Menjelang dua dekade Reformasi, belum juga kita melihat hilal perubahan yang berarti bagi penegekan HAM dan perkara kesejahteraan di Indonesia. Bagaimana tidak, kasus pelanggaran HAM di Papua Barat memakan korban tidak kurang dari 500.000 nyawa—sejak digalakanya TRIKORA di masa Orde Lama, lanjut operasi militer dibawah komando Soeharto, keculasan PERPERA hingga kini kontrak Freeport diperpanjang. Tak juga kita melihat niat baik pemerintah untuk–setidaknya mengakui segala kebiadaban represi politik, militer dan ekonomi, atau membuka ruang dialog atas usaha “Self Determination” rakyat Papua di bawah bendera Bintang Kejora.
Doktrin NKRI harga mati telah mengelabuhi wawasan rakayat Indonesia sejak operasi militer dibawah komando Soeharto sampai ia naik tahta sebagai presiden. Disaat yang bersamaan kasus raksasa seperti upaya pembersihan manusia yang dicap komunis pasca Gestapu, aneksasi timor timur dan penculikan aktivis telah menjadi rantai sejarah pelanggaran HAM yang tak tersentuh sampai pada kata penyelesaian oleh Negara.
Yang selalu aktual, menyejarah dan membayangi persoalan HAM berat pemerintahan Indonesia adalah soal isu Agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2016 saja telah terjadi 450 konflik agraria yang berdampak kepada 86.745 Kepala Keluarga dan tidak kurang dari 1,2 juta hektar lahan konflik, sumber konflik agraria melintasi banyak sektor,mulai dari perkebunan, properti, infrastruktur, kehutanan, pertambangan, pesisir dan kelautan, migas dan pertanian.
Konflik tersebut menyeret berbagai lapisan masyarakat yang tidak jarang berbuah konflik horisontal antar warga, padahal, kerap kali penelitian membuktikan bahwa subjek konfliknya adalah oligark dan otoritas politik–represif. Sebut saja kasus Salim Kancil, Lapindo, Suku Anak Dalam, Petani Tulang Bawang dan masing banyak yang lainya.
fantasi demokrasi ala reformasi yang tak diimbangi dengan kenyataan demokrasi ekonomi ini telah membawa kita pada narasi elitis ala orde baru—mempropagandakan pembangunan infrastruktur sembari membajak pemeretaan dan keadilan sosial, misalnya pajak konsumen dan pajak-pajak yang lain telah melambung tinggi atau subsidi BBM dilempar lepas ke pasar bebas, kenyataanya hutang negara terus bertambah dan APBN defisit.
Dimana keperkasaan trisakti dan nawacita bawah tafsiran pemerintah. Partai politik yang seharusnya menjadi harapan malah menjadi bagian dari permainan dan menjual penderitaan rakyat kehadapan politik tanpa membayarnya kembali dengan kebijaksaan politik.
Kini rakyat digiring dan didoktrin untuk menjadi pragmatis melalui berbagai instrument—misalnya program 1 juta tenaga kerja via sekolah vokasi, dilepaskanya hakekat “pendidikan” dari sekolah dan diubahnya menjadi alat produksi atau alas bagi panggung oligarki. Di bawah karpet kapitalisme HAM telah menjadi tameng yang kian sakti. HAM bukan sekedar tentang hak hidup, termasuk juga hak kesejahteraan di atas sistem ekonomi politik berkeadilan tanpa mempertimbangkan kuasa modal di dalamnya. Bukan tidak mungkin dis-orientasi politik Indonesia hari ini akan menjadi bom waktu bagi pecahnya revolusi dikemudian hari, apabila Pemerintah tak secepetnya melakukan koreksi secara radikal dan memepertimbangkan analisis kaum minoritas-marjinal, buruh rentan, rakyat miskin kota, desa terpencil, korban penggusuran, nasib rakyat papua dan problem HAM lainya.
Kita harus berhenti mengakatan ini tugas pemuda, pelajar, mahasiswa atau kelas sosial lainya, itu semuanya hanya mitos. Ini adalah problem kemanusiaan yang mungkin dikerjakan melalui gerbong politik–kalau tidak mau diselenggarakanya festival Anarki, individu merdeka adalah mustahil tanpa kolektivitas. Negara bukan segalanya, kemanusiaanlah yang segalanya tanpa kemanusiaan, apalah artinya AGAMA, BANGSA dan NEGARA.
- Sumber Gambar; Google