Sulit bagi masyarakat untuk mempercayai bahwa Pantia Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki visi untuk memperkuat KPK dan bukannya melemahkan KPK.
Panitia Angket KPK diduga terbentuk secara terburu-buru setelah kasus E-KTP mulai perlahan-lahan dibuka oleh KPK. Tidak hanya itu, pembentukan Pantia Angket KPK tersebut telah menabrak aturan.
Berdasarkan, Pasal 201 Ayat 2 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, Panitia Angket hanya dapat dibentuk, apabila semua fraksi di DPR setuju untuk mengirimkan anggotanya untuk berpartisipasi.
Pada kenyataannya, ada 3 fraksi yang tidak mengirimkan anggotanya, yaitu: Demokrat, PKS, dan PKB. Artinya, pembentukan Panitia Angket tersebut tidak sah, karena UU MD3, dalam kasus ini, tidak mengenal istilah kuorum.
Meskipun menabrak aturan, Panitia Angket tetap menjalankan kegiatannya dengan memanggil Miryam Haryani dalam kasus persidangan tersebut. Sebagai informasi, Miryam adalah anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang telah menjadi tahanan KPK sejak 1 Mei 2017, setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam pemberian keterangan palsu terkait penyidikan perkara korupsi KTP elektronik.
Pemanggilan Ibu Miryam Haryani ditambah dengan upaya DPR mengunjungi narapidana-narapidana yang terkena kasus korupsi sangat berpotensi menciptakan gambaran bahwa DPR melindungi para koruptor dan mengurangi upaya negara dalam memberantas kasus korupsi. Hal tersebut harus diperhatikan secara serius, agar DPR tidak diduga melakukan obstruction of justice terhadap proses hukum yang terjadi.
Hingga artikel ini diturunkan, Panitia Angket KPK juga telah mengunjungi BPK untuk mencari masukan terkait pengelolaan anggaran di KPK.
Sebenarnya sahkah DPR menggunakan hak angketnya terhadap KPK? Apabila DPR bergerak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, DPR sah-sah saja menggulirkan hak angket ini.
Disebutkan dalam Undang-Undang, Hak Angket adalah fungsi pengawasan DPR berupa penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan sebagai subyek maupun obyek penyelidikan.
Oleh karena itu, DPR dalam hal ini berhak untuk mengecek kinerja KPK, karena KPK merupakan produk dari UU No, 30 Tahun 2002 terkait Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).
Jika memang DPR memiliki visi dan itikad yang jelas dalam memperkuat KPK, maka DPR harus dapat menjelaskan dan membuktikan hal tersebut diantara masyarakat, agar masyarakat percaya dengan KPK.
Sayangnya, dibanding memperkuat KPK, wacana yang sering terdengar dari DPR adalah wacana melemahkan KPK (melalui menghilangkan kewenangan KPK dalam penyidikan dan penuntutan, membentuk lembaga KPK sebagai lembaga ad-hoc, dan pembentukan dewan pengawas) dan bahkan membubarkan KPK. Hal-hal tersebut yang menyebabkan masyarakat tidak percaya akan itikad baik DPR memperkuat KPK.
Menurut data dari Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency Internasional, Indonesia menempati peringkat 88 dari 176 negara yang di survey. Indonesia masih kalah dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara, seperti: Singapura (Peringkat 7), Brunei Darussalam (Peringkat 41), Malaysia (Peringkat 55).
Pembentukan panitia angket, apabila hendak melemahkan KPK, tidak akan berkontribusi apapun dalam meningkatkan peringkat Indonesia dalam pemberantasan kasus korupsi.
Mengingat bahwa Indonesia adalah negara besar di Asia Tenggara dan masuk dalam jajaran negara di G20, Indonesia sudah selayaknya berkomitmen lebih jauh dalam memberantas korupsi.
Ingat. Hingga sejauh ini, KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi (Pasal 33 UU KPTPK). Masyarakat juga apresiatif terhadap kinerja Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
DPR dan juga masyarakat Indonesia harus bersama-sama melindungi KPK. Seperti pesan Presiden Joko Widodo bahwa kita memerlukan KPK yang kuat dan independen untuk memperkuat KPK, KPK yang independen dan kuat akan mendorong Indonesia semakin maju menjadi negara yang layak di mata dunia.
Berdasarkan survey SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) pada 14-20 Mei 2017, 64,4 persen responden mengaku percaya kepada KPK, 6,1 persen menjawab percaya DPR, dan 29,5 persen responden menjawab tidak tahu atau tidak mau menjawab. Dengan angka tersebut, langkah DPR untuk tetap menjalankan Panitia Angket tersebut sangat berpotensi memperburuk citra DPR di antara masyarakat.
Agar DPR dapat meningkatkan citranya dan elektabilitas partai dapat meningkat di pemilu-pemilu selanjutnya, DPR harus menghentikan Panitia Angket KPK sesegera mungkin.