Senin, April 29, 2024

Dilema Pemerataan Pendidikan dan Tantangan Melindungi Guru

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Mari lupakan sejenak hiruk pikuk tentang permasalahan UNBK dengan soal-soal HOTS (higher order thinking skills) yang bikin pusing siswa dan sempat menjadi perdebatan masyarakat luas. Juga hiraukan sekejap kontroversi soal keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggelar nonton bareng film Dilan dan Yo Wes Ben pada perayaan hari besar nasional, yang belakangan filmnya direvisi menjadi Kartini dan Yo Wes Ben setelah mendapat protes masif.

Ya, pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2018 ini, telunjuk kita arahkan ke kasus yang terjadi pada bulan April lalu. Segenap insan pendidikan, khususnya, patut berempati kepada 18 kolega guru di Papua yang menjadi korban penyanderaan kelompok separatis ketika sedang mengajar di pedalaman Kabupaten Mimika, Papua. Bahkan, ada yang sampai mengalami pelecehan seksual. Pelakunya adalah Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB). Sepekan kemudian, barulah pasukan TNI-Polri berhasil mengevakuasi para abdi negara itu.

Ini peringatan keras bagi pemerintah. Upaya pemerataan pendidikan dengan menugasi guru ke pedalaman-pedalaman bak pisau bermata dua. Di satu sisi, usaha itu merupakan langkah konstruktif mematuhi perintah undang-undang untuk menyelesaikan masalah pendidikan di seluruh penjuru Nusantara.

Tapi, di sisi lain, akan timbul masalah baru manakala penyaluran tenaga pendidik tersebut tidak disertai dengan prosedur-prosedur yang semestinya. Salah satunya memberikan rasa aman. Sebab, tak jarang para guru itu harus mengabdikan diri di daerah-daerah perbatasan dan rawan konflik. Juga daerah-daerah yang rutenya cukup berbahaya. Belum lagi bagaimana menjaga kondisi kesehatan.

Tidak ada yang menyangka, ternyata upaya pengabdian guru di wilayah-wilayah pedalaman dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok penganut separatisme. Kelompok separatisme merupakan suatu kelompok yang ingin membebaskan diri dari pemerintahan. Kelompok seperti ini biasanya membentengi diri dengan senjata. Di Indonesia, ada beberapa kelompok separatis yang kerap melakukan perlawanan. Yang paling terkenal, tentu saja, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Operasi Papua Merdeka (OPM).

Apa yang dialami guru PNS, guru kontrak, dan mahasiswi Kolese Pendidikan Guru (KPG) PGSD Universitas Cenderawasih yang menjalani program pengalaman lapangan di pedalaman Kabupaten Mimika tentu menjadi alarm bagi para pemangku kebijakan. Mereka diculik, disandera, diperas, sampai dilecehkan. Padahal, guru-guru ini masih berasal dari satu provinsi yang sama. Warga setempat sebenarnya juga ingin membantu. Namun, mereka malah mendapat ancaman ditembak.

”Kami semua, para guru, ditodong dengan menggunakan senjata api di kepala,” kata Rano Samsul, salah seorang guru, mengisahkan peristiwa kelam yang dialami di Kampung Aroanop kala itu.

Menanggapi peristiwa yang terjadi kepada 18 guru di Papua itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pun angkat bicara. Mereka menuntut pemerintah lebih menjamin keselamatan guru. Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, guru memiliki hak untuk memperoleh rasa aman. ”Ini warning kepada kita, pekerjaan guru yang mulia tapi tidak aman. Terutama di daerah konflik,” ujarnya saat menyampaikan sikap.

PGRI kemudian menawarkan beberapa solusi. Demi menjamin keamanan dan melindungi guru, personel keamanan harus ditempatkan di wilayah penugasan. Para guru ini tidak boleh dilepas begitu saja. Lantas, ada juga solusi lain yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko, yakni melalui pendekatan budaya. Misalnya, guru-guru yang ditempatkan di wilayah tersebut merupakan warga asli sehingga bisa memahami kondisi sosial-budaya.

