Film merupakan sebuah karya untuk memberikan sebuah pandangan baru, merekonstruksi pemikiran seseorang agar terpengaruh oleh pesan yang ingin disampaikan. Sehingga terkadang film merupakan upaya hegemoni kultural, dalam pengertian tujuan tertentu, misal kekuasaan.
Salah satu film yang digunakan untuk mengubah persepsi publik soal kekalahan perang Amerika di Vietnam adalah Rambo. Dimana dalam film tersebut menceritakan kemenangan Amerika atas milisi Vietnam Selatan yang komunis (Vietkong). Serta ingin menguatkan propaganda politik mereka, bahwa ideologi lawan penuh dengan kekejaman, seperti yang dilukiskan pada pasukan merah Vietkong.
Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, Amerika lah yang tunduk membisu, sementara milisi Vietnam-lah yang keluar membusungkan dada sebagai pemenang. Jika kita membaca ensiklopedia britannica, pada bagian the fall of south Vietnam. Secara mengejutkan jika pasukan Amerika meninggalkan Vietnam pada 23 Maret 1973. Selain menelan banyak korban sekitar 58.200 jiwa serdadu Amerika meninggal, mereka juga menewaskan sekitar 200.000-250.000 jiwa warga Vietnam jika merujuk catatan mereka. Sedangkan menurut rilis pemerintah Vietnam estimasi warga yang terbunuh mencapai 2 juta jiwa. Bahkan akibat perang ini Amerika rugi secara finansial, karena menghabiskan anggaran belanja negara (Richard Spector, Britannica: Vietnam War 1954-1975).
Melalui film Amerika juga mencoba menghabiskan poros fasis, terutama Nazi dan Soviet lewat propagandanya. Dan juga sebaliknya Soviet dan Nazi juga melakukan hal yang senada. Semisal dalam artikel di The Artifice: World War II’s Secret Weapon: Propaganda in Film, menjabarkan bagaimana Amerika memprogandakan film sebagai pendukung kebijakan perangnya. Mencoba merekontruksi pemikiran masyarakat, dengan film yang mereka suguhkan. Tentu untuk mendukung alasan mereka, mengapa terjun ke dalam perang dingin tersebut. Salah satu tema umum film yang rata-rata digunakan sebagai alat propaganda yaitu: The Nature of the Enemy (Musuh Alami), The Nature of the Allies (Sekutu Alami), The Need to Work (Kebutuhan untuk Kerja), The Need to Fight (Kebutuhan untuk Bertarung), The Need to Sacrifice (Kebutuhan untuk Berkorban) and The Americans-What we are fighting for (Apa yang kita perangi untuk sesuatu).
Propaganda melalui film juga kita temui di Indonesia. Salah satu yang gencar melakukannya ialah rezim Orde Baru, mereka cukup produktif menyiarkan film yang propagandis. Berbeda dengan Orde Lama, film menurut hemat saya adalah sebagai bagian dari membentuk kesadaran pasca-kemerdekaan.
Bagi generasi lama yang hidup di zaman Orde baru, pasti terlampau sering disuguhi dan dijejali kisah heroik Soeharto. Sebagaimana terekam dalam film Janur Kuning (serangan umum 1 maret 1949), yang mengisahkan bahwa Soeharto adalah pahlawan utama dalam peristiwa agresi Belanda ke dua tersebut.
Bukan hanya itu saja film itu saja, yang menjadi diskursus propaganda rezim. Ada satu lagi film yang menceritakan kisah sejarah yang diragukan kebenarannya. Dengan teknik pemutaran berulang-ulang setiap 30 September, film itu berupaya mendekonstruksi lalu merekonstruksi pemikiran tetang sebuah ideologi.
Film masterpiece karya Arifin C. Noer dengan judul Penumpasan Pengkhianatan G-30-S/PKI, yang mampu membius penontonnya, bahkan mampu mengubah pandangan berjuta-juta orang terkait sebuah peristiwa. Hingga agak bebal akhir-akhir ini, melanggengkan paranoia berlebihan. Ketakutan-ketakutan yang tak berdasar, bahkan sama kuburan saja sentimentil.
