Selasa, April 23, 2024

Dosa Berduka Cita, Dosa Bermedia Sosial

Najmul Ula
Najmul Ula
Penderita rabun politik

Belum lama ini Indonesia sedang dirundung pilu. Dalang kenamaan cum Bupati Tegal (nonaktif karena mencalonkan diri lagi) Ki Enthus Susmono meninggal dunia, demikian pula pelawak Srimulat dengan jambul khas, Gogon. Kita belum memasukkan kericuhan di Mako Brimob Jakarta, rentetan bom bunuh diri di Surabaya, yang diikuti penyerangan di Pekanbaru. Kita semua berduka, kehilangan sosok panutan dan turut merasa insecure setelah eskalasi teror di penjuru negeri.

Alkisah, Narbi ialah seorang mahasiswa yang Tegalese tulen. Ketika ia menerima kabar dari unggahan teman berupa foto jasad membujur Ki Enthus Susmono, hatinya merasa berduka. Ia mengunduh foto kematian terssebut, untuk kemudian mengunggahnya sendiri di berbagai media sosial kepunyaannya: Whatsapp, Instagram, serta Facebook.

Tentu saja unggahan tersebut ia lengkapi dengan puja-puji tentang idolanya tersebut. Bukan apa-apa, baru dua bulan lalu sang Bupati berkunjung ke kampusnya, menyapa mahasiswa dan menerima penghargaan abadi. Narbi menyaksikannya secara langsung saat itu, tapi kini merasa hampa sang idola sudah tiada.

Esok harinya, Narbi, yang merupakan aktivis kampus dengan berbagai jabatan di organisasi kemahasiswaan, menjalani rutinitas seperti biasa. Ia mendatangi kegiatan organisasinya, bercengkerama dengan teman sebaya. Hari itu ia bahagia, bertemu orang-orang inspiratif yang menjadi role model di kalangan teman-temannya.

Tidak lupa ia memotret momen-momen yang membuatnya tersenyum lebar itu. Setelahnya, ia memutuskan untuk membaginya ke berbagai media sosial kepunyaannya: Whatsapp, Instagram, serta Facebook. Masalahnya, unggahan duka cita-nya kemarin sore masih tertempel dan ia merasa itu akan mengurangi nilai estetis momen saat ini. Gampang, ia menghapusnya begitu saja, dan bergembira melanjutkan hari.

Dalam kajian media, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2015) mengatakan bahwa di era ultra-informatif saat ini, yakni saat setiap orang dengan mudah menemukan informasi, bahkan memproduksi informasi sendiri, peran jurnalisme sebagai “pelapor” sudah tak lagi relevan. Jurnalisme akan memiliki nilai lebih bila mampu memberikan pemahaman komprehensif kepada pembacanya, dan bukan sekadar mengabarkan sebuah peristiwa (tidak lagi menganut pakem 5W+1H). Misi jurnalisme seperti ini yang disebut “penuntun akal”.

Berkelindan dengan anggapan itu, Shanto Iyengar (1991) membagi pembingkaian sebuah berita menjadi dua jenis, yaitu episodic framing dan thematic framing. Pembingkaian episodic framing menganggap liku hidup, jalan cerita, atau narasi peristiwa, adalah lintasan episode yang tak saling berhubungan. Kejadian A (dianggap) berbeda dengan Kejadian B sehingga menutup kemungkinan segala bentuk relasi antara keduanya. Ini berbeda dengan thematic framing.

Pembingkaian model ini mempercayai setiap kondisi tercipta sebagai akibat dari sebuah “sebab”, dan oleh karenanya memilih membedah konteks suatu peristiwa secara mendalam, termasuk membuka kemungkinan peristiwa tersebut menjadi “sebab” peristiwa mendatang yang lebih besar.

