Pada tulisan sebelumnya, saya menjelaskan bagaimana budaya cashless menjadi harapan yang realistis bagi pemerintah. Namun ada beberapa kekeruangan yang menjadikan budaya cashless society ini bisa saja menjadi hal yang utopis.
Cashless society menjadi budaya yang menandakan sebuah negara telah bertranformasi menjadi negara maju. Swedia misalnya, yang dijadikan sebagai barometer keberhasilan sebuah negara telah berhasil menerapkan budaya non tunai.
Di negara tersebut, transaksi tunai dalam bentuk koin maupun kertas hanya 1% dari total keseluruhan transaksi keuangan dalam negeri. Bahkan secara hukum, gerai maupun toko – toko di negara tersebut dibolehkan menolak menerima pembayaran secara tunai. Namun, dengan kondisi infrastruktur internet, kesenjangan ekonomi, perilaku sosial serta geografis di negara kita, apakah negara kita siap?
Cashless Society bisa saja sebuah Utopis?
Ada beberapa alasan yang bisa menjadikan budaya cashless society hanya menjadi utopis, dan sekadar ueforia sesaat dalam transaksi keuangan. Bila berpedoman pada prinsip product life cycle, maka kita disuguhkan bahwa sebuah fenomena, tren baik produk barang maupun jasa akan mengalami titik boomong tertinggi dalam eksistensinya. Namun itu tidaklah bertahan selamanya, ada fase kejenuhan yang akan membuat sebuah tren baik barang maupun jasa tersebut akan tenggelam dan mulai ditinggalkan.
Alasan pertama adalah tentang kesiapan masayarakat kita dari sisi psikologis. Masifnya budaya cashless society di masyarakat kita dikarenakan tingginya angka konsumerisme yang dirangsang oleh promo maupun cashback yang ditawarkan oleh platform belanja online.
Gojek dengan Gopaynya misalnya, pada tahun 2016 berhasil mencatatkan 100 juta traksaksi, shopee pada festival belanja 11.11 berhasil mencatatkan 70 juta transaksi. Promo dan cashback ini merupakan impact dari burn money (bakar uang) yang merupakan strategi para platform untuk meningkatkan jumlah pengunaan layanan dan jasa yang ditawarkan.
Perilaku bisnis yang demikian tentunya akan menciptakan implusive buying secara masal pada kalangan masyarkat, terutama pada kelas menengah. Efek dari hal itu tentunya pada orientasi pendapatan masyarakat kelas menengah atas yang selalu ingin memiliki saldo dalam angka yang besar, sehingga mampu memenuhi keinginan transaksi belanja yang konsumtif.
Profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Drazen Prelec mengungkapkan bahwa pembayaran non tunai cukup berbahaya dikarenakan akan membuat konsumen tidak lagi merasakan kehilangan atau sakit saat membayar.
Secara psikologis, ketika menggunakan uang fisik dalam bertransaksi, secara sadar kita akan memiliki ikatan emosional dan akan lebih berhati–hati dalam menggunakan uang tersebut karena ada rasa memiliki. Berbeda dengan non tunai, transaksi yang dilakukan menggunakan medium elektronik dan membuat kita tanpa sadar melakukannya tanpa takut merasa kehilangan.
Kondisi ini tentu saja akan membuat kita akan menjadi individualis karena dituntut bekerja lebih keras untuk membeli barang yang diinginkan. Selain itu, generasi milenial yang mendominasi masyarakat saat ini memiliki financial planing yang begitu buruk. Hal ini didukung oleh sebuah survei oleh David Low, General Manager Asia Tenggara Luno, yang bertema “The Future of Money” menunjukan bahwa 69% dai generasi milenial Indonesia tidak memiliki rencana keuangan.
Pemerintah maupun BI perlu memperhatikan hal tersebut dengan cara meningkatan literasi perencanaan keuangan yang masif, sehingga budaya cashless society tidak menjadi sebuah racun bagi sisi psikologis masyarakat.
Alasan kedua adalah mengenai infrastruktur keamanan dunia internet dalam negeri yang masih belum memadai. Dengan masyarakat yang dituntut beralih ke cashless society, tentu saja konsekwensinya adalah data pribadi masyarakat kita terlihat transparan dan mudah disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Isu kebocoran data menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah maupun BI, masih segar di ingatan bagaimana lebih dari 1 juta pengguna facebook di indonesia yang data pribadinya bocor. Kemudian cybercrime yang setiap saat mengintai data pribadi ataupun saldo dari uang rekening masyarakat. Melihat kondisi tersebut, perlu adanya proteksi yang komprehensif melalui regulasi yang jelas dan tegas serta kelengkapan infrastrukur keamanan yang solid, sehingga data pribadi dan saldo uang elektronik masyarakat bisa terlindungi.
Alasan terakhir adalah tentang kesiapan infrastruktur layanan internet dalam negeri. Pada kenyataannya, akses internet dalam negeri masih tersentrasilisasi pada daerah perkotaan. di sisi lain, kelancaran akses internet di Indoensia juga masih sangat rendah. Ini mejadi sebuah masalah yang harus segera diiatasi, pemerintah, harus menjamin ketersediaan akses yang merata dan memastikan semua akses internet dalam negeri berjalan dengan lancar, dan minim akan gangguan.
Upaya pemerintah dan BI dalam mengkampanyekan budaya cashless society patut kita dukung, sebagai wujud upaya untuk bergerak pada era modern yang kompetitif, meskipun beberapa permasalahan di atas tentu saja harus segera diminimalisir, sehingga cita – cita menjadikan Indonesia sebagai negara cashless society bisa terlihat realistis dan bukan menjadi sebuah utopia semata.