Jumat, April 19, 2024

Diskusi Perihal Haramnya Poligami

Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.

Beberapa hari yang lalu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui Ketua Umumnya, Grace Natalie, melemparkan wacana penolakan terhadap poligami. Sontak sikap kontroversial ini viral di media sosial dan mendapatkan respon serius dari berbagai kalangan, baik dari kader PSI sendiri, kalangan partai seperti PKS, kalangan ulama seperti MUI, maupun masyarakat secara umum.

PSI menolak poligami secara tegas karena dianggap melanggar hak asasi manusia dan menjadi salah satu sumber ketidakadilan bagi kaum perempuan. Hal ini berdasarkan beberapa fakta sosial yang menunjukkan bahwa praktik poligami tidak hanya menyakiti dan mendiskriminasi kaum perempuan, tetapi juga seringkali menelantarkan anak (sindonews.com, “Sikap PSI Menolak Poligami”, 12/18/2018).

Oleh karena itu, menurut Juru Bicara PSI, Dara A.K Nasution, penolakan terhadap poligami ini tidak berkaitan dengan persoalan teologis agama tertentu. Ia lebih mengarah kepada fakta sosial yang menunjukkan banyaknya efek negatif dari praktik poligami (kompas.com, ”PSI Larangan Poligami Tidak Melanggar HAM”, 12/18/2018).

Namun demikian, jika sikap PSI ini ditujukan untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, menurut hemat penulis, penting juga untuk memperkuat argumentasi penolakan poligami tersebut secara pemahaman agama.

Mengingat poligami memiliki pijakan normatif yang kokoh dalam Islam dan mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam yang tentu tidak akan meninggalkan pijakan tersebut secara cuma-cuma. Dengan kata lain, dalil-dalil (al-Qur’an atau hadis) yang dijadikan pijakan untuk memperbolehkan poligami dalam konteks sekarang dapat dipahami ulang dengan mempertimbangkan fakta sosial dan realitas negatif yang ditimbulkan dari praktik poligami.

Baiklah, berbicara masalah poligami, berarti berbicara masalah pernikahan. Mengingat poligami adalah pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki yang sedang memiliki istri. Dalam diskursus fikih, kalangan Syafi’iyyah menganggap pernikahan sebagai bagian dari muamalah layaknya jual beli. Bukan bagian dari ibadah. Dalilnya adalah karena pernikahan yang dilakukan oleh non Muslim tetap sah.

Jika pernikahan merupakan ibadah, maka secara otomatis pernikahan non Muslim tidak sah (Wahbah az-Zuḥailî, Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu, 1985, VII: 7). Kenyataan bahwa pernikahan merupakan bagian dari urusan muamalah pada gilirannya memberikan ruang tersendiri bagi para pemikir untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh umat Islam.

Bagaimanapun muamalah adalah sesuatu yang mutagayyirât (bisa berubah sesuai situasi dan kondisi) dan ta’aqqulî (membuka ruang nalar). Berbeda dengan ibadah murni yang bersifat śawâbit (tetap atau tidak bisa diubah-ubah) dan ta’abbudî (harus diikuti apa adanya).

Ibn al-Qayyim menyebutkan, sebagaimana dikutip oleh Wahbah az-Zuḥailî, bahwa dalam urusan muamalah harus didasarkan kepada kemaslahatan dan menghindari kemudaratan. Segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan atau kemanfaatan, maka ia dibenarkan dan dikehendaki secara syariat.

Oleh karena itu, di manapun kemaslahatan ditemukan, maka di situlah sejatinya agama dan syariat Allah. Sebaliknya, segala sesuatu yang mendatangkan keburukan atau kemudaratan, maka ia dilarang dan terhalang secara syariat (az-Zuḥailî, Ijtihâd at-Tâbi’în, 2000: 25). Dalam pandangan Najmuddin aṭ-Ṭûfî, kemaslahatan dan kemudaratan dalam urusan muamalah ini dapat dinalar oleh akal manusia dan tidak perlu dikonfirmasi oleh nas atau dalil tertentu (az-Zuḥailî, Uṣûl al-Fiqh al-Islâmî, 1986, II: 817-818).