Muhamad Heychael (2018) menggunakan uraian di atas sebagai pisau analisis untuk menyoroti pemberitaan mengenai kesejahteraan pengemudi Gojek di media massa. Ia mengkritik beberapa media yang menyuguhkan informasi secara berserak sehingga gagal memberi pemahaman yang utuh atas peristiwa, dalam hal ini ialah kontradiksi antara pemberitaan “riset yang menyimpulkan kepuasan pengemudi Gojek” dan “ribuan pengemudi ojek daring yang berdemonstrasi menuntut kenaikan tariff.”

Heychael menyayangkan absennya rasa tanggung jawab media kepada khalayak dengan begitu saja menukil dan menyiarkan informasi tanpa menguji benang merah sesungguhnya.

Dalam konteks yang berbeda, Narbi dan kita semua telah melakukan “dosa” yang sama. Dengan mengunggah ungkapan duka cita pasca momen terror pada jam sekian dan membagikan foto dinner bersama teman sepermainan di jam berikutnya, kita telah menjadi “pelapor” sebuah peristiwa tanpa memperhatikan kekontrasan dua momen itu. Satunya momen kelabu, lainnya lakon ceria.

Jika media dituntut untuk “menuntun akal” pembacanya, maka akal manakah yang mengizinkan penyaji informasi bermuka dua: sedih dan bahagia dalam waktu (hampir) bersamaan?

Kita telah melakukan episodic framing terhadap diri sendiri dan parahnya, mengizinkan khalayak mengetahuinya melalui berbagai unggahan (status di Whatsapp atau Facebook, story di Instagram atau Facebook, tweet di Twitter, dan sejenisnya) yang kita hidangkan di media sosial.

Kita telah membelah lajur kehidupan sendiri menjadi beberapa potongan berbeda, yang satu sama lain tidak saling melengkapi. Media sosial mengambil peran besar dalam mempertontonkan inkonsistensi sikap hidup kita tersebut. Dengan sikap seperti itu, sebuah unggahan muram di malam hari yang seharusnya merepresentasikan suasana berkabung tidak mampu mencegah sikap ingin pamer keriaan pada keesokan harinya.

Memang kita bukan media massa sebagaimana arah kritikan Heychael di atas, tetapi setidaknya kita mempunyai khalayak pengikut, teman, atau viewer yang menyaksikan setiap unggahan di media sosial.

Unggahan tentang Ki Enthus misalkan, yang secara virtual menciptakan keterikatan antara kita sebagai pemberi kabar dan “Ki Enthus” sebagai yang dikabarkan,, serta “khalayak” sebagai penerima kabar. Tidakkah kita memikirkan tanggung jawab moral kepada Ki Enthus dan khalayak bila memajang dua hal yang bertolak belakang di media sosial?

Sekarang mari kita berandai-andai pada skenario terburuk: Anda adalah salah seorang korban pengeboman dengan luka ringan, menyaksikan sendiri keberingansan para penebar teror. Hampir semua orang yang mengenal Anda turut bersimpati di media sosial mereka, di antaranya dengan memasang banner senada “Kami tidak takut”, atau sejenisnya.

Usaha paling minimal dari kawan untuk menunjukkan kekhawatiran tersebut tentu membuat Anda terenyuh. Akan tetapi, berapa lama kemudian Anda melongok linimasa kembali, hanya untuk mendapati unggahan terbaru kawan-kawan yang baru saja datang menjenguk berupa: tangkapan gambar obrolan mesra dengan pacar, lawatan ke mal terbesar di kota, jepretan tiket bioskop teranyar, dan kronik foya-foya lainnya.

Bila media massa berkewajiban meminimalisir kebingungan khalayak dengan sebisa mungkin menyajikan produk jurnalistik yang koheren dan mempraktikkan pengabaran dengan penuh tanggung jawab, kita pun seharusnya demikian. Kita seharusnya tercecar rasa malu saat: mengutarakan kesedihan tetapi kemudian mendemonstrasikan gerakan ajaib di Tik Tok, atau mengungkapkan bela sungkawa tetapi sejenak kemudian unjuk hedonisme.

Eh, masih mending, sih. Lebih kurang ajar kelakuan Narbi.

Najmul Ula
Najmul Ula
Penderita rabun politik
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.