Para buruh, awak mobil tangki (supir dan kernet) dari Depot Pertamina Plumpang, Depot Pertamina Merak serta Depot Pertamina Bandung, yang mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) untuk Satuan Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jabodetabek, Banten dan Jawa Barat, telah melakukan aksi mogok kerja. Aksi ini dimulai pada tanggal 19 Juni hingga 25 Juni 2017.
Aksi mogok kerja ini juga mendapat solidaritas dari beberapa depot Jawa dan Sumatera yang juga akan ikut mogok kerja.
Rencana aksi mogok kerja sebelumnya telah beredar di sejumlah media sosial dan sempat memicu kepanikan. Aksi mogok kerja dikhawatirkan berdampak pada langkanya suplai BBM bagi masyarakat yang kebutuhan penggunaannya makin tinggi menjelang lebaran. Konsumsi BBM di Jabodetabek saja, rata-rata mencapai 9 juta liter per-hari.
Angka penggunaan yang tinggi itu dikonsumsi oleh kendaraan pribadi, angkutan kota dan bis. Ketiadaan tranportasi publik yang bagus membuat mobilitas warga bertumpu pada kendaraan pribadi dan angkutan umum berbasis BBM. Dan mendekati puncak arus mudik lebaran, angka konsumsi BBM akan melonjak hingga mencapai setengah dari angka rata-rata tersebut.
Tidak sedikit yang menyayangkan aksi pemogokan ini dan mengatakan bahwa buruh egois dengan mengutamakan kehendak sendiri. Tetapi tidak banyak pula yang mencermati duduk perkaranya. Para buruh melakukan aksi mogok kerja menuntut PT Pertamina Patra Niaga dan mitra perusahaan outsourcing membatalkan kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sewenang-wenang, perbaikan kondisi kerja yang buruk, pembayaran upah lembur yang tidak pernah diberikan, dan pembayaran jaminan pensiun.
Kondisi Kerja Yang Buruk Dan Pelanggaran Hukum
Masih dalam suasana ramadan, pada tanggal 1 Juni 2017 sebanyak 400 orang awak mobil tangki dikenai PHK secara sepihak oleh PT Garda Utama Nasional (GUN), perusahan outsourcing yang bermitra dengan PT Pertamina Patra Niaga. PT Pertamina Patra Niaga sendiri adalah anak perusahaan dari PT Pertamina yang bergerak di sektor hilir migas, dengan bisnis perdagangan dan distribusi BBM.
Dalam keterangan yang tertera di surat PHK, disebutkan bahwa 400 orang awak mobil tangki tidak lulus dalam ujian masa percobaan (evaluasi) untuk diangkat menjadi pekerja tetap. Ujian ini meliputi kesehatan, usia pensiun, dan kinerja. Ujian dilakukan serba tertutup. Sementara para awak mobil tangki tidak pernah merasa sedang dalam masa ujian, dan tidak mengetahui apa indikator yang diterapkan.
Banyak dari para awak mobil tangki yang tidak lulus tes dan dikenai PHK, telah bekerja di atas 5 tahun. Selama bekerja mereka hanya dikontrak per tahun, lalu diperpanjang lagi setiap tahunnya.
Dalam aturan UU Ketenagakerjaan 2003 pasal 56, dinyatakan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak dan outsourcing) durasinya paling lama 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang sekali saja dalam jangka waktu 1 tahun. Jika ada perusahaan mempekerjakan buruh lebih dari 3 tahun dengan status kontrak dan melalui skema outsourcing, maka secara hukum para buruh harus diangkat menjadi pekerja tetap. Status kontrak atau outsourcing hanya diberlakukan untuk pekerjaan yang tidak terkait core business (inti produksi), yang mana durasi pekerjaanya bersifat sementara dan tidak terus-menerus.
Para awak mobil tangki kemudian memprotes kebijakan PHK langsung ke manajemen PT Pertamina Patra Niaga bukan ke PT GUN sebagai perusahaan outsourcing. Karena berdasarkan relasi bisnis, kekuasaaan manajerial terkait hubungan di Depot Pertamina ada pada PT Pertamina Patra Niaga. Namun manajemen PT Pertamina Patra Niaga berkilah bahwa mereka tidak melakukan PHK terhadap buruh. Yang melakukannya adalah PT GUN.
Para awak mobil tangki melihat ini sebagai kontradiksi yang sengaja dimainkan oleh manejemen PT Pertamina Patra Niaga, yang melempar tanggung jawab memenuhi hak-hak buruh kepada perusahaan outsourcing. Manajemen mengatakan bahwa core business PT Pertamina Patra Niaga adalah perniagaan dan distribusi BBM ke SPBU. Sementara para awak mobil tangki yang menjadi ujung tombak distribusi BMM, bukan bagian dari core business PT Pertamina Patra Niaga.
Kontradiksi ini sebenarnya telah diakhiri oleh Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara (Disnaker), yang pada Juni 2016 telah mengeluarkan nota pemeriksaan khusus. Nota pemeriksaan khusus Disnaker menerangkan bawah PT Pertamina Patra Niaga telah melanggar sejumlah hak-hak buruh yang paling mendasar, diantaranya: mempekerjakan buruh dengan jam kerja lebih selama 12 jam, menggunakan buruh outsourcing pada bagian inti produksi, tidak membayar upah lembur, tidak memberikan jaminan pensiun, tidak membayar jaminan kesehatan.
