Kamis, April 25, 2024

Diskriminasi Akademik dan Karakter Indonesia Raya?

muhammad ridha
muhammad ridha
Dosen Teknologi Pendidikan UIN Antasari Banjarmasin; Alumni Program Magister Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang; Ketua Yayasan Titik Fokus Karya. Penulis dapat dihubungi via email ridha@uin-antasari.ac.id

Dalam dunia pendidikan ada dua prestasi yang tak bisa dipisahkan dan tak bisa diabaikan, yaitu prestasi akademik dan prestasi bertingkah laku (karakter). Keduanya harus diupayakan secara seimbang, terencana, sistematis dan berkelanjutan.

Jika prestasi akademik akan dengan mudah diketahui dan diukur dengan memperhatikan skor-skor akademik yang diperoleh berdasarkan penilaian pada kertas jawaban, maka berbeda halnya dengan prestasi bertingkah laku.

Prestasi bertingkah laku merupakan akumulasi dari nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan secara perlahan dan terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama yang hanya akan dapat dilihat dan diketahui berdasarkan cara bersikap, bertingkah laku dan bertutur kata dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya.

Tidak ada kata instan dalam hal mewujudkan peserta didik menjadi insan yang berkarakter. Perlu perencanaan yang matang, pengintegrasian yang seimbang antara fokus pendampingan akademik dan pendampingan karakter serta pembiasaan yang terus menerus dan berkelanjutan, utamanya melalui keteladanan. Posisi guru hari ini sebagai pembimbing, pendamping dan patner belajar bagi peserta didik harus dipahami bukan hanya pada urusan-urusan akademik saja, namun juga pada urusan-urusan bertingkah laku, bersikap dan bertutur kata.

Namun, hingga hari ini kita masih menyaksikan bahwa sebagian besar waktu pembelajaran masih lebih difokuskan pada usaha-usaha pencapaian tujuan pendidikan pada ranah kognitif semata. Apalagi jika target belajarnya adalah siswa-siswa kelas akhir yang memang secara khusus disiapkan untuk menghadapi Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian Nasional (UN).

Kemudian, jika kita cermati beragam usaha pengujian dan pengembangan strategi-strategi pembelajaran yang dilaksanakan di berbagai universitas oleh para sarjana dan ilmuwan pendidikan, mulai dari yang paling tradisional hingga yang paling modern dalam bentuk blended learning, maka akan terlihat jelas bahwa hampir 75% fokus pada usaha untuk mengukur dan menguji efektifitas dan efisiensi hasil belajar  dari ranah kognitif saja.

Ironis memang jika yang dijadikan ukuran keberhasilan hanya perolehan skor dan lembaran-lembaran kertas atau tropi penghargaan saja. Padahal, antara prestasi akademik dan prestasi bertingkah laku seharusnya menempati posisi yang sejajar dan diperlakukan secara seimbang.

Dalam konteks kearifan lokal bangsa kita, sejak dahulu kala, orang yang berbudi pekerti luhur secara tidak langsung akan dianggap sebagai orang yang terdidik dengan baik (well educated), namun orang yang berpendidikan tinggi (dalam arti jenjang pendidikan yang berhasil diraihnya) tidak selalu secara otomatis dianggap sebagai orang yang berkarakter baik. Hal tersebut menandakan bahwa karakter atau bertingkah laku baik merupakan faktor yang sangat penting dalam kelangsungan, keharmonisan dan kekokohan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Meskipun, dalam konteks persaingan global (global competitiveness) berbudi pekerti luhur saja tidak cukup. Perlu modal lain, yaitu modal kemampuan akademik, baik wawasan maupun kemampuan unjuk kerja. Inilah alasan mengapa indikator daya saing suatu bangsa selalu mengacu pada perolehan skor kemampuan pada bidang-bidang tertentu yang lagi-lagi hanya bersifat kognitif semata.

Menurut hemat penulis, hal tersebutlah yang membuat orientasi pendidikan di negara kita hari ini ikut terseret-seret pada persaingan perolehan skor-skor akademik semata, sehingga abai pada faktor penting lainnya, yaitu persaingan untuk berbudi pekerti luhur.

Tuntutan dunia kerja utamanya untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga turut menyeret konsentrasi pendidikan di negara kita menjadi semakin jauh dari orientasi idealnya. Negara menjadi lebih fokus menyiapkan lulusan-lulusan yang terampil profesional dan siap diterjunkan dan bersaing di dunia kerja. Alhasil, krisis moral anak-anak bangsa menjadi tak terhindarkan.

Jika kita amati pemberitaan-pemberitaan yang setiap hari mengisi layar kaca dan media-media massa, sebagian besar hanya memberitakan hal-hal yang membuat kita mengelus dada, misalnya berita-berita kasus tentang korupsi, pembunuhan, tindakan kekerasan, penganiayaan, pencurian, dan sebagainya.

Hal tersebut bukan menandakan bahwa negara kita tidak memiliki orang-orang terdidik, melainkan kekurangan orang-orang yang berkarakter baik yang dapat menjadi teladan dan selalu menebar benih-benih kebaikan.

Fakta in seharusnya membuat kita sadar bahwa prestasi bangsa kita ke depan, tidak cukup jika hanya mengandalkan angka-angka yang tercantum dalam indeks daya saing antar bangsa semata. Juga tak cukup jika hanya mengandalkan jumlah banyaknya penduduk yang berpendidikan tinggi dalam arti sarjana, magister dan doktor bahkan guru-guru besar, sementara jumlah penduduk yang berkarakter diabaikan.

Begitupun juga jika kita hanya berbangga dan mengandalkan banyaknya ketersediaan jumlah tenaga kerja terampil-profesional yang dimiliki. Negara yang besar bukan hanya diukur berdasarkan kemampuan kognitif dan kemampuan unjuk kerja yang dimiliki penduduknya, melainkan juga harus diukur berdasarkan karakter-karakter baik yang dimiliki dan ditampilkan penduduknya dalam interaksinya dalam kehidupan sehari-hari.

Tak sedikit contoh-contoh sejarah yang menunjukkan kepada kita dengan jelas, bahwa kehancuran sebuah negara sebagian besar disebabkan oleh buruknya karakter-karakter para elit-elit penguasanya. Oleh karena itu, sudah cukup kiranya pelajaran yang bisa kita ambil dari catatan-catatan sejarah tersebut. Masih ada waktu untuk memperbaiki. Masih ada waktu untuk mewujudkan kejayaan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan berkeadaban.

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya. vWallahu a’lamu bisshawab

muhammad ridha
muhammad ridha
Dosen Teknologi Pendidikan UIN Antasari Banjarmasin; Alumni Program Magister Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang; Ketua Yayasan Titik Fokus Karya. Penulis dapat dihubungi via email ridha@uin-antasari.ac.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.