlah Tulisan Seni Pertunjukan" (2018); "OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar" (2020). Mendirikan dan memimpin Dangdut Studies Center (www.dangdutstudies.com).
- Advertisement -

Harapan tinggi dialamatkan kepada Via Vallen untuk ‘mengangkat’ citra dangdut koplo di belantika musik tanah air. Pasalnya dangdut koplo mengalami ‘kesialan’ berlipat, yakni dianggap tak patuh dalam aturan dunia musik arus utama: dapat dilihat dari sistem produksi hingga distribusi (baca: bajakan); dan diasingkan oleh beberapa kalangan di dunia dangdut: raja dangdut, Rhoma Irama dan PAMMI—Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia—bersikukuh tidak menerima koplo sebagai bagian dari dangdut. Baik dengan alasan joget, strategi musikal, hingga lirik yang tak senafas.

Runcingnya persoalan tampak pada kontestasi Rhoma Irama dan Inul Daratista pada tahun 2003 silam. Dampak dari hal tersebut adalah terpinggirkannya dangdut koplo dalam lanskap musik dangdut Indonesia.

Namun keadaan berangsur berubah, dangdut koplo mulai digemari oleh pendengar musik tanah air, terlebih akhir-akhir ini dengan kemunculan biduanita, seperti: Via Vallen, Nella Kharisma, Jihan Audy, Tasya Rosmala, dan sebagainya yang membawa penampilan lebih ‘segar’. Singkat kata, Dangdut Koplo ‘mencuri’ pasar musik dangdut Indonesia.

Lantas ‘kerajaan’ dangdut Rhoma Irama tidak dapat berkutik. Kegemilangan pada biduanita memaksa rezim dangdut Rhoma yang tak acuh sebelumnya pada dangdut koplo harus mulai putar otak dan memberikan perhatian lebih. Puncaknya adalah duet di perayaan ulang tahun yang ke-24 dari salah satu saluran televisi swasta, Indosiar, pada Jumat malam (11/1/2019).

Untuk pertama kalinya, Rhoma Irama, sang raja dangdut tampil sepanggung dengan salah seorang biduanita dangdut koplo, Via Vallen. Hal yang niscaya muskil terjadi pada biduanita dangdut koplo terdahulu. Kendati duet ini dilandasi permintaan masyarakat (baca: pasar) semata, namun ada hal yang lebih mendalam, yakni ruang ‘dialog’ dangdut koplo dan dangdut. Dengan harapan dangdut koplo ‘diterima’ dalam percaturan musik dangdut Indonesia.

Negosiasi Koplo dalam Kekuasaan Dangdut 

Acara ulang tahun Indosiar, “Konser Raya 24 Indonesia Luar Biasa” menampilkan sang Raja Dangdut Rhoma Irama hingga biduanita dangdut koplo, Nella Kharisma dan Via Vallen. Dari seluruh penampil, duet Rhoma Irama dan Via Vallen paling menyita perhatian. Pasalnya duet ini bukanlah sebagai kolaborasi dari dua musisi biasa, melainkan pertemuan antar dua generasi dan varian dangdut yang berbeda, dangdut dan dangdut koplo. Secara perlahan, kerasnya hati Rhoma Irama untuk memusuhi dangdut koplo dipaksa melunak.

Alih-alih hanya menjadi gimmick semata, pentas kolaborasi ini menjadi bukti akan negosiasi dangdut koplo terhadap rezim dangdut Rhoma. Pasalnya terjadi beberapa hal yang menarik di atas panggung duet tersebut, yakni: pertama, Rhoma Irama menyanyikan setengah bait lagu Via Vallen yang bertajuk Sayang—walau Via mengawali duet dengan menyanyikan setengah bait sebelumnya. Kendati hanya menyanyikan satu bait saja, namun hal tersebut cukup penting sebagai bukti negosiasi dangdut akan kehadiran dangdut koplo. Terlebih itu kali pertama Rhoma Irama menyanyikan lagu dangdut koplo dan berbahasa Jawa.

Kedua, kendati Rhoma tidak mengenal lagu dangdut koplo dengan baik, namun oleh permintaan pasar Rhoma ‘tunduk’ dan menyanyikannya. Hal ini ditandai dengan suara Rhoma Irama yang terasa asing ketika menyanyikan lagu tersebut. Selain menyematkan cengkok dangdut ke dalam lagu Sayang, pitch dari Rhoma Irama terasa meleset. Pun hal ini diklarifikasi Rhoma bahwa dirinya keliru dalam nada.