Dalam konsepnya film berbentuk aksi, sedikit drama dan seolah-olah dokumenter. Scene per scene-nya diceritakan seolah-olah nyata, dengan memasukan unsur ala-ala film perang. Secara alur sangat membosankan, namun pada beberapa bagian berhasil membius kognitif penontonnya. Nah, kenapa membius, karena film tersebut hanyalah visualisasi atas narasi yang dibentuk di lembaga pendidikan. Agar lebih menguatkan daya ingat dan melegitimasi kebenaran narasi sejarah yang disuguhkan rezim.
Efek dari film tersebut bekerja hingga sekarang, akibat basis pengetahuan yang hanya melihat dari satu perspektif, maka beberapa scene dalam film tersebut mutlak dipercaya sebagai kebenaran. Bayangkan jika si penonton sudah paham dan dibekali pengetahuan yang berbeda, maka mereka akan tertawa terbahak-bahak melihat film tersebut. Apalagi kalau mereka keluarga dari orang yang telah dilenyapkan dan dihancurkan hak-haknya sebagai manusia. Pasti mereka akan tertidur pulas ketika film itu diputar, bahkan akan muncul sumpah serapah dihati mereka.
Film G-30-S ini pada hakikatnya sungguh menggelikan, minim riset dan terlampau memaksa. Alur cerita monoton serta kurang menceritakan kondisi nyata, mungkin perlu sentuhan teknologi CGI seperti film Hollywood atau Rafathar yang barusan rilis. Film garapan Arifin layaknya sebuah sinetron, banyak adegan lebai bertolak belakang dengan cerita para pelaku sejarah.
Lihatlah Aidit yang merokok dengan santai dan nikmat, secara fakta Aidit bukan maniak rokok. Bahkan pernah menegur presiden Soekarno agar berhenti merokok demi kesehatan. Dia juga pernah mengusulkan jika anggota partai harusnya berhenti saja merokok, demi menghemat uang agar bisa melaksanakan kongres. Lalu yang paling menggelikan ialah Soekarno digambarkan sedang sakit keras, padahal beliau pada saat itu sehat walafiat. Jikalau sakit masa bisa beliau jalan-jalan ke Halim Perdanakusuma.
Gerwani digambarkan sebagai wanita bejat dan sadis, karena telah menyiksa jasad jendral. Di film itu digambarkan sedang menari-nari disko, di atas mayat jendral-jendral dan melakukan tindakan tidak manusiawi, amoral tentunya. Faktanya tidak ada bukti konkrit yang mampu menjelaskan kebenaran tersebut hingga sekarang. Berdasarkan memoar pengakuan dari dr. Lim Joe Thay, mengatakan jika hasil visum yang dilakukan tim yang terdiri dari beliau sendiri, dr. Brigjen Rubiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattiasina, dr. Sutomo Tjokronegoro dan dr. Liau Yan Siang. Mengungkapkan fakta jika tidak ada bekas penyiksaan seperti sayatan silet, pemotongan alat kelamin, pencongkelan mata dan tindak keji lainnya. Semua organ tubuh para perwira tinggi AD itu utuh, hanya kulit melepuh karena terlalu lama terendam di air.
Dan tentu best moment ever is Soeharto lagi-lagi jadi pahlawan, keheroikan beliau tak perlu diragukan lagi. Kegantengannya mengalahkan Njoto yang flamboyan keren.
Jujur saya menantikan reborn dari G-30-S, sebagaimana kepinginan Jokowi. Dalam statementnya yang mengatakan jika, film itu perlu dibuat ulang dengan kemasan milenial. Agar lebih fresh dan sesuai perkembangan zaman.
Sekedar saran saja, saya merekomendasikan artis berikut untuk dijadikan aktor utama. Ada Tanta Ginting yang pas memerankan Aidit, Adipati Dolken berperan sebagai Njoto, Ario Bayu tetep sebagai Soekarno. Sementara tokoh intinya Soeharto diperankan oleh Dede Yusuf. Oh iya yang menjadi Gerwani adalah dedek-dedek JKT 48, ditambah Chelsea Islan. Milenial banget pokoknya, box office dan mudah diterima sama generasi milenial kids zaman now. Rencana pembodohan era milenial ya harus dikemas milenial, agar semakin melanggengkan generasi tuna sejarah. Syukur-syukur Hilmar Farid berani bermanuver, menyajikan film yang benar-benar objektif seperti dinarasikan olehnya beberapa waktu lalu.