Dalam konteks poligami, maka seorang suami harus memperhatikan betul konsep maslahat dan mudarat ini, baik yang berkaitan dengan aspek lahir maupun aspek batin (perasaan). Mengingat dalam realitasnya tidak sedikit istri pertama yang menderita dan tersiksa perasaannya setelah dipoligami.

Dalam asumsi penulis, sungguh sulit mencari perempuan (istri) yang secara suka rela mau dipoligami. Bahkan perempuan paling suci dan agungpun, Siti Fatimah az-Zahra as., menolak dipoligami (geotimes.co.id, “Siti Fatimah Az-Zahra pun Menolak Dipoligami”).

Dengan kata lain, poligami bisa saja dilakukan apabila mendatangkan kemaslahatan dalam rumah tangga, baik suami, istri, maupun anak. Kalau seorang istri secara suka rela menyetujui suaminya menikah lagi karena diyakini akan mendatangkan maslahat dalam rumah tangganya, maka suami tersebut tidak masalah melakukan poligami.

Namun, apabila poligami tersebut mendatangkan kemudaratan dalam rumah tangga seperti menyakiti dan menyiksa perasaan istri pertama, maka ia haram dilakukan. Bagaimanapun dar’u al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-maṣâliḥ. Dalam artian, mencegah kemudaratan yang akan ditimbulkan dari poligami jauh lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan yang akan didapatkan ketika berpoligami.

Selain itu, para ulama fikih membagi hukum menikah menjadi empat macam, yaitu wajib, haram, makruh, dan boleh atau sunah. Wahbah az-Zuḥailî menjelaskan bahwa Muslim haram menikah apabila pernikahan tersebut secara meyakinkan akan menzalimi, memudarat(membahaya)kan, dan menyakiti perempuan.

Hal ini bisa karena tidak akan mampu memberikan nafkah kepada istri atau karena tidak akan bisa berlaku adil apabila menikah lagi (poligami). Tidak lain karena suatu perbuatan yang menimbulkan perkara haram seperti zalim dan memudaratkan perempuan adalah haram (Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu, VII: 32).

Wahbah az-Zuḥailî menambahkan bahwa sekiranya ada Muslim yang meyakini dirinya akan terjatuh ke dalam perzinahan apabila tidak menikah, tetapi di sisi lain dia meyakini akan menzalimi istrinya apabila menikah, maka dia tetap haram menikah.

Pendapat ini didasarkan kepada kaidah “ketika perkara halal dan perkara haram bercampur, maka perkara haram tersebut mengalahkan perkara halal (izâ ijtama’a al-ḥalâl wa al-ḥarâm, galaba al-ḥarâm al-ḥalâl)”. Dalam hal ini, menikah adalah bagian dari perkara halal. Sedangkan menzalimi, menyakiti, dan menyiksa perempuan (istri) adalah bagian dari perkara haram.

Oleh karena itu, penting sekali Hakim Pengadilan Agama (PA) memperhatikan dan mempertimbangkan pendapat Wahbah az-Zuḥailî tersebut ketika hendak memberikan izin poligami.

Mengingat penelitian Euis Nurlaelawati dalam Sharia-Based Laws: The Legal Position of Women and Children in Banten and West Java (2013) menemukan tidak sedikit Hakim di Pengadilan Agama mengizinkan suami berpoligami dengan perempuan lain yang dicintainya hanya berdasarkan pertimbangan karena takut terjadi perzinahan tanpa melihat hak dan mempertimbangkan kemaslahatan masa depan istri pertama.

Sehingga banyak istri pertama akhirnya mengajukan gugatan cerai ke PA karena disebabkan poligami yang dilakukan oleh suaminya tersebut. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya (2018), Euis menegaskan bahwa izin poligami dengan alasan khawatir terjadi perzinahan ini pada gilirannya berimplikasi buruk terhadap pernikahan pertama dan anak-anak dari istri pertama. Selebihnya, wa allah a’lam wa a’lâ wa aḥkam…

Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.