Nota pemeriksaan khusus yang punya kekuatan hukum tersebut mewajibkan PT Pertamina Patra Niaga memenuhi hak-hak buruh yang telah bertahun-tahun dilanggar. Namun manajemen PT Pertamina Patra Niaga tidak pernah menggubrisnya. Mereka bersikukuh bahwa praktik hubungan kerja yang dijalankan sudah benar.
Tren Pelanggaran Hukum oleh BUMN dan Anak Perusahaan
Jika dilihat dengan lebih utuh, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga ini merupakan tren dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh BUMN dan anak perusahaannya.
Perusahaan BUMN dan anak perusahaannya telah menjadi pelopor pelanggaran hak-hak buruh. Sebagai entitas bisnis milik negara, BUMN dan anak perusahaannya secara perkasa dapat menundukan aturan hukum demi mengejar kepentingan ekonominya. Pasal demi pasal UU Ketenagakerjaan sama sekali tidak berharga dalam operasi bisnisnya.
Sejak tahun 2012 – 2013, puluhan ribu buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh BUMN (Geber BUMN) telah memulai jalan panjang untuk menghapus penggunaan tenaga outsourcing dan kondisi kerja yang layak. Para buruh tersebut bekerja di perusahaan BUMN seperti PT Pertamina, PT PLN, PT Telkom, PT ASDP, PT Askes, PT Merpati, PT Jasa Marga, PT Indofarma, PT Gas Negara, PT Petro Kimia Gresik, dan PT. KAI. Di luar ini, masih banyak perusahaan BUMN yang menggunakan buruh outsourcing.
Para buruh di perusahaan milik negara tersebut mendapati kondisi kerja yang buruk, pelanggaran kontrak, upah rendah, dan tidak adanya jaminan pensiunan. Sementara pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan BUMN tersebut mencatatkan kenaikan laba bersih setiap tahun. Kesuksesan BUMN diwujudkan dari jeri payah para buruhnya yang dilucuti hak-hak nya. Dua kontras yang berkebalikan ini terus berlangsung dan meluas.
Geber BUMN sendiri telah melakukan ratusan kali aksi jalanan dan mogok kerja, hingga puluhan kali lobi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperjuangkan hak mereka sebagai buruh yang dijamin oleh konstitusi. DPR telah membuat Panja Outsourcing dan mengeluarkan rekomendasi agar penggunaan buruh outsourcing dihentikan. Namun hingga masa kerja panja selesai dan masa anggota DPR berakhir, tidak ada rekomendasi yang dijalankan. Bahkan setelah itu buruh BUMN diterpa gelombang demi gelombang pemutusan hubungan kerja.
Melihat Mogok Kerja Sebagai Upaya Merebut Kembali Hak Buruh
Adopsi atas konsep pasar tenaga kerja fleksibel (labour marke flexibility) oleh negara, telah mendorong perusahaan BUMN tersebut dan anak perusahaannya untuk melakukan privatisasi dan efisiensi atas operasi bisnisnya. Konsep pasar kerja fleksibel mensyaratkan negara tidak mencampuri aturan ketenagakerjaan antara pemberi kerja (perusahaan) dan pencari kerja (buruh). Itu berarti hak-hak dasar seorang buruh dilucuti. Buruh hanya dibutuhkan tenaganya untuk bekerja dan memaksimalisasi profit, namun memiliki kerentatan atas pekerjaan. Mereka direkrut, dipecat, kemudian direkrut lagi, dipecat lagi.
Di tengah kondisi-kondisi kerja yang buruk ini, para buruh yang telah bergabung dalam serikat kemudian melakukan perlawanan untuk membalikan kondisi di tempat kerja. Mereka mengorganisir diri untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka.
Mogok kerja yang dilakukan oleh para armada mobil tangki adalah upaya untuk menuntut PT Pertamina Patra Niaga berhenti berlaku semena-mena terhadap para buruhnya. Aksi mogok kerja untuk kembali merebut hak-hak buruh dijamin oleh aturan hukum apabila terjadi kebuntuan negosiasi akibat perusahaan menolak memberikan hak-hak buruh.
Aksi mogok kerja tidak dapat dilihat secara sempat sebagai sikap egois. Pandangan seperti ini menutup fakta bahwa buruh memiliki kekuatan politik dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat secara luas.
REFERENSI
– Seamus Hogan dan Chritstopher Ragan. 1995. “Job Security and Labour Market Flexibility”, Canadian Public Policy / Analyse de Politiques Vol. 21, No. 2, hal. 174-186
INTERNET
– http://www.bantuanhukum.or.id/web/geber-bumn-aksi-tuntut-hapuskan-outsourcing/ diakses pada 18 Juni 2017
– http://geber-bumn.blogspot.co.id/2013/12/kenapa-sistem-kerja-outsourcing-harus.html diakses pada 18 Juni 2017
– http://www.bantuanhukum.or.id/web/280-000-pekerja-outsourcing-bumn-butuh-kepastian-pengangkatan/ diakses pada 18 Juni 2017
– Wawanacara dengan awak mobil tangki: MS, AK, AW, di Plumpang 14 Juni 2017