Kamis, April 25, 2024

Dimensi Lain Agama

Fadhel Yafie
Fadhel Yafiehttp://fadelisme.wordpress.com
Pemikir bebas, penulis lepas.

Salah satu peran agama adalah mengajarkan kedamaian. Pesan-pesan keagamaan seharusnya membuat penganutnya menjadi sejuk, tenang, dan positif dalam memandang hidup.

Agama juga mengabarkan keberadaan Tuhan, satu-satunya entitas yang Maha Melihat dan Maha Mendengar. Konsekuensinya, kita dapat menjadikan-Nya tempat untuk berkeluh kesah ketika tidak ada manusia yang dapat dijadikan sandaran. Itulah hakikat sebuah doa, komunikasi langsung manusia dengan Dia yang Maha Mendengar.

Saya kira, kita semua sepakat dengan agama seperti itu. Agama yang membawa kenyamanan dalam hidup. Tetapi, ada dimensi lain dalam agama yang justru menjadikan penganutnya resah.

Mengganggu kenyamanan, gelisah, dan mempertanyakan berbagai aspek dalam kehidupan. Para ahli menamakan dimensi dalam beragama ini sebagai “religious quest”, yakni kemampuan seseorang melibatkan keterbukaan, dialog responsif dengan pertanyaan eksistensial (Batson & Schoenrade, 1991).

Religious quest merupakan sebuah keyakinan bahwa agama adalah sebuah misi atau perjalanan. Orang-orang yang mengamini dimensi ini, akan cenderung kritis terhadap agamanya sendiri. Misal: Apakah agama saya benar? Apakah Tuhan itu ada? Apakah agama lain pasti masuk neraka? Dan lain sebagainya. Kegelisahan religius dianggap sebagai ujian untuk memperkuat keimanan.

Di tengah masyarakat yang belum terlalu sejahtera, dimensi agama yang banyak disukai adalah yang model pertama. Hidup ini sudah berat, mosok ber-agama malah bikin tambah berat? Agama harus datang sebagai solusi untuk memberikan kenyamanan bagi penganutnya. Inilah agama pada umumnya. Tidak perlu ribet-ribet berpikir njlimet untuk memahami agama.

Keraguan harus dibuang sejauh mungkin. Jauh dari ajaran agama akan membuat kehidupan makin berat! Kurang lebih begitulah pemahamannya. Persis seperti respon sebagian kalangan ketika orang Islam dikalahkan Mongol di abad ke-13 dan ditakhlukkan Eropa pada akhir abad ke-18. Selain banyak masalah, kekalahan peradaban akan membuat masyarakat cenderung menyukai dimensi agama model pertama.

Perlu diakui, Indonesia adalah negara yang belum sejahtera. Dalam studi yang dilakukan The Legatum Prosperity Index tentang kesejahteraan negara-negara tahun 2017Indonesia menempati peringkat ke-59 dari 149 negara. Di luar angka kesejahteraan, masih banyak masalah sehari-hari yang menimpa orang Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika kebanyakan tokoh agama adalah mereka yang memberikan pesan keagamaan yang nyaman.

Tidak ada yang salah dari dimensi agama yang membuat nyaman. Menjadi berbahaya adalah ketika kita terjebak dalam kenyamanan itu, sehingga membuat sesuatu yang mengusik dianggap sebagai musuh. Dalam taraf yang ekstrem, filsafat dan sains bisa diharamkan. Kalau sudah di taraf ini, kita sudah terlena dengan kenyamanan itu. Kita di-ninabobok-an oleh agama.

Ketika masyarakat sudah mencapai angka kesejahteraan yang tinggi atau hidup dengan cukup nyaman, dimensi agama yang lebih disukai adalah religious quest. Di mana agama memberikan tantangan-tantangan untuk menjawab pertanyaan eksistensial. Mereka tidak lagi mencari agama untuk kenyamanan, sebab kehidupan sudah cukup memberikan kenyamanan.

Perlu dicatat, religious quest tidak terikat pada agama formal apapun. Ia adalah sebuah kegelisahan yang timbul dari pencarian akan makna spiritual. Bahkan, Batson, Denton dan Vollmecke (2008) dalam Journal for the Scientific Study of Religion mengatakan bahwa religious quest mirip dengan agnotisisme (baca: pandangan yang mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui melalui agama atau apapun).

Masih mengacu pada studi The Legatum Prosperity Indexnegara-negara dengan angka kesejahteraan yang tinggi tidak lagi terjebak pada formalisme agama yang menawarkan kenyamanan. Malahan, orang-orang di negara-negara sejahtera mulai menjauhi agama. Atau kalau pun masih beragama, hanya identitasnya saja. Islam KTP lah bahasanya di sini.

Peringkat pertama adalah Norwegia, 71,5% warganya menganut agama Kristen, tetapi rata-rata hanya 3% yang secara rutin datang ke gereja tiap minggu. Peringkat kedua adalah Selandia Baru, 48% warganya menganut agama Kristen, tetapi yang secara rutin datang ke gereja seminggu sekali tidak sampai 15%. Bahkan, 41,9% warga Selandia Baru mengaku tidak beragama.

Peringkat ketiga adalah Finlandia, 71% warganya menganut agama Kristen, tetapi hanya 2% yang mengaku rutin beribadah ke gereja setiap minggu. Terdapat kurang lebih 22% warga Finlandia yang mengaku tidak beragama.

Terlalu sederhana memang jika hanya menggunakan angka-angka statistik kesejahteraan. Pasti terdapat banyak sekali faktor yang mempengaruhi corak keberagamaan seseorang. Tapi, untuk tujuan rata-rata, saya kira angka kesejahteraan dapat memberikan gambaran yang cukup baik.

Mengapa hanya sedikit warga yang beribadah secara rutin di negara-negara sejahtera? Mengapa makin banyak orang yang tidak beragama di sana? Hal ini disebabkan oleh konservatisme agama yang tidak dapat mengikuti zaman. Belum lagi ayat-ayat agama yang banyak bertentangan dengan realita. Orang-orang yang tinggal di negara sejahtera memiliki tingkat keterbukaan pikiran yang tinggi. Jika sesuatu dianggap tidak masuk akal, maka hal itu akan ditinggalkan.

Di negara berkembang seperti di Indonesia, kalau ada realita yang bertentangan dengan ayat agama, maka realitanya yang ditolak. Inilah terkadang yang membuat negara-negara berkembang sulit maju. Banyak dari mereka yang menolak realitas. Tentunya, tidak semua orang Indonesia yang seperti itu. Masih ada beberapa orang yang berpikiran cukup terbuka, meski tidak banyak.

Jika agama tidak mau ditinggalkan, tokoh-tokoh agama harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Ia harus menawarkan narasi-narasi segar yang mampu mendorong manusia menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial khas religious quest. Tidak melulu menawarkan kenyamanan yang tidak relevan dengan zaman. Ia harus membuat para penganutnya semakin melihat realitas dengan lebih jernih.

Referensi:

Batson, D., & Schoenrade, P. A. (1991). Measuring religion as quest. Reliability concerns. Journal for the scientific study of religion, 430-447.

Batson, D., Denton, D. M., & Vollmecke , J. T. (2008). Quest religion, antifundamentalism, and limited versus universal compassion. Journal for the scientific study of religion, 47(1), 135-145.

http://www.prosperity.com/rankings?pinned=&filter=

https://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Norway

https://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_New_Zealand

https://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Finland

Fadhel Yafie
Fadhel Yafiehttp://fadelisme.wordpress.com
Pemikir bebas, penulis lepas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.