Sebagai ‘balasan’, Rhoma berupaya menyanyikannya kembali dengan nada yang semestinya—walau tidak jauh berbeda. Upaya mengulang lagu hingga dua kali merupakan upaya Rhoma membenturkan teknik yang ia punya dan materi lagu yang dinyanyikan. Baik secara sadar ataupun tidak, Rhoma menerima lagu tersebut.

Ketiga, Rhoma bersikap ambivalen akan status Via. Rhoma memang tidak mengakui bahwa Via Vallen berasal dari dangdut koplo. Pada sesi percakapan, mereka saling melempar pujian. Balasan Rhoma atas pujian Via pun cukup ambigu, di mana ia menyatakan bahwa merasa beruntung dapat satu panggung dengan generasi milenial yang fenomenal.

- Advertisement -

Dari sini kita dapat melihat, bahwa mau tidak mau, Rhoma Irama dan dangdut ciptaannya harus melirik dangdut koplo sebagai ‘peluang’ sekaligus ‘ancaman’. Di mana Rhoma seakan terasa mengamini kehadiran Via, tapi dengan sengaja tidak mengakui bahwa ia berasal dari dangdut koplo.

Keempat, afirmasi Via Vallen bahwa dirinya penggemar Rhoma Irama sebagai bentuk negosiasi. Via menyatakan kekagumannya kepada Rhoma sejak masa kanak-kanak. Bahkan ia juga mengungkapkan bahwa ayahnya adalah penggemar berat Rhoma Irama yang selalu menonton tur dari sang Raja Dangdut.

Puncak dari hal tersebut adalah pemberian gitar akustik kepada sang raja dangdut. Mendapat hadiah tersebut, Rhoma menerimanya dengan tangan terbuka. Hal ini dapat menunjukkan bahwa perlawanan tidak bisa dilangsungkan secara kaku, melainkan dilakukan secara cair dan perlahan.

Kelima, Via ikut menyanyikan lagu karya Rhoma Irama dalam duet. Alih-alih duet Rhoma dan Via melanjutkan menyanyikan lagu Sayang ataupun repertoar dangdut koplo lainnya, duet justru dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Rhoma yang bertajuk

Pertemuan. Terlebih Via berperan seolah-olah sebagai penyanyi dangdut lazimnya, dengan ikut mengupayakan cengkok melayu di dalam lagu tersebut dengan persis seperti penyanyi pendahulunya. Via sebenarnya mempunyai kesempatan untuk menunjukkan diri dengan karakter yang tumbuh dari ekosistem dangdut koplo.

Namun yang menarik, Via menunjukkan kesanggupannya menyanyikan lagu dangdut tersebut. Hal ini tidak dapat dilihat sebagai ketertudundukan semata, melainkan menyiratkan kesadaran bahwa kekuasaan tidak bisa dilawan secara mutlak. Melawan kekuasaan yang masif tanpa pertimbangan justru akan membuat perlawanan sebelumnya sia-sia.

Koplo yang Perlahan Tapi Pasti

Sebenarnya, menanggapi duet Rhoma Irama dan Via Vallen sebagai sebuah pertunjukan yang biasa-biasa saja mungkin dapat diupayakan, namun kiranya langkah tersebut tidak tepat dilakukan. Pasalnya kita perlu menilik kembali bagaimana kontestasi yang dilakukan dangdut terhadap dangdut koplo terdahulu. Hal ini kiranya perlu dilakukan agar konteks atas alasan duet begitu penting tidak tercerabut begitu saja.

Maka duet Rhoma dan Via mempunyai makna yang lebih, ketimbang praktik kolaborasi semata. Tarik ulur di dalam duet tersebut merupakan langkah negosiasi yang jitu. Dari duet tersebut, secara perlahan Dangdut Koplo mulai merongrong kekuasaan tunggal dangdut ala Rhoma, sedangkan dangdut ala Rhoma dipaksa berpikir ulang untuk mulai menerima mereka, sebagai bagian dari dunia dangdut Indonesia. Dengan setia Dangdut Koplo melawan secara perlahan, dan bukan tidak mungkin jika kekuasaan dangdut akan beralih secara utuh kelak, baik cepat ataupun lambat.[]

Michael HB Raditya
Michael HB Raditya
Peneliti, kritikus, penulis yang bergiat dalam ranah seni pertunjukan, dangdut, musik populer daerah, tari kontemporer, dan budaya. Menerbitkan buku yang bertajuk "Merangkai Ingatan Mencipta Peristiwa: Sejumlah Tulisan Seni Pertunjukan" (2018); "OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar" (2020). Mendirikan dan memimpin Dangdut Studies Center (www.dangdutstudies.com).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.