Perketat Keamanan

Langkah yang diusulkan PGRI di atas cukup masuk akal. Menempatkan personel keamanan di lokasi penugasan, terutama di daerah rawan konflik, adalah salah satu antisipasi agar kejadian serupa tidak terulang. Langkah ini harus dilakukan secara kontinu, jangan setelah kejadian baru bertindak.

Lagi pula, menjaga wilayah yang rawan konflik sudah menjadi tugas negara TNI maupun Polri. Mengamankan negara dari aksi separatisme pun sudah menjadi wewenang mereka. Para personel TNI-Polri tentu juga telah dilatih cara menguasai medan nan berat. Hal ini bertujuan supaya pengajar-pengajar itu lebih tenang. Tidak waswas memikirkan keselamatan dirinya. Agar transfer ilmu dengan peserta didik dapat tersalurkan secara maksimal.

Antarlembaga memang harus bersinergi. Kemendikbud dan instansi TNI-Polri mesti saling berkomunikasi untuk menjalin kerja sama itu. Kabar peristiwa memilukan tersebut pasti sudah menyebar ke mana-mana. Bagi para korban, hal itu menimbulkan trauma yang cukup mendalam, tentunya.

Bisa jadi para pengajar yang kelak ditugaskan ke pedalaman-pedalaman bakal berpikir dua kali. Takut mengalami kejadian serupa. Ditugaskan di daerah pedalaman saja, bagi sebagian guru, sudah menjadi hal yang memberatkan. Pasalnya, tak jarang mereka juga mendapat diskriminasi dan ancaman yang dilakukan oknum di kampung. Apalagi ditambah persinggungan dengan kelompok-kelompok separatis.

Menyelesaikan persoalan pendidikan memang membutuhkan ”tangan-tangan” dari banyak pihak. Oleh karena itu, sinergitas harus dilakukan. Agar tujuan pemerataan pendidikan yang termaktub dalam janji kemerdekaan ”mencerdaskan kehidupan bangsa” dijalankan dengan baik. Ingat, ada dua hal fundamental yang mesti dibereskan jika ingin memajukan sumber daya manusia sebuah bangsa: pendidikan dan kesehatan. Jika dua hal mendasar itu masih bermasalah, upaya memajukan sebuah bangsa akan terus terhambat.

Pendekatan Budaya

Langkah pendekatan budaya bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko seperti yang dialami para guru di Papua tersebut. Sebaiknya guru-guru yang ditempatkan di daerah pedalaman adalah mereka yang mengerti kondisi sosial-budaya kawasan itu. Pendekatan budaya bisa dimaknai dua hal: berasal dari wilayah yang sama atau mampu beradaptasi secara pola pikir. Lebih baik lagi, keduanya dikolaborasikan.

Terkait dengan pendekatan budaya, ada etika-etika yang harus dipahami bagi para guru. Agar mereka bisa menyatu dengan masyarakat. Lebih dari itu, menyatukan frame pola pikir dengan peserta didik. Dalam hal ini, pemerintah bisa menjadikan referensi program mengajar ala Sokola Rimba.

Butet Manurung, penggagas Sokola Rimba, dalam buku Yang Menyublim di Sela Hujan (Fawaz, 2017) mengatakan bahwa sering terjadi perbedaan pemahaman antara pengajar yang ditugaskan dan warga setempat. Nah, program Sokola Rimba lebih menekankan pada pendekatan budaya. Menurut Butet, agar transfer ilmu berhasil, para guru mesti menyejajarkan diri bahwa di sana sama-sama belajar, bukan hanya mengajar. Lebih dari itu, memahami kebutuhan hakiki peserta didik sehingga apa yang disampaikan benar-benar berfaedah.

Meskipun demikian, apalah artinya pendekatan budaya yang baik jika keamanan tidak terjamin. Fenomena seperti yang dialami guru-guru di pedalaman Mimika tadi bisa berulang. Maka, menempatkan guru-guru dari wilayah yang sama pun terkadang tidak cukup. Tetap harus ada personel keamanan yang disiagakan. Pendekatan budaya yang baik disertai dengan keamanan yang memadai akan turut mengawal mangkusnya pemerataan pendidikan.

Selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tetaplah genggam erat optimisme!

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.